Mohon tunggu...
Yus Mei Sawitri
Yus Mei Sawitri Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis sejak kecil....Hobi jalan-jalan, nongkrongin toko buku dan nonton sepak bola...:)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Belajar dari Atlet Difabel

10 Juni 2011   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_115565" align="aligncenter" width="680" caption="Para atlet tenis NPCs melakukan pemanasan di lapangan tenis, Kopassus, Kandang Menjangan, Sukoharjo"][/caption]

Belum lama ini saya ditugasi membuat tulisan tentang atlet National Paralympics Comittees (NPCs) Indonesia yang sedang menjalani program pembentukan karakter selama sepekan di markas Grup 2 Kopassus, Kandang Menjangan, Kartasura, Sukoharjo. Mereka adalah atlet-atlet difabel yang akan menjadi tumpuan Indonesia pada kejuaraan ASEAN Para Games (APG) VI di Solo, 12-19 Desember mendatang. Dengan senang hati, saya jalani tugas itu. Program pembentukan karakter di markas tentara bukan hal baru. Para pemain sepak bola Timnas yang akan turun di SEA Games tahun ini juga sudah menjalaninya. Yang bikin menarik dan beda, karena kali ini yang digembleng adalah atlet-atlet difabel. Seperti apa gemblengan ala militer yang diterapkan? Saya tiba di Kandang Menjangan agak sore, sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah melalui prosedur standar untuk memasuki area markas Grup 2 Kopassus ini, saya pun diantar ke Gedung Bhirawa Yudha. Ternyata para atlet NPCs tersebut sedang menjalani sesi pendalaman materi tentang Wawasan Kebangsaan. Jumlah atletnya sekitar 350 orang. Saya datang agak telat, jadi sesi itu sudah hampir habis. Tapi suasananya tetap bisa tertangkap. Pemberi materi, Mayor Infanteri Aulia Dwi, dengan penuh semangat mengupas materi tentang segala hal yang berkaitan dengan semangat kebangsaan, jiwa patriotisme dan arti harga diri bangsa. Gairah dan semangat Pak Aulia dengan mudah menular kepada para peserta. Teriakan “merdeka” beberapa kali terdengar. Juga ucapan “siap” ketika para atlet ditanya apakah mereka bersedia membela dan mempertahankan setiap jengkal harga diri bangsa ini. Antusiasme juga tampak dari banyaknya atlet yang ingin menyampaikan pertanyaan. Semuanya terasa lebih pas karena duta olahraga Tanah Air tersebut mengenakan seragam berupa kaos merah bertuliskan Indonesia. Saat sesi istirahat, saya pun minta ijin untuk berbincang dengan salah seorang atlet. Kebetulan yang saya dekati adalah seorang atlet panahan yang berasal dari Kalimantan. Ibu tiga orang anak yang menjalani sisa hidupnya di atas kursi roda. Helda Ampang Bangkek namanya. Usianya sudah 35 tahun. Meskipun gurat-gurat kelelahan tampak jelas di wajahnya, Bu Helda terus mengumbar senyum. Dengan antusias dia meladeni setiap pertanyaan saya. “Saya sudah pernah menjalani yang mirip seperti ini saat pra-jabatan pegawai negeri. Tapi ini berbeda. Memang agak melelahkan, tapi manfaatnya sungguh besar. Sebagai atlet biasanya kami hanya latihan dan latihan. Di sini kami diajari bagaimana menjadi disiplin, menjalin kekompakan dan mengasah mental. Saya sangat merasakan kegunaannya,” kata Bu Helda. “Sebagai seorang atlet cacat biasanya kami agak individualis, biasanya muncul karena perasaan inferior. Tapi di sini kami diajari untuk percaya diri dan kompak dengan teman,” imbuh Bu Helda. Satu-satunya kendala yang dihadapi Bu Helda adalah rasa kangen terhadap keluarganya. Tapi baginya itu semua adalah risiko yang harus diambil untuk menegakkan panji-panji merah putih. Yang mengesankan, Bu Helda sangat optimistis menghadapi medan pertempuran sebenarnya pada Desember mendatang. Tanpa ragu dia menyebut emas sebagai target. Meskipun masih buta dengan kekuatan lawan, Bu Helda yakin bisa menggapai cita-cita mulia itu. Saya pun langsung ikut mendoakan dari dalam hati. Tiba-tiba ada tanda sesi istirahat untuk menyantap makanan ringan sudah habis. Bu Helda pun langsung panik. “Waduh bisa kena hukum nih, soalnya gak habis makanannya,” kata Bu Helda sembari ngebut menghabiskan makanan kecil di kotaknya. Progam pembentukan karakter selama sepekan itu bukan hanya melulu diisi kegiatan di dalam ruangan. Banyak juga kegiatan di luar ruangan. Acara harian dimulai dengan senam bersama pada pukul 06.00 dan keseluruhan kegiatan baru ditutup pada pukul 21.00. Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya. Kegiatan luar ruangan yang dijalani antara lain latihan sesuai cabang olahraga masing-masing, senam dan baris berbaris. Kegiatan baris berbaris itu wajib diikuti semua atlet, mulai yang duduk di kursi roda, cacat kaki maupun cacat penglihatan. Komandan latihan, Pak Aulia, membeberkan betapa rumitnya menyusun program-program tersebut. Mereka dituntut kreatif dan inovatif. “Selama sepekan penuh kami harus memikirkan inovasi yang harus dilakukan. Ini bukan hal mudah, karena sebelumnya kami belum pernah menghadapi yang seperti ini. Tapi dengan berbagai inovasi akhirnya bisa juga. Misalnya sesi baris berbaris yang pake kursi roda, sangat berbeda denga orang normal. Saat ada perintah hadap kanan mereka tinggal memegang penggerak kursi roda dan menghadapkan kursi ke kanan. Cukup dua langkah, bukan tiga. Untuk atlet yang menggunakan kruk harus pelan-pelan,” ujar Pak Aulia. Di akhir perbincangan Pak Aulia mengungkapkan kekaguman terhadap semangat para atlet difabel itu. Mental duta olahraga Indonesia itu disebutnya sangat kuat, penuh kebersamaan dan tak mudah menyerah. Jarang keluar kata-kata keluhan. Juga belum ada yang menyerah di tengah jalan. Saat saya datang ke sana, pelatihan itu sudah berjalan selama tiga hari. “Mereka benar-benar mengagumkan. Saya harus banyak belajar dari mereka,” kata Pak Aulia. Selepas sesi pendalaman materi, para atlet pun keluar gedung untuk menjalani latihan sesuai cabang olahraga masing-masing. Saya pun meluangkan waktu sebentar untuk melongok latihan tenis yang diperuntukkan untuk atlet-atlet berkursi roda. Dengan penuh semangat mereka belatih memukul bola yang dilemparkan oleh pelatihnya dari seberang net. Keterbatasan tak menghalangi mereka untuk mengejar mimpi dan mengharumkan nama Indonesia. Ahhh....saya jadi malu dan merasa seperti orang yang kurang bersyukur. Ketika hendak pulang, saya disapa oleh seorang atlet. Wajahnya saya hapal, tapi namanya lupa. Dia pun menjabat tangan saya. Dengan penuh senyum dia mengakui bahwa program ini memang melelahkan. Tapi ternyata semangatnya tetap membara. “Kami patriot sejati,” katanya sembari mengepalkan tangan dan berlalu dari hadapan saya....Selamat berjuang....:)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun