PPKM yang sedang berlangsung, nyatanya menuai banyak pro dan kontra. Sebagian pihak merasa perlu dengan kebijakan ini, tapi tidak sedikit pihak yang menjerit karena harus terkekang dengan banyaknya aturan. Bukan berarti mereka yang tidak mau, tidak mengerti dengan kondisi dan tujuan dari PPKM ini. Akan tetapi, tuntutan kehidupan yang semakin mengeras, memaksa mereka untuk enggan berdiam diri di balik bilik rumahnya. Mereka perlu solusi bukan seribu janji yang masih mengantri di kemudian hari.
      Bantuan sosial, mungkin sudah meringankan bagi segelintir masyarakat yang masih "kebagian" jatahnya. Tapi bagi masyarakat yang tidak mendapatkan sepeser pun dari bantuan sosial tersebut, bagaimana cara mereka untuk menyambung hidup? Sebab, sebelum terjadi Corona saja, hidup mereka sudah susah ditambah lagi dengan masalah yang mereka tidak tahu asa- muasalnya.
      Menelitik kisruhnya pembagian bantuan sosial yang tidak merata, memberikan peringatan tersendiri bagi Indonesia. Peringatan ini menjadi ultimatum bagi semua pihak. Bukan hanya pemerintah, tapi kita sebagai masyarakat umum sudah seharusnya belajar mengoreksi diri sendiri. Apakah ada dari kita yang menyebabkan bantuan itu tidak sampai ke tangan yang tepat?
Fakta mengatakan, tidak sedikit masyarakat yang masih apatis dengan arti dari sebuah bantuan sosial. Banyak dari mereka yang malah berbondong-bondong mendatangi rumah RT atau RW setempat, sampai kelurahan untuk meminta surat pengantar atau SKTM yang menyatakan tidak mampu. Lebih parahnya lagi, para pejabat setempat tersebut, bisa meloloskan mereka yang memakai perhiasan di tangan kanan dan kirinya dengan lembaran "uang pelicin" sebagai ongkos penutup mulut. Potret miris di tengah nelangsanya kehidupan negeri yang semakin menjadi-jadi.
Bayangkan saja, ketimpangan sosial yang semakin jelas terlihat, jejaknya bahkan tidak bisa dihilangkan dengan uluran BLT sebesar Rp 300.000,00 per bulannya. Lebih dari itu, berbagai jaminan belum dan tidak mampu untuk menopang kehidupan yang semakin membludak bagi masyarakat.
      Lagi dan lagi, mereka harus merasakan kehilangan. Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK secara besar-besaran di berbagai sektor, menumpahkan pengangguran yang tidak terhitung jumlahnya. Di antara mereka ada yang menjadi tulang punggung keluarga, ada seorang ayah, atau mungkin yang sebatang kara. Lantas, ke mana lagi mereka akan melamar kerja dengan modal ijazah bertamatan SMA?
      Pembatasan yang terus diperpanjang dengan berbagai wacana, membuat getir masyarakat. Mereka bingung akan kelanjutan nasib anak-anaknya yang masih bersekolah atau bagi istri mereka yang akan melahirkan.
      Corona menjadi tantangan serius bagi Indonesia, bukan hanya wabahnya karena masyarakatnya juga perlu diajak bekerja sama. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi antara pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar dapat berkomunikasi lebih jauh kepada masyarakat. Meskipun, tidak bersosialisasi tatap muka, tapi masyarakat perlu pendekatan dari kita yang lebih tahu.
      Dampak terbesar dari Corona, sangat terasa bagi masyarakat kecil yang terbiasa menggantungkan hidup dengan hasil serabutan atau sebagai buruh pekerja. Bagi masyarakat yang mampu bekerja di rumah, mungkin hal ini tidak terlalu terasa, tapi untuk mereka yang tidak fasih dalam membaca, kita perlu mengejanya. Jangan sampai, potret kehidupan Indonesia menjadi buruk dari hari ke hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H