Mohon tunggu...
Usamah Usamah
Usamah Usamah Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa di Universitas Airlangga

Seorang profesional muda dengan keahlian tingkat ahli di bidang riset, bisnis, menulis, editing, desain, penyelenggaraan acara, penjualan, dan strategi pemasaran. Memiliki rekam jejak yang terbukti dalam membangun dan mengembangkan bisnis dengan keterampilan tersebut, mencapai kesuksesan yang berkelanjutan. Diakui secara nasional atas pencapaian dalam riset, penulisan, editing, dan desain, dengan karya yang telah diterbitkan dalam bidang jurnalistik, riset, serta proyek kreatif. Pengalaman kepemimpinan dan organisasi yang luas, baik di organisasi internal maupun eksternal, yang telah membangun kemampuan manajemen waktu, berpikir kritis, keterampilan komunikasi, kreativitas dalam mengekspresikan ide, serta kemampuan bekerja di bawah tekanan. Sangat mencintai dunia tulis-menulis dan telah menjabat sebagai pemimpin redaksi selama 3 tahun di sekolahnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa Asing Memudarkan Kecintaan akan Indonesia, Benarkah?

3 November 2024   14:30 Diperbarui: 3 November 2024   14:40 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Globalisasi pada abad ke-21 menyebabkan barier antarnegara yang terpisah oleh batasan-batasan geografis lepas dan berefek pada munculnya perubahan secara masif di berbagai aspek kehidupan manusia. Mungkin aspek bahasa merupakan satu-satunya aspek yang jarang disorot oleh media. Namun, tetap perubahan ini nyata ada dan jelas dampaknya terhadap kehidupan terutama pada penggunaan bahasa sehari-hari. Banyak yang menganggap bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dari negara dengan ribuan bangsa dan pulau di Asia Tenggara dianggap memudar akibat kontaminasi dari bahasa-bahasa asing. Apakah ini benar? Tentu saja tidak.

Gagasan di atas kemungkinan besar muncul karena fenomena penggunaan multibahasa di anak muda yang semakin gencar. Pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, baik di kehidupan nyata maupun maya kadang dijadikan bukti dan dikampanyekan seolah-olah keterampilan multibahasa membawa dampak negatif terlepas dari segudang dampak positif lainnya. Keterampilan multibahasa dianggap mengikis kemampuan berbahasa Indoensia yang baik dan benar. Padahal faktanya tidak demikian.

Bahasa Indonesia memang merupakan bahasa utama kita, namun keterampilan berbahasa asing perlahan menjadi sesuatu yang krusial bahkan wajib untuk dimiliki dalam kehidupan global. Apa buktinya? Banyak. Di dunia kerja, sudah banyak perusahaan yang hanya menerima karyawan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Di dunia pendidikan, seleksi ke perguruan tinggi kini ada yang menambahkan nilai lebih kepada calon mahasiswa dengan kemampuan berbahasa asing.  Masih belum cukup? Kalau begitu, anggap saja seluruh pekerjaan berpenghasilan tinggi sudah minim tersedia di Indonesia dan satu-satunya opsi yang ada adalah keluar negeri. Kalau kita tidak mampu berbahasa asing, minimal bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bagaimana kita bisa survive? Bukti-bukti tersebut terasa seperti pukulan telak bagi kita yang hanya bisa berbahasa Indonesia di zaman ini. Namun begitulah globalisasi bekerja dan akan terus memaksa kita untuk berpacu dalam kehidupan yang serba tidak pasti.

Apakah fakta-fakta di atas belum cukup? Apakah masih menganggap bahasa asing sebagai ancaman? Mari kita gunakan logika. Kita mengetahui bahwa negara kita memiliki ratusan bahasa daerah. Sedari dulu anak-anak diajarkan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sekaligus. Apakah ada bukti bahwasanya sering menggunakan bahasa daerah membuat kemampuan bahasa Indonesia seseorang berkurang?  Rasanya tidak. Lantas, mengapa kadang orang yang memiliki keterampilan multibahasa dianggap berbeda? Padahal secara logika fenomena ini sama dan sudah kita alami selama 77 tahun bahkan sebelum bendera merah putih menjadi bendera nasional kita.

Pembaca pasti tau dengan slogan yang digaungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI yang berbunyi, "Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing". Slogan ini sendiri dibuat supaya bangsa Indonesia berkemauan untuk meningkatkan keterampilannya dalam berbahasa asing. Tujuannya tidak lain tidak bukan karena kebutuhan akan bahasa asing yang sudah menjadi kualifikasi global dan sebagai syarat mutlak untuk berkomunikasi dengan masyarakat global. Bagaimana kita bisa mengimplementasikan slogan ini apabila stigma bahasa asing dapat mengikis bahasa Indonesia kita masih dipertahankan?

Tokoh hidup yang mungkin bisa mematahkan stigma di atas adalah almarhum B. J. Habibie. B. J. Habibie, tokoh terkenal yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, terpapar langsung oleh bahasa asing sejak kecil. Berbekal dengan kemauan visioner serta kehausan akan ilmu pengetahuan, ia mengenyam pendidikan sampai ke Jerman. Akan tetapi, kecintaannya akan Indonesia tidak pernah pudar. Bayangkan saja, orang Indonesia yang mengenyam pendidikan formal di Jerman pada tahun 90-an. Sudah pasti ia memiliki keterampilan multibahasa yang luar biasa yang berhasil mengantarnya hingga ke tempat yang sangat jauh. Namun, pada akhirnya ia kembali ke negeri asalnya dan mengabdi  sampai maut menjemputnya. Mengesankan, bukan?

Di sisi lain, informasi dan wawasan yang tersedia dalam bahasa Indonesia tidak sebanyak yang tersedia dalam bahasa asing. Perlu diingat bahwa kita masih tertinggal dari segi kemajuan pengetahuan dibandingkan negara-negara barat. Dengan kita menguasai bahasa asing, peluang untuk melaluaskan cakrawala pengetahuan kita akan semakin besar.

Bagaimanapun juga, bahasa asing sudah menjadi keterampilan dasar pada abad ke-21 ini. Bahasa asing, terlebih bahasa Inggris, digunakan hampir pada seluruh aspek kehidupan. Untuk kita berkomunikasi dengan masyarakat global, butuh bahasa Inggris. Untuk mengepakkan sayap bisnis ke luar negeri, butuh bahasa Inggris. Bahkan untuk berdiplomasi, lebih meyakinkan jika kita mahir berbahasa asing dibandingkan menggunakan seorang penerjemah. Bahasa asing adalah bagian dari perubahan. Perubahan di zaman sekarang adalah keniscayaan yang tidak bisa kita hindari. Namun, menguasai bahasa asing harus tetap diselaraskaan dengan kecintaan akan bahasa sendiri yang tetap kuat. Mungkin bahasa Indonesia belum bisa menjadi bahasa internasional yang dikenal banyak orang, namun tetap saja bahasa Indonesia adalah bahasa yang berhasil menyatukan ribuan pulau dalam satu bendera.

Dibandingkan bahasa Indonesia, bahasa daerah lebih rentan untuk terkikis karena berkembangnya zaman. Bukan karena pengaruh dari bahasa asing, melainkan pelestariannya dari masing-masing individu yang kurang. Namun berbeda dari bahasa asing yang berasal dari luar, bahasa daerah ada sejak lama dan terbentuk karena sanubari masing-masing daerah. Pelestarian bahasa daerah ini tentu akan lebih mudah dilakukan dibandingkan belajar bahasa asing. 

Sebagai penutup, sudah sepatutnya setiap manusia Indonesia berpegang teguh pada jati diri yang sudah ada dan ditetapkan baik secara hukum maupun lisan. Sudah disinggung dari awal bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang berhasil menyatukan ribuan bangsa dan pulau dalam satu panji merah putih. Berbanggalah dengan bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa daerah masing-masing. Kuasailah bahasa asing karena keterampilan multibahasa sudah menjadi keterampilan dasar di zaman modern ini.  Ingat, tidak ada yang bisa melawan perubahan yang dibawa oleh gelombang zaman. Namun, perubahaan tersebut tidak akan mampu mengubah jati diri suatu bangsa dengan syarat setiap individu mau untuk berpegang teguh kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun