Judul lengkap buku ini adalah Studi Strategi : Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Buku ini ditulis oleh Daoed Joesoef dan diterbitkan Penerbit Kompas. Tebal buku ini adalah 222 halaman. Buku ini berisi pandangan-pandangan Daoed Joesoef terkait persoalan bangsa dan negara, lebih spesifik lagi adalah kritik dan rekomendasi atas praktik pembangunan yang ada di Indonesia saat ini.
**
Indonesia dianugerasi dengan wilayah yang 2/3 adalah laut. Atas dasar geografis inilah, Indonesia kudunya menempatkan laut sebagai halaman depan rumah. Kebijakan-kebijakan militer juga pembangunan harus ditempatkan dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan. Faktor geografis inilah yang menjadi sentral untuk merencanakan pembangunan negara. Dari sinilah akan muncul konsep-konsep ; geopolitik, geostrategi, geoekonomi, geokultural, geopendidikan, dan geodiplomasi.
Pembangunan ini sendiri merupakan kajian multisiplin maka tidak dapat ditumpu hanya dalam satu parameter seperti pertumbuhan ekonomi. Daoed Joesoef seringkali mengulangi pandangannya bahwa arah pembangunan dari Orba sampai sekarang tdk berubah, tetap bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Atas dasar inilah, pembangunan diartikan dalam definisi yang sempit.
Cabang ilmu ekonomika dan turunannya menjadi seolah cabang keilmuan primadona yang seolah dengan permainan statistik dapat mengubah keadaan suatu rakyat. Daoed menyoroti bahwa ekonomika memiliki keterbatasan dalam ranah menyingkap realitas human yang kompleks. Ekonomika menjadikan realitas geografis abstrak dan cenderung direduksi.
Pandangan ini membuat munculnya kebijakan sembrono seperti halnya penumpasan RRI dan Permesta dengan militer. Para pemberontak dianggap separatis, padahal bisa jadi mereka melakukannya karena merasa tidak "diwongke" oleh Pemerintah Pusat.
Pembangunan harusnya dilakukan secara menyeluruh yang meliputi banyak dimensi, tidak sekedar ekonomik. Menurut Daoed, fungsi pembangunan adalah justru untuk mewujudkan wadah, "kemerdekaan" yang harus diisi, mentransformasikan "proklamasi kemerdekaan" menjadi "kemerdekaan riil" yang dinikmati bersama. Disinilah pembangunan tak sekedar mengandalkan angka-angka statistik, namun dengan juga melihat akar budaya masyarakat yang dipegangteguh jauh sebelum Indonesia merdeka.
Oleh karenanya, tak sekedar teknokratik an sich yang diperlukan, melainkan teknokratis filosofis yang memahami realitas pembangunan secara utuh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H