Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelita dan Sebuah Cerita dari Diri

4 Februari 2022   11:25 Diperbarui: 4 Februari 2022   11:36 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memasuki Bulan Februari yang penuh cerita dan kesejukan dikala sendunya memudar. Semburat Sang Fajar mengabarkan bahwa akan ada hari ini untuk semua manusia yang masih mampu untuk hidup. Mereka yang bertahan dengan senyumannya dan mampu melawan kesedihan dalam hidup yang mungkin saja telah mengakar dari dirinya sejak lahir. Secerca harapan akan selalu menjadi pelita. Meski, terseok-seok dalam satu kali perjalanan, harapan akan menjadi penerangnya. Sementara, mimpi boleh saja terkubur dalam-dalam oleh rakus dan binasanya dunia.

Namun, ingatlah dalam hukum alam yang selalu menakdirkan segala yang terbaik bagi semesta karena Pencipta tidak pernah salah menggariskan jalan kehidupan.

            Sosok pelita itu benar-benar nyata, ia seorang anak laki-laki yang tumbuh layaknya anak kebanyakan. Bermain sepak bola dengan teman sebanyanya dan melakukan aktivitas seperti biasa. Di sini aku tidak mengenal ia lebih dalam, pertemanan kami masih terbilang baru dalam kurun waktu yang belum genap menyentuh angka 1 tahun lamanya. Akan tetapi, banyak hal dan cerita yang ia perdengarkan kepadaku, tentang artinya sebuah kehidupan. Mengenalnya membuatku lagi-lagi mengerti bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik sepanjang masa.

            Bagi anak-anak seusianya, menjadi kebanggaan orang tua adalah hal yang paling menyenangkan. Diberi perhatian, kasih sayang, cinta kasih, dan segalanya yang dapat membuat seorang anak nyaman bersama keluarganya.

Tapi, tidak dengannya, Tuhan

            Keadaan yang berbeda justru dirasakan olehnya, menjadi dewasa sebelum waktunya dan harus menerima kepahitan hidup yang seharusnya tidak pernah ia rasakan. Kepergian Sang Ayah mengharuskannya pergi dari pelukan ibu. Alhasil, ia pun dibesarkan di keluarga yang begitu keras dengan pendidikan dari kakek dan neneknya. Jika ditanya apakah ia mau dan menerimanya? Tentu tidak karena bagaimanapun seorang anak akan merasa hadir dalam keluarga inti yang menerimanya dengan keadaan apapun.

            Sang Ibu memiliki tingkat emosional yang terbilang tinggi dengan kemampuannya dalam mengontrol emosi tidak begitu baik. Kerap kali, ia harus menerima perlakuan yang tidak pantas dari ibunya. Hal itu, masih sebatas kekerasan fisik belum lagi kekerasan psikis yang membuat trauma tersendiri. Di umurnya yang masih belia ia dipaksa untuk berpikir dan memahami hidup yang sebenarnya ia pun tidak tahu asal mulanya.

            Kembali lagi menjadi diri sendiri yang terpaksa untuk selalu bahagia disaat kesedihan tidak mampu lagi dibendungnya. Menjadi penyendiri dan perenung, ia tetap setia kepada Tuhannya. Tangis, bukan sekadar 1 atau 2 hari, mungkin tidak mampu lagi dihitungnya. Singkat cerita, ia tidak mau menceritakan kesedihannya yang berlarut-larut ketika kecil, tapi aku menangkapnya dengan penuh kekaguman. Sendu pudar di mata kecilnya banyak bercerita terlebih dahulu, bahwa sosok yang didiaminya selama ini adalah seseorang yang kuat.

            Kegemarannya bermain sepak bola mengantarkannya pada cita-citanya yang pertama, yakni sebagai pemain sepak bola professional. Menyebut dirinya sebagai seorang penggila bola (Milanisti dan The Gunners) dengan 2 klub unggulannya sedari kecil, yakni AC Milan dan Arsenal FC. Untuk menggapai cita-citanya tersebut, ia berlatih sejak dini dengan penuh kesungguhan. Berharap esok hari, ia akan disertakan dalam salah satu klub bola favoritnya tersebut dan bertanding dalam liga sepak bola dunia.

Menggantungkan harapan setinggi langit selalu dilakukan oleh setiap manusia. Akan tetapi, resiko yang harus ditanggung juga tidak main-main. Sebab, harapan itu digantung setinggi langit dan pastinya akan ada gangguan yang menerpa, misalnya saja angin yang berembus dengan kencangnya.

            Dan Tuhan ternyata memiliki cara yang lebih baik. Kemungkinan terburuk, seburuk apapun. Cita-cita itu kandas oleh suatu peristiwa yang memilukan bagi ia di masa kecil. Kecelakaan ketika bermain sepak bola, membuat cedera parah di bagian kakinya. Lututnya yang masih rawan dan dalam masa pertumbuhan harus retak karena insiden tersebut. Akhirnya, ia tidak lagi dapat bermain seperti sediakala dan diharuskan menerima keadaannya saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun