Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pengukuhan Kedaulatan Indonesia dalam Menghadapi Konflik Laut China Selatan

9 Mei 2024   01:01 Diperbarui: 9 Mei 2024   01:18 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nine Dash Line (VOA News, 2012)

Berbicara mengenai suatu negara pasti tidak akan cukup untuk membahas satu polemik saja di dalamnya. Sebab negara memiliki kompleksitas dalam jati dirinya, sejak ia didirikan, mengalami perkembangan atau kemunduran, dan ketika negara tersebut mengalami suatu ancaman.

 Hal ini sangat diperhatikan dalam mempertahankan garis kewilayahan dan kekuasaan suatu negara. Sama halnya dengan Indonesia, negara yang akan memperingati hari kemerdekaannya ke-79 tahun pada tanggal 17 Agustus mendatang, sebelumnya juga telah mengalami berbagai gejolak negeri, salah satunya mengenai kedaulatan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia lahir dari perjuangan rakyatnya sejak zaman kerajaan sampai era penjajahan ratusan tahun yang lalu, bahkan sampai saat ini Indonesia masih bertarung melawan kekejaman rezim di dalam maupun luar negeri. Dimana Indonesia bukanlah negara yang kecil, dapat dilihat pada tahun 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat, Indonesia memiliki 17.001 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (Badan Pusat Statistik, 2022). 

Kekayaan negeri yang terkandung di dalamnya telah tersohor ke berbagai belahan dunia dan tidak lagi menjadi rahasia asing, bahwa Indonesia sangat dilimpahi aset berharga di sekeliling negerinya, baik di daratan atau lautan sekalipun. Sayangnya, kekayaan ini juga berpotensi menjadi ancaman perebutan kekuasaan dan kerusakan kedaulatan yang dapat terjadi kapan saja.

Dikutip dari Scott Gordon, istilah kedaulatan dari Jean Bodin mengandung tiga sifat pokok, yakni tidak terbatas (absolute), kekuasaan tertinggi, dan bersifat tetap (permanent) (Gordon, 2022). Dari ketiga sifat pokok kedaulatan ini, keberadaan kedaulatan dinilai sangat penting bagi suatu negara. 

Dimana kedaulatan dilandaskan sebagai dasar hukum dari perkembangan segala aspek di dalamnya. Indonesia sendiri menganut teori kedaulatan rakyat sesuai dengan pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar". 

Adapun maksud dari kedaulatan rakyat ini adalah pembuatan maupun pelaksanaan undang-undang suatu negara melibatkan partisipasi dari rakyatnya. Selaras dengan pernyataan Jimly Asshidiqie, yakni kedaulatan rakyat merupakan pencerminan demokrasi atau perwakilan yang dapat disebut sebagai representative democracy atau indirect democracy (Asshidiqie, 1994).

Namun, dalam perjalanan kedaulatannya Indonesia seringkali mengalami pergolakan, kecaman, bahkan ancaman yang menggentanyangi pengukuhan kedaulatan. 

Salah satunya adalah konflik berkesinambungan di Laut China Selatan yang menyeret kedaulatan Indonesia. Wilayah Laut China Selatan merupakan kawasan daratan dan perairan dari dua kepulauan besar, yakni Spratly dan Paracel, serta meliputi Macclesfield dan Karang Scarborough (Sieff, 2012). 

Wilayahnya yang luas mengundang konflik berkepanjangan yang mencuat pada tahun 1970 akibat pergantian kekuasaan dan perebutan wilayah yang melibatkan beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, serta Indonesia yang akhirnya terseret meskipun bukan menjadi salah satu negara pengklaim. Hal ini terjadi setelah RRC mengklaim secara mutlak wilayah perairan Laut China Selatan di tahun 2012 (Rosarian & Pahlevi, 2013).

Merujuk dari literatur sejarah tentang konflik Laut China Selatan, terdapat tiga pemicu perairan ini menjadi wilayah yang rawan konflik. Pertama, dipicu oleh kekayaan potensi Sumber Daya Alam (SDA) di sektor minyak dan gas bumi, serta sumber energi lainnya. Kedua, letak perlintasan yang strategis melalui Selat Malaka dan jalur perniagaan dari berbagai benua, seperti Eropa, Asia, dan Amerika. 

Ketiga, akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat yang mengalami penyusutan. Sehingga, mengundang polemik antarnegara untuk mendapatkan hak kekuasaan dan kontrol penuh atas kawasan perairan yang menguntungkan ini. Berbagai upaya ditempuh oleh negara-negara penguasa, salah satunya dua negara, yakni RRC dan Amerika Serikat yang menempuh upaya militer dengan pengamanan energi. Akan tetapi, upaya ini juga memicu ancaman dan konflik yang baru melalui penguasaan militer, kekuasaan sepihak, dan intimidasi (Roza, Nainggolan, & Muhamad, 2013).

Jauh puluhan tahun yang lalu setelah perang dunia II, tepatnya pada tahun 1947 RRC sebenarnya telah mengklaim secara sepihak wilayah Laut China Selatan melalui peta dengan tanda sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line). Kejadian ini mengalami pengulangan persoalan yang sama di tahun 1993 dan terulang kembali dengan peta terbaru pada tahun 2009. 

Dimana pada tahun berikutnya, yakni tahun 2012 RRC melibatkan perairan Natuna ke dalam peta klaimnya. Hal ini mengakibatkan terancamnya kepemilikan atas Kepulauan Natuna dan penyalahgunaan hak Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang berdampak pada stabilitas keamanan dan ekonomi (Ruyat, 2017). Persoalan tersebut akhirnya membawa Indonesia untuk turut andil dalam menyelesaikan permasalahan ini karena telah menyangkut pengukuhan kedaulatan Indonesia.

