Mohon tunggu...
Yus Mei Sawitri
Yus Mei Sawitri Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis sejak kecil....Hobi jalan-jalan, nongkrongin toko buku dan nonton sepak bola...:)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Nasionalisme, profesionalisme & wartawan di mata Bepe

1 Mei 2011   06:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Siapa sih yang tak mengenal Bambang Pamungkas alias Bepe? Pecinta sepak bola Indonesia pasti tak asing dengan sosok kapten Timnas Indonesia dan ikon Persija Jakarta ini. Saya pun mengenalnya, walaupun lebih banyak melalui layar kaca. Namun jujur, selama ini Bepe bukan pemain favorit saya. Ada beberapa alasan yang membuat saya agak malas memberikan kredit tinggi untuknya. Terutama sikapnya di luar lapangan.

Dalam beberapa kali kesempatan, saya pernah berinteraksi langsung dengannya, saat ia bersama Timnas Indonesia. Kebetulan Timnas pernah mengadakan pemusatan latihan di Solo. Nah, di situlah saya merasakan interaksi yang kurang menyenangkan dengan Bepe. Dia paling susah diajak wawancara. Boro-boro bicara panjang lebar, mendapatkan pernyataan pendek darinya pun sangat sulit. Seorang teman bahkan pernah sebal bukan main karena hanya mendapatkan jawaban dua patah kata setelah pontang-panting mengejar dan melontarkan pertanyaan panjang lebar untuk Bepe. Saya dan beberapa teman di Solo sepakat melabelinya sebagai pemain sombong plus sedikit arogan.

Makanya ketika Bepe meluncurkan sebuah buku berjudul “Bepe20 Ketika Jemariku Menari”, saya kurang tertarik membacanya apalagi membelinya. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari website pribadinya www.bambangpamungkas20.com dan beberapa tulisan yang belum dipublikasikan. Namun, ketika beberapa hari lalu seorang teman menyodorkan buku tersebut, saya tak kuasa menolak. Lagian kan membaca gratis, gak perlu beli...hehehehe.


Sebenarnya saya pernah membaca sebagian tulisannya yang dipublish di web pribadinya. Memang setelah membaca buku ini, pandangan dan kadar kesebalan saya terhadap Bepe sudah banyak berubah dan berkurang. Setidaknya saya bisa menemukan jawaban serta alasan atas sikap nyeleneh yang ditunjukkannya. Tulisannya juga banyak yang inspiratif, berbobot, unik, lucu dan segar. Menunjukkan kecedasan Bepe dan kepiawainnya merangkai kata. Bepe bisa menggambarkan dengan menarik tentang berbagai hal, mulai dari arti nasionalisme, profesionalisme, serta hal-hal remeh temeh seperti aksesori perban putih yang selalu dipakainya di pergelangan tangan, mengapa memilih nomor punggung 20 dan alasannya senang memakai celana dalam bermotif bunga-bunga dan berwarna sedikit cerah!

Hmm...saya cuma ingin membahas tentang tiga hal saja. Yaitu pandangan Bepe tentang nasionalisme, profesionalisme dan wartawan. Tentang sisi-sisi Bepe lainnya, silahkan baca sendiri bukunya ya...hehehe

Seberapa besar nasionalisme Bepe alias komitmennya terhadap Tim Merah Putih bisa ditemukan dalam tulisan “Sebuah Janji di Tengah Malam yang sunyi”. Tulisan ini diposting pada 6 Desember 2010, namun berkisah tentang janji yang dibuatnya sepulang membela Timnas Indonesia di pentas SEA Games 1999. Suatu hari ketika pulang ke kampung halamannya di Getas, Kabupaten Semarang, Bepe menyempatkan bermain dan menyambangi sahabat lama, baik teman sekampung, teman sekolah maupun rekan-rekannya di Diklat Salatiga.

Dalam sebuah kesempatan ia pulang larut malam. Kala berjalan masuk ke dalam rumah, Bepe terkejut mendapati pigura besar terpasang di salah satu sudut ruang tamu, berisi jersey Timnas yang dipakainya di perhelatan SEA Games. Jersey pertama Bepe. Sang ayah lah yang memajangnya, tentu sebagai ungkapan rasa bangga atas prestasi sang buah hati. Malam itu, sambil memandangi pigura tersebut, Bepe mengucap janji dalam hati. Inilah isi ikrar Bepe dalam kesunyian malam tersebut:

“Kemampuan saya mungkin akan berangsur surut seiring dengan berjalannya waktu. Ketajaman saya sebagai seorang striker mungkin lambat laun akan memudar seiring dengan perkembangan permainan sepak bola itu sendiri. Akan tetapi “TIDAK” dengan komitmen dan dedikasi saya kepada Tim Merah Putih. TIDAK AKAN PERNAH BERUBAH!”

