Bertanya pada diri yang tak bermaksud menjadi suci, hanya sekadar mengunci jati diri. Agar tak lagi melontar tanya pada semesta yang enggan berkata. Untuk rindu...
 Gemercik air sedang berusaha memecah keheningan, di balik pelupuk malam yang layu. Bergantian dengan suara hujan yang terdengar berburu. Dalam waktu yang sama, sepasang cecak juga telah berhasil menciptakan sebuah melodi. Meski, masih sumbang untuk sebuah pertunjukan besar, tapi telah mampu mendatangkan sepasang cecak yang lain. Hari ini adalah memorial ketiga untuknya, saat aku kembali membuka lembaran kenangan yang tersimpan dalam lemari rasaku.
Pinangsia, 26 Agustus 1998
Tiga bulan sebelas hari pasca kerusuhan di bulan Mei. Aku kembali merapikan kiosku yang porak-poranda diterjang badai massa pada sore itu. Sepulang berdagang, segerombolan orang tak dikenal menghalau kami.Â
Mereka berperangai buas seperti singa yang mendelik mangsanya. Keadaan kota saat itu, sangatlah ramai.Â
Maklum saja, hari itu adalah hari pertama semua orang menjalankan aktivitasnya. Setelah 3 hari yang lalu, kami dicekam oleh keadaan yang mengharuskan kami berdiam terlebih dahulu.
Akar permasalahan yang menjalar, menyulut emosi dari masing-masing kepala. Mereka berargumen dan mengaku memiliki fakta yang kuat untuk diserahkan ke meja hijau.Â
Pemandangan bodoh yang disuguhkan oleh orang-orang pintar di negeri ini. Keadilan dipertaruhkan untuk jabatan dan uang adalah juri untuk menilai seorang pemenang. Sedangkan, rakyat seperti kami akan tetap menjadi pion bagi mereka yang berkuasa. Nantinya, orang-orang di luar sana akan menyetel radio untuk mendengar kekalahan kami di sini.
Selesai menata barang dagangan, suasana telah kembali seperti semula. Rak-rak sudah terisi penuh dengan mangkuk dan gelas kaca yang baru. Kususun perlahan, agar tidak tergores oleh serabut kayu yang masih menempel di bibirnya. Sisa pecahan kaca yang bergelimpangan di antara sudut-sudut jendela, menyatu dengan debu hitam. Pekat warnanya, seperti jelaga yang keluar dari cerobong asap pabrik di hari Sabtu.
Dalam hati, aku berharap, hari ini, esok, dan nanti akan menjadi hari yang baik untukku.
Gelap masih menyelimuti hari kemarin. Belum jua terbangun dengan suara adzan subuh yang berkumandang. Padahal, hari ini adalah hari besar untuk kami, sebagai orang-orang kecil. Akan tetapi, selalu menjadi angan yang tak kunjung tercapai oleh tangan. Sebab, demokrasi hanyalah hal tabu untuk dibicarakan di depan. Anak-anak kami, diajarkan berdemokrasi, demokrasi yang memenangkan hak-hak berdasi. Mengenyam pendidikan, untuk dikembangkan menjadi alat dan boneka. Pada akhirnya, hanya akan diperjual-belikan oleh "mereka".