Kepulauan Natuna sendiri merupakan salah satu wilayah perairan di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga di sekitarnya. Kepulauan ini terdiri dari gugusan pulau kecil yang memiliki cadangan gas bumi terbesar di dunia, khususnya wilayah Asia Pasifik. Cadangan minyak dan gas bumi yang ada di dalamnya ditaksir mencapai 14.386.470 barel dan 112.356.680 barel. Selain itu, kawasan perairan Natuna menjadi perlintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang juga menjadi jalur internasional untuk kapal-kapal dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik atau sebaliknya. Hal ini menjadi topik permasalahan baru yang mengancam kedaulatan Indonesia sejak saat itu.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam menengahi dan menyelesaikan konflik ini, mulai dari jalur diplomasi sampai pertahanan militer masing-masing negara. Akan tetapi, perjalanan yang ditempuh berlangsung alot karena lagi-lagi RRC bersikukuh atas kepemilikan wilayahnya dengan peta Nine Dash Line. Salah satu upaya yang pernah dilakukan dalam kurun waktu 2013 -- 2015, yakni oleh negara Filipina yang melayangkan gugatan kepada The Permanent Court of Arbitration (Mahkamah Arbitrase Internasional (MAI)). 

Keputusan MAI yang dikeluarkan saat itu mengalami penentangan keras oleh RRC karena dapat merugikan dan melemahkan garis pertahanannya terhadap wilayah kekuasaan Laut China Selatan. Sedangkan, bagi negara-negara lain keputusan ini dapat menjadi dalih hukum yang kuat untuk perundingan perbatasan perairan antarnegara dalam melaksanakan ketentuan UNCLOS 1982. Sampai pada akhirnya, persoalan ini menjadi kekhawatiran baru karena sikap dari RRC terhadap keputusan tersebut yang bersifat memberontak dan masih belum menemui titik terangnya dari berbagai upaya diplomasi lainnya.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, pada tahun 2019 Indonesia mulai mengambil sikap tegas dengan memperkuat penjagaan di sekitar perairan dan pertahanan militer, salah satunya dengan persiapan pesawat multirole Su30MK2. Selanjutnya, melalui upaya diplomasi kembali dengan ASEAN Security Community untuk menciptakan ketertiban dan keamanan kawasan ASEAN, terutama di dalamnya mencakup wilayah Laut China Selatan. 

Kemudian, upaya ini mendapatkan tanggapan baik dari negara non-ASEAN untuk menjaga keamanan dan kekuasaan melalui perundingan KTT ASEN ke-25 dengan bergabungnya negara-negara tersebut ke dalam Treaty of Amity Coorperation. Di dalam negerinya, Indonesia juga memperkuat Kebijakan Pertanahan Negara pada tahun 2020 yang menjadi agenda 5 tahunan dalam mencapai kestabilan pertahanan dan pembangunan nasional yang berpedoman pada Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat (Sishankamrata).    

Kemudian, bersamaan dengan hal tersebut terdapat deklarasi South China Sea Declaration Action yang mampu menyelesaikan ketegangan konflik meskipun, belum secara penuh menyelesaikannya untuk jangka panjang. Akan tetapi, upaya ini sudah menjadi angin segar dari penyelesaian konflik yang tidak berkesudahan ini. Dalam upaya militer, Indonesia juga menempuh jalur maritim sebagai bentuk diplomasi dengan meningkatkan kerjasama antara angkatan laut atau dinamakan Angkatan Laut Multilateral Komodo, sejak tahun 2014 (Nugraha, 2021).

Adapun upaya yang dapat dipertahankan dalam pengukuhan kedaulatan Indonesia, terutama menjaga Kepulauan Natuna, di antaranya dengan meningkatkan pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan Kepulauan Natuna. Kemudian, upaya pengelolaan sumber energi yang ada di Kepulauan Natuna untuk perekonomian dalam negeri, dan meningkatkan kemampuan pertahanan wilayah perbatasannya. Selain itu, Indonesia juga berperan penuh dalam upaya preventif dan konsolidasi atas konflik Laut China Selatan. Sehingga, diharapkan konflik ini dapat menemui solusinya dan berakhir dengan kedamaian, serta tidak lagi mengancam kedaulatan Indonesia.

REFERENSI

Asshidiqie, J. (1994). Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Badan Pusat Statistik. (2022). 17.001 Pulau di Indonesia, Tersebar di Mana Saja? Retrieved from Portal Informasi Indonesia: https://indonesia.go.id/mediapublik/detail/2080

Gordon, S. (2022). Controlling The State: Constitutionalism from Ancient Athens to Today. Massachusetts Hall, Cambridge: Harvard University Press.

Nugraha, O. N. (2021). Geopolitik Laut Cina Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Politik Wilayah ASEAN. Jurnal Lemhanas RI, 9(4), 25-42.

Rosarian, F., & Pahlevi, A. (2013, Januari 13). Diklaim China, Natuna Dikawal TNI. Retrieved from Koran Tempo: https://koran.tempo.co/read/nasional/299283/diklaim-cina-natuna-dikawal-tni

Roza, R., Nainggolan, P. P., & Muhamad, S. V. (2013). Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Jakarta dan Yogyakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika.

Ruyat, Y. (2017). Peran Indonesia dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Kajian Lemhanas, 67-75.

Sieff, M. (2012). Sengketa Nama Laut China Selatan atas Kepulauan Spratly dan Paracel Ungkap Konflik yang Lebih Dalam. Asia Pacific Defense Forum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun