Jawabannya, karena Jakarta adalah tulang punggung untuk negeri.
Jakarta memang tidak memberikan syarat khusus bagi perantau yang baru atau sudah lama menetap di tempatnya. Tidak memandang perbedaan kulit, mata, atau silsilah keluarga. Semuanya sama saja, tidak ada perbedaan yang harus ditonjolkan di sini karena permulaan tidak akan selalu sama dengan perjalanan akhirnya.
Hamparan kebinekaan itulah yang indah untuk dilihat. Meskipun, masih ada lalat-lalat busuk yang hinggap di atas keindahan itu, tapi Jakarta tetap menjadi primadona. Bagi Jakarta, arti kebinekaan bukan hanya mengenalkan perbedaan. Lebih dari itu, perbedaan tersebut akan menjadi warna tersendiri.
Sama halnya dengan barisan warna dalam spektrum cahaya, terdapat urutan yang sudah digariskan sebelumnya. Itulah arti kebinekaan untuk Jakarta.
Dengan perbedaan, ia ciptakan kesempatan untuk setiap harapan yang diusung oleh penduduknya. Baik itu, muda ataupun tua, mereka berhak berkompetisi di sini. Ketika kita melihat kesenjangan yang terjadi, itu bukan kesalahan Jakarta, tapi mereka yang belum diajarkan kebinekaan semasa pendidikan.
Fakta yang dapat kita lihat adalah ketika kita berkunjung ke pusat kota, tepatnya di kawasan pemerintahan. Di sana terdapat dua tempat peribadatan yang berhadapan satu sama lain.
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral menjadi contoh terbesar dalam penghormatan agama bagi pemeluknya. Mereka mampu hidup berdampingan, meski berbeda dalam hal penafsiran ketuhanan.
Atau ketika kita melihat sekolah yang berbaur antara pribumi dan kaum etnis. Mereka bersekolah, berseragam, dan belajar dengan cara yang sama. Tidak ada perbedaan budak atau majikan di dalamnya.
Inilah Kebinekaan yang sesungguhnya...
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H