"Jangan pilih calon kepala daerah atau politisi yang tidak memiliki komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan pencegahan terhadap dampak buruk perubahan iklim"
Kalimat itu adalah closing statement (pernyataan penutup) Dr. Mahawan Karuniasa, dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia sebagai salah satu narasumber saat mengakhiri diskusi bertajuk "Suara Milenial untuk Perubahan Iklim" yang digelar baru-baru ini.
Acara itu dihelat di Bakoel Koffie Cikini Jakarta atas gawe bareng para aktifis milenial yang concern terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Masing-masing dari mereka tergabung di Climate Institute, Environment Institute, APIK Indonesia Network dan Gerbang Tani.
Bagi penulis, diskusi yang berlangsung lebih dari tiga jam itu menunjukkan gairah baru dan keseriusan nyata kaum milenial atas dampak buruk kerusakan lingkungan dibarengi perubahan iklim yang dialami masyarakat Indonesia, paling tidak lima tahun terakhir ini.
Mitigasi perubahan iklim adalah bagian dari Paris Agreement (perjanjian Paris) salah satunya. Paris Agreement telah ditandatangani oleh 194 negara anggota PBB (termasuk Indonesia) pada tanggal 22 April 2016 di New York Amerika Serikat bertepatan dengan Hari Bumi. Perjanjian ini berkaitan dengan mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Seperti yang diungkapkan Dr. Mahawan, bahwa Perjanjian Paris bertujuan diantaranya: Pertama, menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Pembatasan diangka itu dianggap akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim.
Kedua, meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.
Ketiga, membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim. Artinya, perlu dibuatkan skema green budgeting dalam penyusunan RAPBN dan berorientasi lintas sektoral.
Yang menarik, masing-masing narasumber memaparkan hasil riset lembaganya masing-masing yang berkaitan dengan perilaku milenial yang memberi dampak langsung terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Mulai dari potensi blue carbon (karbon biru) yang bersumber dari pesisir laut kita hingga kegiatan traveling yang sedang digandrungi kaum milenial.
Walhasil, dari semua paparan narasumber, penulis yang hadir pada acara tersebut bisa mengambil ikhtisar bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah serius praktekkan mitigasi dampak perubahan iklim. Padahal bila tidak segera dicegah, perubahan iklim hanya akan berujung pada "kesengsaraan" masal.