Pembangunan dari desa merupakan hal yang sering didengung-dengungkan pada era pemerintahan pak Jokowi dan pak Jusuf Kalla. Pembangunan dilaksanakan dari desa dan pinggiran dianggap sebagai sebuah parameter tersendiri kemajuan suatu bangsa. "Desa dan kawasan pingggiranpun maju, gimana kota-kotanya", begitu yang biasanya sering didengungkan. Pada kenyataaannya masyarakat Indonesia yang tinggal di desa berjumlah 112.5 juta jiwa atau 45% dari total penduduk di Indonesia[1]. Ini menjadikan desa sebagai indikator yang penting, ekonomi desa kuat maka negara akan kuat.
Di balik hal tersebut, penyediaan energi primer khususnya energi listrik di desa-desa masih belum mencakup keseluruhan desa yang ada. Pada tahun 2017, dari 82.190 desa di seluruh Indonesia terdapat 3.883 desa yang belum mendapat akses listrik. Ini sangat disayangkan, karena keberadaan energi primer yang murah dan terjangkau seperti listrik dan bahan bakar akan menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas perekenomian desa.Â
Upaya peningkatan rasio elektrifikasi selalu dilakukan PLN sebagai pelaku bisnis transisi kelistrikan di Indonesia. Namun, kendala geografis dan faktor neraca keuntungan PLN mempengaruhi upaya tersebut. Permasalahan tersebut menyebabkan ketidakekonomisan transmisi (karena kepadatan penduduk yang rendah) dan berpotensi menjadi beban kerugian untuk PLN. Salah satu upaya PLN dan pemerintah meningkatkan rasio elektrifikasi adalah dengan mencabut subsidi 900 kVa untuk menutupi kerugian transmisi.
Hal ini yang menjadi dasar pembahasan pada diskusi online yang diadakan oleh komunitas ECADIN, kumpulan para ahli di bidang energi yang membahas tentang energi terbarukan untuk kawasan pedesaan. Pembicaranya adalah Dr. Ichsan, seorang expert energi berkelanjutan yang bekerja pada lembaga pemerintah MCA Indonesia. Beliau merupakan ahli dalam pengauditan energi dan sempat bekerja di Shell, Belanda.Â
Ada bahasan yang menarik, bahwa melistriki desa-desa merupakan kewajiban negara untuk mengupayakan hal tersebut, namun mekanismenya bisa beragam. Beberapa upaya yang telah pemerintah lakukan melalui Desa Mandiri dan PNPM nyatanya belum menunjukkan hasil yang berkelanjutan dari upaya pelistrikan dan pengembangan ekonomi desa. Selain itu, program dana 1 miliar yang diluncurkan oleh pak Jokowi dinilai belum benar-benar termaksimalkan penggunaannya. Hal ini disebabkan belum siapnya SDM-SDM desa maupun pada tataran kementrian untuk mengelola penggunaan dana tersebut.
Ada skenario bagus yang ditawarkan untuk dapat melistriki daerah-daerah sekaligus membangun perekonomian desa setempat. Paradigma pertama adalah penyediaan listrik merupakan pintu gerbang untuk meningkatkan produktivitas desa, bukan fakhir dari program pengembangan desa. Kemudian ada konsep yaitu 4P : People, Public, Private, dan Partnership.Â
Metode ini membuka ruang untuk investor-investor untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi lokal dan mendapat kentungan dari sana. Keuntungan yang didapatkan dari kWh listrik pada akhirnya dapat dibagi untuk investor dan BUMDES atau badan usaha milik desa. BUMD sendiri dapat disupport untuk memanfaatkan listrik tersebut dalam upaya peningkatan pereknomoian desa tentunya dengan bantuan pelatihan-pelathan dari pemerintah, NGO, maupun gerakan-gerakan mahasiswa.
Pada intinya, upaya pelistrikan desa tidak idealnya memang seperti penyediaan listrik di kota-kota, dapat digunakan dengan bebas dan menyala sepanjang hari. Namun ruang-ruang investasi sektor privat harus dibuka untuk mendorong percepatan pelistrikan agar tidak membenari PLN selaku pelaku bisnis transmisi listrik
 Seminar ECADIN : Model Berkelanjutan Untuk Melistriki Desa-desa di Indonesia oleh Dr. Ichsan