Bahagia, apa itu bahagia? Apakah kalian mengetahui arti kata "bahagia"? Tapi aku yakin kalian tahu, karena kalian pasti pernah atau selalu merasakannya, hanya saja berbeda definisi satu sama lain. Untukku bahagia merupakan dambaan setiap makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya kita sebagai manusia. Di balik suatu kebahagiaan tersimpan suatu "kesempurnaan", karena ketika seseorang merasakan kebahagiaan maka dengan sendirinya hidupnya akan terasa sempurna. Kebahagiaan dan kesempurnaan itu mencakup berbagai macam hal dari yang sederhana sampai yang paling rumit sekalipun.
Lalu, antara kebahagiaan dan kesempurnaan terdapat celah, dalam celah itu ada jurang. Ibarat berjalan di titian inilah yang harus dihadapi, orang yang beruntung pasti akan sampai dengan selamat menuju kesempurnaan. Tapi sudah "Sunatullah" jika hidup tidaklah sempurna maka apapun yang terjadi itu sudah takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudz. Segalanya telah tertuang jauh sebelum manusia itu lahir ke dunia, pada zaman azali di dalamnya tercatat riwayat pengembaraan hidup manusia semasa di kandungan hingga ke liang lahat.
Dunia ini sifatnya rusak dan tidak kekal, dunia hanya tempat untuk bersinggah dalam pengembaraan menuju akhirat. Lengkap dengan segala tipu daya dan dipenuhi oleh perbuatan laknat para penghuninya. Manusia yang berimanlah yang dapat sampai ke tujuan, dalam keadaan bahagia yang sesungguhnya.
Lantas apa yang dapat membuat hidup ini menjadi bahagia? Mencoba untuk mengerti walaupun takkan pernah mengerti, dalam hati berpikir menggunakan akal bukan hanya dengan nafsu belaka. Mungkin ibarat dermaga tapi bukan dunia dermaganya, kapal ini harus terus berlayar dan berlabuh di tempat yang tepat.
Hidup bahagia tapi selalu menghina diri sendiri untuk apa? Bak menanti orang dahulu, bak pelalah orang kudian itulah peribahasanya. Lalu, menindas sesama dengan beraja di hati, bersultan di mata seperti tiada pencerminan orang yang beragama. Jika mengejar kesenangan duniawi tidak akan ada habisnya, itulah yang aku rasakan sendiri. Sudah kulalui dan kulewati puluhan bahkan tak terhitung berapa banyak perbuatan yang sudah merugikan diriku sendiri, hanya untuk mencari suatu kebahagiaan.
Dahulu aku sangat mengimpikan hidup sempurna dilimpahi dengan kebahagiaan, hingga aku menekatkan diri untuk menggapainya. Aku lupa akan tujuan hidupku, hingga kuterlantarkan keluargaku, kutinggalkan Tuhanku, tak kusentuh kitab yang menjadi pedoman. Bahkan, aku tak lagi menjalankan perintah dariNya, wajahku kering karena tak pernah dibasuh air wudhu.
Aku tidak pernah tersadar akan sikapku selama ini, aku merasa hidupku akan lebih baik dan tidak akan berdampak pada diriku jika aku menempuh jalan seperti ini. Rakus, tamak, serakah itu menjadi ciri dalam diri, aku tak menyadarinya semua mengalir begitu saja. Hatiku buta walaupun mata ini dapat melihat, jiwaku tuli walaupun telinga dapat mendengar. Aku nikmati semua kemunafikan ini hingga aku benar-benar terhempas, tersesat jauh di hutan belantara. Entahlah bagaimana nasibku jika pencipta tak menyadarkanku mungkin kini aku telah terbujur sebagai bangkai yang dimakan cacing-cacing tanah yang menggerogoti kulitku sampai ke tulang. Aku bersyukur karena kesempatan ini.
Tuhan memiliki cara yang berbeda ketika menunjukkan kasih sayangnya, terkadang dengan cara yang tak diduga. Pemikiran manusia tidak akan pernah sampai, karena Dia lebih tahu mana yang terbaik untuk makhluknya. Kini seiring berjalannya hari demi hari, diriku mulai berubah. Memang tak semudah dahulu ketika masih baik-baik saja, tapi aku yakin Tuhan tidak kejam, asalkan kita benar-benar bertobat.
Aku mulai menata hidup yang berantakan ini, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi aku berusaha sekuat mungkin. Sudah kuterima segala akibatnya, menjalani hidup dengan apa adanya. Beruntunglah diri ini masih ada yang mau menerima kehadiranku terutama keluargaku, sejatinya merekalah yang menjadi alasanku. Tempat berteduh dari panasnya dan dinginnya.
Di sini bukan aku yang bercerita tapi takdir telah menuliskannya dengan arahan sutradara semesta. Bahagia harus kita cari agar hidup terasa sempurna, tapi jangan sampai mengelabui taqwa, bahwasannya hidup hanya sementara. Apapun yang kita tanam itulah yang kita tuai, aku kembali menyalakan lilin kehidupan ini dan kujaga agar tak lagi padam. Aku membuat susunan hidup yang baru, dengan bercermin untuk memandang kemunafikan di wajah. Banyak hikmah yang dapat kupetik, akan kusimpan sebagai bekal. Inilah tabir antara hidup, demi hidup aku berharap semoga aku masih dapat merasakan kebahagiaan esok hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H