Pigura bersejarah tersebut sampai kini masih menempel di tempat yang sama, tidak bergeser sedikitpun. Bepe menyebut hal itu sejalan dengan keyakinan, komitmen dan dedikasinya terhadap Timnas Indonesia, tidak berkurang dan tidak pula bergeser.

“Cepat atau lambat, jersey Merah Putih ini pasti akan tanggal dari badanku. Akan tetapi, satu hal yang pasti, lambang Garuda itu akan tetap melekat di dada kiriku, tinggal di sana sampai akhir hayatku.” One faith, one flag, one mission, one heart, and one love for INDONESIA.

Tentang kadar profesiolisme Bepe dapat terbaca di tulisan “Saya, Alfred Riedl, dan Piala AFF 2010”. Seperti diketahui bersama, dalam ajang Piala AFF itu Bepe gagal masuk starting XI. Meskipun berposisi sebagai kapten tim, pemain yang disebut-sebut bergaji tertinggi di Indonesia ini harus puas menghangatkan bangku cadangan. Pelatih Alfred Riedl lebih suka menduetkan Cristian Gonzalez dan Irfan Bachdim. Tentu tak mudah bagi Bepe menerima kenyataan itu setelah bertahun-tahun menguasai pos striker utama. Tapi Bepe dengan besar hati menerima keputusan itu.

Dalam sebuah momen seusai latihan rutin menjelang Piala AFF bergulir, Bepe dan Riedl membuat sebuah kesepakatan. Sebuah kesepakatan yang disebut muncul atas dasar profesionalisme. Atas dasar jiwa profesionalisme Riedl sebagai pelatih dan Bepe sebagai pemain. Inilah kutipan pembicaraan mereka:

Alfred: “Bambang, selama 3 bulan kita bekerja sama, tentu kamu sudah mengenal karakter saya, begitu juga sebaliknya. Saya adalah pelatih yang jujur, berbicara terbuka, dan langsung. Saya bukan tipe pelatih yang suka berbicara di belakang.”

Saya: “Ya, Coach. Saya tahu betul akan hal tersebut.”

Alfred: “Oke, bagus kalau begitu. Hari ini saya harus mengatakan dengan jujur bahwa kamu tidak berhasil menjadi bagian dari 11 pemain inti di Piala AFF nanti.”

Mendengar kalimat itu, seketika lidah saya menjadi kelu, rahang saya menjadi kaku dan membeku. Jelas ini bukan kabar yang mudah didengar dan diterima. Beberapa saat kemudian hanya sebuah kata yang keluar dari mulut saya: “Oke”

Kemudian Riedl kembali berkata: “Bambang, kamu adalah pemain paling senior di tim ini. Kamu sudah berada di sini sejak 1999. Saya tahu keputusan ini sangat berat buat kamu. Tapi saya harus fair dalam membuat keputusan.”

Saya: “Ya, Coach. Saya tahu itu.”

Alfred: “Asal kamu tahu Bambang, saya masih membutuhkan kamu. Sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi kapten dan pemimpin dalam tim ini. Tidak ada yang perlu diragukan tentang hal itu. Akan tetapi, saya tidak dapat berjanji apakah kamu akan turun dalam setiap pertandingan di Piala AFF nanti.”

Saya: “Sebagai pemain, saya akan selalu menghargai dan menghormati keputusan anda sebagai pelatih. Apapun itu, walau sejujurnya hal tersebut tidak akan mudah bagi saya.”

Alfred: “Jadi kamu bisa menerima keputusan saya?”

Saya: “Bisa coach. Tidak ada masalah dengan hal tersebut. Anda mungkin baru mengenal saya selama tiga bulan di tim nasional. Akan tetapi, asal anda tahu, komitmen saya untuk tim nasional akan selalu 100%. Saya harap anda tidak meragukannya.”

Alfred: “Satu hal yang harus kamu tahu Bambang, semua orang dalam tim ini adalah manusia-manusia yang bebas. Setiap orang boleh pergi kalau merasa tidak puas atau tidak nyaman dan itu juga berlaku untuk kamu dan juga saya. Jadi, jika kamu merasa tidak puas dengan keadaan ini, kamu berhak untuk meninggalkan tim ini dan saya akan menghormati keputusan kamu tersebut. Bagaimana?”

