Mohon tunggu...
Negeri Diawan
Negeri Diawan Mohon Tunggu... -

nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PAJAK adalah Singkatan dari Padamu Aku Janji Akan Korupsi

9 Mei 2010   13:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tahun yang lalu, dalam suatu diklat kedinasan, kami peserta diklat tersebut sepakat membeli jaket hitam potongan semi jas sebagai kenang-kenangan atas kebersamaan kami selama mengikuti diklat. Hal pencantuman tulisan yang melingkari lambang Departemen Keuangan pada
dada sebelah kiri, menjadi perdebatan alot kami.

Beragam usulan yang masuk mengenai redaksi tulisan itu. Tanpa menjelaskan alasan, saya
termasuk yang tidak mengharapkan adanya tulisan Direktorat Jenderal Pajak. Cukup dengan tulisan nama diklat yang kami ikuti dan diikuti tulisan Departemen Keuangan di bawahnya. Namun keputusan suara terbanyak menghendaki tulisan berbunyi “Direktorat Jenderal Pajak – Departemen
Keuangan”.
Sejujurnya saya sangat suka warna dan model potongan “si hitam manis” ini karena sudah sembilan bulan sepuluh hari saya ngidam untuk memiliki jaket model tersebut. Tapi rasa suka saya pada si hitam manis tidak berjalan mulus hanya karena “cacat kecil” berupa goresan berbunyi “Direktorat Jenderal Pajak”. Memang kenapa dengan tulisan itu? Itulah yang saya ingin bagi ceritanya.
Pada suatu penyuluhan pajak yang pesertanya adalah para bendahara gaji perguruan tinggi swasta se Kota Makassar, saya mendapat serangan dahsyat dari seorang peserta yang sangat apriori pada “orang-orang pajak”.

Di saat saya menyampaikan materi sanksi perpajakan jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya, saya diinterupsi seorang peserta dengan nada amarah, “Pak, tidak usahlah bicara sanksi-sanksi kepada Wajib Pajak, kenakan dulu sanksi kepada pegawai pajak yang suka korupsi”. Saya belum sempat membuka bibir memberi tanggapan, dia kembali melanjutkan ‘orasinya’ bahwa orang tuanya yang pengusaha bahan bangunan dikenakan tagihan pajak ratusan juta rupiah, hanya karena gagal ‘bernegosiasi’ dengan pemeriksa pajak. “Kami kenal pegawai pajak yang golongan II tapi punya rumah mewah dan hampir tiap tahun ganti mobil….” lanjutnya. “Sudahlah bos tidak usah sok idealis….” Begitu bapak itu mengakiri interupsinya.

Jantung saya tiba-tiba berdenyut kencang, muka bias, lutut gemetar, dan keringat dingin mengalir. Saya nyaris roboh. Saya masih bersyukur acara penyuluhan tanpa moderator itu ahirnya selesai juga dengan susah payah.Di lain waktu, saat diadakan talk show tentang gijzeling di Hotel Sahid Makassar yang pembicara utamanya adalah Kakanwil XII DJP Sulselra, seorang wartawan dari media cetak memberi tanggapan negatif terhadap pegawai pajak yang katanya harus lebih dahulu disandera sebelum Wajib
Pajak disandera.

Bahkan melontarkan istilah “orang bijak taat pajak tapi orang pajak tidak bijak”.
Satu lagi “memory indah” dari lapangan penyuluhan, yaitu saat mendampingi kepala kantor pada acara sosialisasi pajak melalui salah satu radio swasta ternama di Makassar. Seorang penelpon di acara tersebut dengan sinis menggambarkan orang pajak yang katanya suka memeras. Dia mengatakan bahwa PAJAK itu adalah singkatan dari Padamu Aku Janji Akan Korupsi.
Petikan-petikan kalimat sinis terhadap pegawai pajak seperti itulah yang membuat saya tidak terlalu bangga dikenali sebagai pegawai pajak. Termasuk tidak mencintai sepenuh hati jaket “hitam manis” saya, hanya karena dia bertuliskan kata “Direktorat Jenderal Pajak”. Di beberapa kesempatan saya lebih sering memperkenalkan diri sebagai PNS atau sedikit lebih khusus PNS Departemen Keuangan.
Saat kita mendengar kritik pedas seperti yang saya kutip dan mungkin ada yang lebih pedas dari itu. Kita memang sakit hati, marah, atau malu tapi bagaimana lagi, lontaran kritik pedas masyarakat itu mungkin ada benarnya.

Saya teringat nasehat mulia yang berbunyi “kritikan ibarat orang minum jamu, pada saat sedang diminum pahit memang terasa tapi akan membuat tubuh kita sehat pada keesokan harinya.” Saya sangat bersyukur bahwa kritikan, cercaan, makian dan sejenisnya yang dialamatkan pada DJP
ditanggapi sebagai masukan berharga oleh penentu kebijakan sehingga lahirlah program modernisasi DJP yang saat ini mulai memberi titik harapan.
Survey lembaga ternama telah menempatkan DJP pada posisi ranking korupsi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Kembali ke jaket, apakah sekarang saya masih tidak pede dengan jaket yang bertuliskan DJP? Tentu tidak! Sekarang jamannya sudah lain.

DJP sekarang bukan DJP yang dulu lagi. Jangan kata jaket yang hanya bertuliskan DJP, kalau sekarang ada yang jual baju batik bermotif tulisan DJP, saya yang akan pertama beli. DJP telah menjadi contoh institusi yang berhasil dalam reformasi birokrasi. Jadi apa lagi yang menghalangi kebanggaan saya sebagai pegawai DJP? Kinerja sudah mulai diakui dan imbalan penghasilan lebih dari cukup.

Saya berharap di sisa waktu kebersamaan saya dengan DJP yang makin cuannntiiik saja, saya akan memberikan kenangan indah, termasuk jadi pembela setia jika ada yang menjelek-jelekkan DJP lagi. Yah, saya akan berkata, “kalau anda punya bukti orang pajak melakukan penyimpangan,
laporkan! Tapi kalau itu fitnah, jangan dikira kami diam!” Tegas, berwibawa, dan pede. Tidak seperti dulu digertak peserta penyuluhan yang belum punya NPWP, saya sudah kencing di celana. Atau saya akan katakan bahwa PAJAK itu adalah akronim dari Padamu Aku Janji Akan Kembali, maksudnya pajak
ditarik dari rakyat tapi akan kembali lagi pada mereka.

Tanpa saya sadari kebanggaan pada DJP telah tertular tuntas pada istri saya. Itu terdengar jelas dari kalimatnya yang berulang kali mengharapkan anak-anak kami kelak bisa menjadi pegawai pajak dan saya komentari, “Yah..., paling tidak mereka dapat suami orang pajak seperti ibunya.”
Saat tulisan ini naik cetak, usia jaket hitam manis kesayanganku sudah enam tahun lima bulan. Tapi di usianya yang sudah senja, dia masih terlihat rapi-jali dan klimis-manis. Dia masih menjadi pilihan utama mendampingi tuannya bila bepergian naik pesawat dan bila suatu waktu anda bertemu
dengannya di bandara, jangan lupa menyapanya.

Panggil namanya dengan jelas, pastilah tuannya akan ikut tersenyum ramah dan berkata bangga
“Saya pegawai Direktorat Jenderal Pajak”.

Suwandi dalam Si Hitam manis Buku Berkah Modernisasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun