Secara harfiah, kata agamis diidentikkan dengan seseorang yang taat menjalankan perintah agama dibarengi dengan derajat keimanan yang tinggi. Tak heran bila ia seringkali diikuti oleh simbol-simbol yang melekat pada dirinya.
Secara substansial, agama dibutuhkan seseorang sebagai upaya meraih kedamaian dalam hidup. Bahkan dalam Islam sendiri, kedamaian itu tidak hanya dibutuhkan didunia saja, lebih dari itu hingga di akhirat nanti.
Nilai agama, tanpa terkecuali harus senantiasa masuk dalam setiap langkah kehidupan, baik dalam konteks bermasyarakat maupun berbangsa. Wajar bila kemudian terjadi pergumulan pemahaman orang beragama dan tidak beragama terhadap negara.
Dalam konteks etimologi, tidak sedikit referensi yang mengungkap definisi tentang agama dari berbagai perspektif. Penulis kira, cukuplah bahwa sejarah agama-agama di dunia ini menjadi saksi bahwa persolan ke-Tuhanan  sudah melampaui masa tuanya.
Kalimat 'Saya Agamis' penulis rasa menjadi alat refleksi sekaligus pemantik atas ke-Islam-an kita dalam kehidupan sehari-hari. Dimana Islam sebagai sebuah agama memiliki prinsip ideal bahwa siapa saja pemeluknya disyariatkan menjadi orang baik dan penuh kasih sayang, baik terhadap sesama manusia mupun alam sekitarnya.
Dalam aspek spiritualitas, agama sejatinya menghadirkan Tuhan pada segenap kesadaran manusia. Karenanya, ia menjadi faktor pendorong seseorang berlaku soleh atau paling tidak berikhtiar untuk berlaku soleh.
Disamping itu, aspek rasionalitas dibutuhkan dalam menjalankan agama sehingga ia dapat mengurai sisi formal dan substansial didalamnya. Sehingga formalitas agama tidak menjebak pada menjauhkan ruh dengan Tuhannya.
Suka tidak suka, di era keterbukaan informasi melalui media sosial hari ini melahirkan corak spiritualitas instan. Agama, pun Islam hanya sekedar dijadikan life style,simbol-simbol agamis tidak berbanding lurus dengan prilakunya sehari-hari ditengah masyarakat.
Wujud peribadatan yang melulu andalkan formalitas sama sekali tidak berkontribusi positif bagi siapapun pemeluknya. Agama sebagai identitas yang cenderung berorientasi kepada materi dan kekuasaan adalah kontributor utama bagi disharmoni kehidupan sosial kita.
Sangat kontras dengan praktek agama yang andalkan spiritualitas, dimana ia berorientasi kepada ruh, cinta kasih, perdamaian, kebajikan, lebih dari itu peniadaan ego. Pelan tapi pasti, ia menjadi aktor utama dalam menjaga harmoni kehidupan sosial kita.
Akhir-akhir ini bangsa kita dengan mayoritas penduduk muslimnya mengalami ujian yang tidak enteng. Dimana agama dijadikan legitimasi demi meraih nafsu kekuasaan bahkan cenderung dipaksakan. Praktek-praktek politik berbaju agama sudah sedemikian terbuka, bahkan sangat berpotensi munculkan konflik antar sesama warga bangsa.