Kisah nyata ini, barangkali merupakan hal yang tidak terlalu istimewa bagi banyak orang, namun bagi saya, hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat ‘luar biasa’. Saya menemukan sebuah pelajaran berharga, suatu tekad kejujuran dan keinginan berubah.
Cerita ini terjadi di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Jawa, pada saat belum memasuki era reformasi, namun agenda modernisasi sudah mulai digulirkan, berikut ini kisah selengkapnya.
Seperti hari-hari sebelumnya, kembali beliau datang ke ruangan saya. Dengan wajah yang penuh dengan rasa kebingungan dan tekanan, beliau menyampaikan dan menumpahkan kegalauan hatinya. Sebut saja beliau dengan nama Pak Fulan (bukan nama sebenarnya).
Jabatan beliau adalah sebagai Kepala Seksi di salah satu seksi teknis. Memang, kita harus jujur mengakui bahwa beban dan tanggung jawab seorang Kepala Seksi teknis saat itu sangatlah besar, selain harus mendukung pencapaian target penerimaan negara (KPP) juga tidak boleh ketinggalan (hukumnya mungkin mendekati wajib) adalah mencari target anggaran kantor lainnya dalam bentuk ‘dana taktis’.
Singkat cerita, Pak Fulan mengalami kendala perang batin yang sangat hebat ketika beliau sudah mulai ingin berubah dan berniat untuk memulai pekerjaan dengan jujur dan sebaik-baiknya.
Alasan beliau sangat realistis, karena modernisasi DJP yang sudah mulai digulirkan, tinggal menunggu waktu saja sampai ke kantor kita. “Inilah kesempatan berubah, mau kapan lagi? Masa terus-terusan kita selalu berbohong dalam bekerja?”, begitu yang sering beliau curhat-kan. Dalam kondisi riil dimana beliau harus berinteraksi dengan kepala kantor maupun lingkungan kantor, terlebih di seksi yang harus beliau kelola, pertentangan dalam hati selalu muncul.
Bukan murni masalah pekerjaan melainkan embel-embel ‘dana taktis’ yang harus beliau penuhi. Setiap rapat pembinaan, hampir selalu saja beliau kena marah kepala kantor, dari sudut apa saja selalu dianggap salah. Sikap kepala kantor kepada Pak Fulan dirasakan sangat tidak mengenakkan bahkan terkesan selalu memojokkannya dan menganggapnya tidak bisa bekerja.
Semprotan amarah tersebut sudah dirasakan dan disadari oleh Pak Fulan karena keinginan yang sangat dari kepala kantor agar Pak Fulan melakukan sesuatu yang ‘lebih’ terutama dalam memenuhi pundi-pundi ‘dana taktis’ kantor.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami terus saling bersilaturahim dan berdiskusi dalam “mengatur strategi” dalam bekerja dan menghadapi atasan kami, hingga suatu saat pada waktu selesai sholat Ashar, tiba-tiba beliau muncul di mulut pintu ruangan saya.
“Saya seperti terbang di awan Pak…” begitu ucapan beliau dengan wajah yang sangat cerah. “Apa yang
terjadi, Pak?” tanya saya. Selanjutnya Pak Fulan menceritakan kejadian yang baru dialaminya. “Tadi selesai sholat Ashar, dengan terlebih dahulu membaca Basmallah, saya nekad masuk ke ruangan kepala kantor minta waktu untuk menyampaikan uneg-uneg saya dan tekad saya untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan tidak mau lagi melakukan KKN!”.
“Lalu, bagaimana respon kepala kantor?” tanyaku penasaran karena begitu cepatnya beliau mengambil sikap. “Kepala kantor akhirnya mau nggak mau bahkan terpaksa harus menerima dan memahami keinginan saya Pak” ujar Pak Fulan. “Alhamdulillah…, selamat Pak”, sambutku sambil menyalami
beliau.
Sejak saat itulah, tampak banyak perubahan dari Pak Fulan. Dalam kesibukannya sehari-hari terlihat wajah yang segar dan cerah. Bahkan, kepala kantor pun terlihat ‘respect’ dengan beliau. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, karena telah Engkau berikan tambahan orang-orang baik di sekeliling-ku. Amin.
Oleh Tang Dewi Sumawati dalam Buku berkah Modernisasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H