Saya: “Tidak, Coach! Apapun konsekuensinya, saya akan tetap berada di sini. Kecuali jika Anda meminta saya meninggalkan tim ini, maka saya akan segera mengemas barang-barang saya dan pulang menemui keluarga saya.”

Alfred: Mungkin kamu juga akan mengalami masalah dengan wartawan yang akan coba untuk memancing perdebatan dengan kamu dan saya karena sebagai pemain senior hanya menjadi cadangan. Apakah kamu siap dengan hal tersebut?”

Saya: “Tidak ada masalah dengan hal tersebut, Coach. Lagipula sudah sejak lama hubungan saya dengan wartawan memang tidak berjalan dengan baik. Anda tidak perlu khawatir dengan hal tersebut, saya sudah terbiasa dalam menghadapi hal-hal tersebut.”

Alfred: “Oke kalau begitu. Apakah kamu juga bersedia membantu saya untuk mengatur, menjaga, serta memimpin tim ini sebagai kapten, walaupun mungkin kamu tidak akan bermain sebagai tim utama?”

Saya: “Saya akan selalu berusaha memberikan hal yang terbaik yang saya mampu untuk Anda, untuk tim nasional, dan untuk negara saya coach. Dapat saya pastikan itu.”

Alfred: “Terima kasih, Bambang. Saya tahu kamu adalah pemain besar dan juga berjiwa besar.”

Yah, janji Bambang terhadap Riedl memang terbukti. Bepe tak pernah mengeluh selama jadi ban serep sepanjang gelaran Piala AFF 2010. Dia juga berusaha memberikan yang terbaik ketika mendapat kesempatan. Ketenangan dan mentalnya tak perlu diragukan. Buktinya adalah dua golnya dari titik putih ketika Indonesia mengalahkan Thailand 2-1 di babak penyisihan. Meski akhirnya Indonesia gagal juara, saya tak ragu memberikan apresiasi untuk jiwa besar dan profesionalisme Bepe.

Lalu bagaimana hubungannya dengan wartawan? Dalam percakapan di atas Bepe mengakui sendiri bahwa hubungannya dengan jurnalis tidak berjalan baik. Penjelasan lebih gamblang dijabarkannya dalam tulisan berjudul “Terbang di Bawah Radar”. Artikel itu ditulisnya seusai Indonesia menang atas Thailand di Piala AFF 2010. Saat itu hampir semua wartawan kecewa berat karena Bepe hanya bungkam ketika dicecar pertanyaan di mixed zone, Stadion Gelora Bung Karno. Padahal ia adalah bintang dalam pertandingan malam itu.

Bepe mengaku tahu bahwa hampir semua wartawan menilainya sebagai pribadi yang sombong. Namun ia merasa punya alasan mengapa menolak wawancara seperti itu. Ia lebih suka menjawab pertanyaan dalam sesi jumpa pers resmi atau bercerita dengan detail melalui web pribadinya. Seringkali ia merasa kecewa karena hasil wawancara yang keluar kadang tidak sama dengan yang disampaikan. Bepe akhirnya memilih jalan yang terjal berliku dalam berhubungan dengan wartawan. Dia mengaku memosisikan diri sebagai pribadi yang menjengkelkan, membuat kening berkenyit, menentang arus dan memancing cacian serta makian. Tetapi, setidaknya ia merasa tidak membohongi diri sendiri.

Setelah membaca tuntas buku setebal 381 halaman ini, saya lebih bisa memahami sosok Bepe. Di balik “kesombongannya” dia ternyata sosok pria yang punya semangat tinggi, tak kenal menyerah, penuh dedikasi, kadang jahil, profesional, dan sangat menempatkan keluarga di atas segalanya.  Dan kini saya pun sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika mendapat tugas mewancarai Bepe. Yaitu dengan tegas langsung menolak tugas tersebut. hehehehe. Ngapain saya harus nyerocos panjang lebar dan membuang waktu jika sudah tahu tak akan mendapat jawaban apapun. Lebih baik mewancarai pemain lainnya yang “lebih ramah” seperti Firman Utina, Markus Horison atau siapapun yang siap direcoki pertanyaan di lapangan atau melalu telepon genggam. Betul kan?

Jadi ketika kembali ditanya apakah setelah membaca buku ini Bepe berubah menjadi pemain favorit saya? Maaf, untuk yang satu ini, saya tetap menjawab tidak...hehehe. Untuk pemain favotit, saya lebih suka menjatuhkan pilihan terhadap Firma Utina saja. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun