dilema etika tax consultant. So... yuk disimak!
Haloo sobat tax addict .. kali ini saya akan membahas hal menarik tentangBicara tentang perpajakan merupakan hal yang sensitive bukan? saya setuju sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD dalam debat Cawapres tgl 22 Desember 2023 kemarin. Perpajakan merupakan sumber utama pendapatan negara, untuk itu pemerintah, dalam hal ini biasa disebut fiskus melakukan pengawasan kepada seluruh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan (perusahaan). Dalam akuntansi pendapatan memiliki pasangan yaitu beban, nah dari sisi wajib pajak baik individu maupun badan, pajak ini adalah beban, beban harus dikelola secara optimal bukan? apalagi beban pajak tidak memiliki fungsi nilai tambah bagi perusahaan. Tidak hanya persoalan itu, wajib pajak juga ingin memiliki performa baik yang tercermin dari profit, masalahnya jika profit tinggi maka pajak yang dibayarkan akan tinggi juga kan? maka dari itu wajib pajak terutama badan (perusahaan) melakukan tax planning sehingga beban pajak dapat dikelola secara optimal. Namun belum banyak perusahaan yang mampu menyusun tax planning nya sendiri, tidak jarang mereka membutuhkan konsultan pajak untuk memberikan rekomendasi perpajakan secara optimal.
Berdasarkan PMK No. 175 tahun 2022 perubahan atas PMK No. 11 tahun 2014 tentang konsultan pajak, mendefinisikan sebagai orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan (jdihkemenkeugoid, 2022). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsultan pajak dalam memberikan pelayanan, mempertimbangkan kemampuan klien terkait pembayaran pajak dengan memanfaatkan celah yang ada. Disisi lain konsultan pajak harus menjaga kepercayaan pemerintah dengan menaati peraturan perundang-undangan. Sehingga konsultan pajak mempunyai tanggung jawab sosial terhadap negara, publik, serta tanggung jawab sosial terkait kesejahteraan klien. Nah karena ada 2 kepentingan yang harus dijaga, tentunya dilema etika menyelimuti kegiatan praktisi konsultan pajak, ada 3 konsep dasar etika yang paling banyak bersinggungan dengan dilema konsultan pajak.
1. Teori Etika Utilitarianisme
Etika utilitarianisme berasal dari kata utility (penggunaan), dalam hal ini konsultan pajak akan dihadapkan dengan dilema etika. Bukankah konsultan pajak memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan klien? Lalu bagaimana dengan tanggung jawab konsultan pajak dengan public? Teori ini juga menjunjung kepentingan Bersama untuk mencapai kebahagiaan. Case yang sering terjadi Ketika klien memang dalam kondisi yang butuh pertolongan, mengingat klien memiliki tanggung jawab kepada seluruh stakeholder nya. apabila ia terlalu bersikukuh menekan klien untuk memaksimalkan pembayaran pajak, klien akan terganggu dalam proses pendanaan operasionalnya, sehingga bisa mengakibatkan perusahaan collabs dan menjadi penderitaan bagi klien. lantas apa yang akan dilakukan konsultan pajak dalam hal ini?Â
2. Moral Intensity
Moral intensity merupakan tingkat kesepakatan yang menilai suatu tindakan itu baik atau buruk. Sebagai konsultan pajak ia akan menggunakan moral intensity nya dalam menentukan rekomendasi yang akan diberikan kepada klien. Mereka mempertimbangkan terkait kemampuan perusahaan dalam membayar pajak. Moral intensity konsultan pajak juga melihat sejauh mana seseorang atau kelompok tersebut dirugikan atau diuntungkan dalam pengambilan keputusan. Moral intensity konsultan pajak juga akan dipengaruhi oleh faktor kedekatan, semakin adanya kedekatan antara klien dan konsultan pajak akan membuat menipisnya integritas, dan independensi yang dimiliki.
3. Perkembangan Kognitif Moral -- menurut Kohlberg
Kohlberg mengkategorikan perkembagan kognitif moral, dimana yang paling banyak bersinggungan dengan dilemma etika konsultan pajak adalah perkembangan tahap 3 yaitu keadilan terhadap orang lain. karena ini menyangkut pendapatan banyak orang, apabila memaksakan klien, dengan memberikan tax planning yang tidak tepat, maka akan membahayakan Perusahaan. Terlebih lagi perpajakan di Indonesia pengalokasiannya tidak transparan dan malah banyak dibuat korupsi, sebagaimana diungkapkan dalam BBC News Indonesia, terkait kasus pegawai pajak Rafael, dimana hal ini masih terjadi dikarenakan "Kongkalikong" masih terjadi antara petugas pajak dan wajib pajak (BBC NEWS, 2023). Maka dari itu keadilan mana yang akan diperjuangkan oleh seorang konsultan pajak? Menarik bukan?
Lalu bagaimana sebaiknya konsultan pajak menghadapi dilema etika tersebut? Merujuk pada organisasi konsultan pajak di Indonesia yaitu Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang telah merumuskan kode etik bagi profesi konsultan pajak. Dalam hal ini saya menyoroti peraturan kode etik Bab III pasal 4 membahas tentang hubungan dengan klien, poin 1 menjelaskan bahwa "konsultan pajak wajib Menolak untuk memberi nasihat dan bantuan dibidang perpajakan kepada setiap orang yang memerlukan jasa perpajakan dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan atau bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan, politik dan kedudukan sosialnya." (IKPI, 2022). Sesuai dengan kode etik tersebut seharusnya konsultan pajak jika memiliki klien yang nyata-nyata ada indikasi tidak korporatif dalam menjalankan perikatan, maka konsultan wajib menolak klien tersebut. Namun ditegaskan juga tentang hubungan dengan hati nuraninya, jadi jika hati nuraninya masih bisa menerima maka diperbolehkan ya hehe.
Hal lain yang dapat dilakukan konsultan pajak dalam menghadapi dilema etika tersebut adalah dengan menjaga integritas professional, serta melakukan pendekatan Giving Voice To Value (GVV) dengan cara memberikan pemahaman terkait dengan tugas pokok dan fungsi konsultan pajak yang tertuang dalam perikatan awal, maka konsultan pajak memiliki kewajiban dalam membimbing wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Membimbing berarti konsultan pajak harus memberikan arahan, serta saran agar klien tidak terjerumus pada permasalahan pajak yang mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian material, dan bisa menyebabkan reputasi perusahaan yang jatuh. Atas dasar tersebut, ketika perusahaan atau klien menyuruh konsultan pajak dalam melakukan perencanaan pajak yang agresif, konsultan pajak harus memberikan sarannya supaya klien dapat berfikir kembali dan mempertimbangkan Langkah kebijakan yang mau diambil, sesuai arahan konsultan pajak yang mana arahan tersebut tentunya telah diperhitungkan supaya perusahaan klien dapat "menghemat pajak" dan menjauhkan dari risiko perpajakan. Karena pada dasarnya semua keputusan yang diambil klien baik yang mengikuti saran konsultan pajak atau tidak, semua itu harus ditanggung oleh klien. Klienlah yang akan menandatangani SPT yang dilaporkan ke pihak DJP (fiscus). Maka dari itu tujuan dari Giving Voice To Value adalah memberikan saran dan bimbingannya agar perusahaan dapat menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar.