Judul : PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
Penulis: Catur Yunianto, S.H., M.H.
Penerbit: Penerbit Nusa Media
Terbit : 2018
Cetakan Pertama, Juni 2018
Buku berjudul "Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Perkawinan" yang di tulis oleh Catur Yunianto, S.H., M.H. Dalam buku tersebut menjelaskan bagaimana pernikahan dini itu dalam pandangan hukum, awal nya penulis ragu untuk menulis buku ini tetapi setelah beliau melihat semboyan "Tiada suatu usaha besar akan berhasil tanpa dimulai dari usaha yang kecil" akhirnya sang penulis memberanikan diri untuk menulis bukun ini.
Pernikahan dini sangat banyak sekali terjadi apalagi di kalangan masyrakat Indonesia. Penulis mengibaratkan seperti fenomena gunung es, bila sedikit atau terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Seringkali masyarakat beralasan pernikahan dini itu di kaitkan dengan agama, budaya. Maka dari itu banyak sekali perdebatan tentang fenomena pernikahan dini karena dalam undang-undang sudah jelas menentang terjadinya pernikahan dini. Seharusnya tidak ada alasan bagi mereka untuk melegalkan sebuah pernikahan dini tersebut.
Pernikahan
Dalam Hukum Positif Indonesia dijelan kan tentang perkawinan dalam UU No.1 Tahun1974 menyatakan bahwa "perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa" dan dalam undang-undang tentang batas usia untuk melangsungkan pernikahan yaitu pasal 7 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 bahwasanya batasan laki-laki 19 (Sembilan Belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (Enam Belas) tahun.
Pengertian Pernikahan itu sendiri ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Dan juga sudah jelaskan di atas dalam UU No.1 Tahun 1974.
Pernikahan dini menurut huda merupakan pernikahan yang dilaksakan tidak sesuai undang-undang perkawinan tahun 1974. Undang-undang sudah mempertimbangkan dari sudut fisik, psikologis, dan mental calon mempelai. Bidang kedokteran sudah meriset bahwasanya pernikahan dini mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan dan ibu yang melakukan pernikahan dini, kehamilan yang di alami ibu muda masih rentan dan berdampak kematian bagi calon anak dan ibunya.
Syarat pernikahan sudah tercantum dalam pasal 6 sampai 12 UU No.1 Tahun 1974 sebagai berikut :
Pasal 6
1)Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
2)Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3)Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5)Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6)Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapa umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita suda mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
 (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dap meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat la yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurang yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
(a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
(b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
(c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
(d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
(e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
(f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
 Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, tidak mengurangi syarat-syarat menurut ketentuan hukum perkawinan yang berlaku hingga saat ini Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 undang-undang ini.
Bila melihat isi dari kutipan pasal-pasal diatas mengenai persyaratan pernikahan dapat kita ketahui bahwa terdapat batasan-batasan umur yang telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai usia dari calon mempelai. Batasan tersebut menunjukkan sebuah arahan kepada siapapun yang ingin melangsungkan pernikahan untuk menyesuaikan dengan batasan umur yaitu bagi laki-laki berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pasal tersebut melihat bahwa pada umumnya seseorang apabila telah mencapai umur pada batasan umur dalam undang-undang telah memiliki kedewasaan yang mampu untuk berpikir lebih matang. Dari segi usia tersebut calon mempelai diharapkan dapat memiliki kesiapan dari segi fisik dan mental untuk melangsungkan pernikahan.
Hukum pernikahan dini tercantum dalam Undang-undang Permasalahan pernikahan dini di Indonesia tentu berbenturan dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Dalam bab II pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang No. 1 tentang perkawinan telah dijelaskan mengenai syarat dan ketentuan perkawinan di Indonesia. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang harus disetujui kedua calon mempelai dan usia bagi pria yang minimal harus berusia 19 tahun dan bagi perempuan minimal 16 tahun. Dasar inilah yang harus dijadikan bagi seluruh warga negara yang ingin melakukan perkawinan atau Pernikahan. Apabila sudah tidak sesuai dengan Undang-undang tersebut akan menyalahi peraturan yang berlaku terhadap Undang-undang perkawinan.
Dalam pandangan hukum agama Islam Perkawinan merupakan sebuah ibadah yang dilakukan oleh pemeluknya untuk menghindari perbuatan-perbuatan maksiat. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nou tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan menrut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah. Dalam pasal berikunya, yaitu pasal 4, perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 15 menjelaskan bahwa untuk mencapai kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur sesuai dengan ketetapan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yaitu bagi laki-laki berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan perempuan sekurang-kurangnya 16 tahun.
Ibnu Mas'ud (dalam Adhim) adalah salah seorang sahabat nabi Muhammad SAW menceritakan sebuah hadits Rasulullah mengenai perkawinan sebagai berikut,
Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mencapai ba'ah, kawinlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual" (HR Imam yang Lima).
Perkawinan Dini Menurut Pandangan Hukum Adat
Adat istiadat merupakan ialah suatu kompleks norma- norma yang oleh individu-individu menganutnya dianggap ada diatas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat.16 Adat istiadat ini merupakan suatu ikatan dalam sebuah masyarakat sebuah pedoman masyarakat untuk berperilaku. Tujuannnya ialah untuk melakukan control terhadap perilaku-perilaku yang dianggap menyimpang oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga didalamnya terdapat norma-norma dan pranata sosial. Perkawinan dalam hukum adat merupakan bagian dari norma-norma dan pranata-pranata sosial yang mengatur bagaiamana cara, syarat dan tujuan dari perkawinan tersebut.
Penyebab Pernikahan Dini
Rendahnya Tingkat Pendidikan dalam kasus pernikahan dini yang banyak terjadi pada masyarakat kita salah satu peneyebabnya ialah mengenai masalah pendidikan. Tingkat pendidikan serta pengetahuan rendah yang dimiliki oleh anak ataupun orang tua dalam sebuah masyarakat, dapat menimbulkan sebuah kecendurangan terjadinya suatu pernikahan di bawah umur atau dini.
Pendidikan dalam arti luas adalah hidup, yaitu segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam sebuah lingkungan yang terjadi sepanjang hidup. Kemudian dalam arti sempitnya, pendidikan yaitu pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai bentuk-bentuk dari sebuah lembaga pendidikan formal. Dalam pengertian alternatif atau luas terbatas, pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua itu berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah yang terjadi sepanjang hayat. Bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa mendatang
Intervensi Orang Tua Terhadap Pernikahan Anak itu sebagai alasan, keluarga adalah satuan terkecil dari susunan sebuah masyarakat atau sekaligus dapat dikatakan kelompok paling kecil. Kelompok ini berkaitan dengan perkembangan seorang individu yang biasa dikenal dengan primary group. Dari kelompok inilah nanti akan muncul kepribadian, sifat atau perilaku individu dalam prosesnya nanti ketika bermasyarakat. Pada susunan bentuk yang paling dasar dari sebuah keluarga terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan serta ditambah oleh anak-anak mereka, apabila anak-anak mereka belum menikah biasanya tinggal dalam satu rumah. Keluarga tadi dalam antropologi disebut keluarga inti. Dalam keluarga ini dapat berwujud menjadi keluarga yang lebih besar apabila ada tambahan dari orang lain, baik itu terdiri dari kerabat maupun yang bukan. Akan tetapi mereka bersama-sama tinggal pada satu rumah dengan keluarga inti
Dualisme Legalitas Status Pernikahan Secara Agama
Agama dapat dikatakan sebagai sebuah elemen terpenting dalam kehidupan masyarakat. Apabila kita melihat mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Dalam agama Islam dijelaskan tentang bagaimana ikatan pernikahan merukapan sebuah ibadah yang wajib dilaksanakan dan telah disahkan menurut Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Salah satu tujuan ikatan pernikahan dalam Islam ialah untuk mencegah timbulnya prasangka-prasangka buruk dan agar tidak muncul tindakan-tindakan maksiat (zinah). Agama Islam tidak membenarkan bahwa hidup tanpa pasangan baik itu laki-laki ataupun perempuan, dapat dikatakan mereka merupakan golongan orang-orang yang sengsara. Tidak dapat menikmati kebahagiaan secara utuh
Faktor budaya ini juga mengambil peran yang cukup besar, karena kebudayaan diturunkan secara turun-temurun dan telah mengakar cukup kuat sebagai kepercayaan. Budaya pula bisa mencerminkan setiap perilaku dan tindakan masyarakat.
Sosialisasi Pernikahan Dini merupakan sebuah proses yang dapat membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri. Dari situ nanti kita dapat mengerti bagaimana berperilaku, berkata dan berpikir agar mempunyai peran sesuai fungsinya baik sebagai individu maupun masyarakat. Sosialisasi tersebut mendukung interkasi antar individu ataupun dengan mesyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak Media Komunikasi Terhadap Pergaulan Remaja di zaman globalisasi beserta teknologi canggih yang ditawarkan kepada masyarakat saat ini telah memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dengan adanya globalisasi tentu telah membentuk pola hidup dalam sebuah masyarakat. Dari bagaimana mereka berinteraksi hingga bagaimana mereka berperilaku. Dampak positif dari adanya teknologi yang semakin canggih ialah mempermudah manusia untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Namun teknologi juga memiliki dampak negatif yang berpengaruh bagi penggunanya. Kelompok yang paling rentan mengalami dampak negatif dari teknologi ialah remaja dimana mereka masih memilki karakteristik yang labil atau mengalami masa transisi menuju kedewasaan. Masa iniliah dimana mereka mudah terpengaruh hal-hal yang negatif apabila kita kurang peka dalam membimbing mereka.
Pemahaman Anak Sebagai Beban Ekonomi kondisi ekonomi sebuah keluarga pasti akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Status sosial ekonomi keluarga yang mapan membuat seluruh kebutuhan mereka terpenuhi, tidak terkecuali kebutuhan sang anak. Dari kemapanan perekonomian keluarga tersebut anak dapat memilki sebuah kesempatan yang luas untuk mendapatkan pendidikan yang baik serta mampu untuk mengembangkan kemampuannya. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Status pekerjaan dan penghasilan yang tidak mencukupi membuat beban keluarga menjadi berat. Posisi orang tua harus bertanggung jawab mengenai kondisi tersebut. Kondisi ini pula yang dapat merenggut kesempatan anak untuk mengenyam pendidikan untuk mencapai apa yang mereka cita-citakan. Putus sekolah terkadang menjadi pilihan yang berat. Bahkan hal yang paling memprihatinkan ialah mereka segera menikahkan anaknya, khususnya anak perempuan yang masih belum cukup umur.
Pernikahan dini memberikan akibat atau dampak yang tanpa kita sadari dampak tersebut akan terus-menerus membawa efek ke masa depan. Akibat tersebut berupa positif dan negatif.
Perilaku ketidakpatuhan terhadap undang-undang perkawinan dan perlindungan anak. dalam kasus pernikahan dini mengindikasikan sebuah tindakan melanggar legitimasi hukum, khususnya mengenai undang-undang perkawinan dan hak yang diperoleh seorang anak. legitimasi merupakan kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan keputusan dalam peradilan dalam sebuah negara. sehingga dapat diartikan bahwa seberapa jauh masyarakat mau menerima serta mengakui sebuah keputusan, kewenangan, dan kebijakan yang diambil seorang pemimpin dalam konteks bernegara. legitimasi hukum adalah sebuah prinsip menerima sebuah keputusan pemerintah yang salah satunya dapat ditunjukkan dalam menaati dan melaksanakan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Pencegahan pernikahan dini di haruskan karena  kasus pernikahan sampai sekarang masih saja terjadi. Butuh sebuah tindakan nyata untuk mencegah ataupun menekan praktek menikah dini yang terjadi. Setelah melihat faktor dan dampaknya yang kurang baik, tentu tidak dapat dibiarkan. Fenomena ini diibaratkan gunung es yang semakin lama akan semakin memuncak serta berdampak terhadap sektor lain di masyarakat.
Muncullah kesadaran dari para perangkat dan tokoh masyarakat desa untuk melakukan pencegahan praktek pernikahan dini. Kesadaran ini timbul dari keprihatinan terhadap pelaku pernikahan dini yang sebagian besar mengalami kegagalan. Tidak hanya kegagalan yang menjadi pemicu utama, namun semua juga karena sampai saat ini masyarakat desa belum sepenuhnya memahami hakekat beserta tujuan pernikahan. Apabila kita melihat kembali dampak yang ditimbulkan, baik secara hukum maupun psikologis pelaku, para perangkat mengharapkan hal tersebut tidak terjadi kembali. Dari sinilah ada inisiatif usaha mencegah pernikahan dini dengan mekanisme sosial dalam pelaksanaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H