Puisi merupakan sebuah bentuk karya sastra yang berisi gagasan penyair dengan bahasa yang padat, singkat, dan menggunakan irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Fenomena perpuisian Indonesia berkembang sangat pesat. Dimulai dari puisi-puisi pra-kemerdekaan yang dipelopori Balai Pustaka, Pujangga Baru, sampai kepada angkatan 45, 50, 66, 2000, dan cyber-sastra. Â Penyair-penyair hebat yang melahirkan karya-karya penting mulai bermunculan, seperti Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Taufik Ismail, sampai Aan Mansyur dan Joko Pinurbo. Perkembangan puisi modern Indonesia dapat dilihat dari karya-karya mereka, yang semula hanya bersisikan semangat perjuangan, pamflet, romantis, religius, sufistik, sampai kontemporer.
Puisi kontemporer juga merupakan puisi yang ingin keluar dari kebiasaan puisi modern. Puisi kontemporer menginginkan eksplorasi dengan memperluas kajian dan tidak terpaku pada aturan-aturan puisi sebelumnya. Eksplorasi tersebut dapat berupa eksplorasi dari bentuk puisi, tema puisi, penggunaan kata yang berbeda, bahkan konsep-konsep sintaksis dalam puisi tersebut. Oleh karena itu, puisi kontemporer memiliki penggemar sendiri dari kalangan masayarakat pembaca sebagai bentuk perkembangan karya sastra, khususnya puisi. Ada beberapa penyair Indonesia yang mengembangkan genre puisi kontemporer, salah satunya adalah Afrizal Malna.
Afrizal Malna merupakan seorang penyair yang menghadirkan puisi-puisi dengan keunikan dan kekuatan berbeda dari konvensi puisi lirik dan eksperimental yang ditekuni penyair-penyair pada tahun 1970-an sampai 1990-an. Puisi Afrizal adalah puisi asemik dan puisi konkret yang jenuh pada kebudayaan aksara (Nasrulloh, 2015). Afrizal Malna selalu menuliskan puisi yang sulit dicerna artinya. Afrizal Malna berusaha menggambarkan bahwa puisi adalah sesuatu hal yang bebas, tidak terikat dengan aturan atau ketetapan kebahasaan. Ia seolah-olah mengkritik penyair yang sibuk dengan puisi religius, puisi terlibat (baca: sastra kontekstual), puisi imaji-simbolis, atau puisi kontemplatif; namun Afrizal mencuat dengan puisi hiperealis. Sebuah puisi yang simpang siur dengan ikon-ikon teknologi, budaya massa, pop, juga kebiasaan masyarakat menghabiskan waktu di super market.
Joko Pinurbo pada sebuah esai menuliskan bahwa Afrizal Malna mencoba memberikan cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan penyair-penyair sebelum dan semasanya. Pilihan ini membuat puisi Afrizal Malna sangat menarik namun juga menumbuhkan problematika. Berbeda dengan banyak penyair lain yang masih gamang dalam menghadapi kemelut budaya industri dan teknologi, Afrizal memilih untuk bergelut di dalamnya dan menjadikannya sebagai kancah pergulatan estetik dan intelekualnya. Karena itu, tidak seperti banyak penyair lain, Afrizal bisa dengan fasih memainkan kata-kata, idiom-idiom, yang digali dari khasanah dunia industri dan teknologi (dengan kota sebagai basisnya) sefasih Acep (Acep Zamzam Noor, penulis) memainkan imaji-imaji alam", Joko Pinurbo, "Puisi Indonesia, Jelajah Estetik dan Komitmen Sosial", jurnal kebudayaan Kalam 13.
Puisi Afrizal seakan aneh, karena menjadikan fenomena publik menjadi sebuah bahasan puisinya. Puisi Afrizal adalah puisi tentang keramaian dan kebisingan di supermarket, kios elektronik, jalan raya, jembatan, lobi hotel, bioskop, dan lain-lain. Hal yang digambarkan semuanya semu, entah itu merupakan kebisingan yang nyata ataukah hanya halusinasi sang penyairnya. Hal inilah yang membuat puisi-puisi Afrizal disebut puisi gelap, karena banyak mengandung majas, kias, dan lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Bentuk puisi seperti itu sifatnya terlalu pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan maknanya secara jelas karena maknanya tersembunyi dan bertingkat-tingkat, serta mengandung keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali.
Dalam puisi gelap, para penyair sengaja menyatakan suatu maksud atau pengertian dengan menggunakan lambang-lambang, kiasan-kiasan, bentuk tipografis, dan dengan menggunakan kalimat yang tidak langsung menyatakan maksudnya. Kata-kata yang digunakannya pada umumnya adalah kata-kata yang disertai konotasi dan memakai simbol-simbol pribadi. Namun berbeda dengan penulis-pebulis puisi gelap lainnya, Afrizal sering menuliskan puisi mengunakan benda-benda mati yang seakan-akan hidup. Benda-benda yang beranggotakan: televisi, bensin, coklat, saputangan, gerobak, sandal jepit, lemari, kucing, toilet, linggis, nenek moyang, panci, kartu nama, pabrik, sejarah, pipa air, parfum, popok bayi, dan nama-nama benda yang hanya biasa disebut dalam kamus, bukan dalam puisi. Berusaha digambarkan Afrizal seakan akan dihidupkan, dibunyikan, bahkan mungkin bisa bersuara.
Afrizal seakan-akan menempatkan dirinya sebagai seorang pelukis dengan kata kata sebagai tintanya. Ia menggambarkan sebuah dunia yang penuh migrasi : dari migrasi di kamar mandi ke migrasi ruang tamu, dari dekorasi eksterior ke ruang interior, dari indoor ke outdoor, dari bandar ke pedalaman, dan berbagai dunia traveling yang asyik menyusun dunianya sendiri. Migrasi model ini mungkin akan dianggap kembali ke bentuk, ke ruang, ke struktur.
Munculnya Afrizal Malna sebagai seorang penulis puisi kontemporer membuat sebuah gebrakan atau inovasi, yang berusaha mengkritik bahwa penyair tidak harus terpaku pada sebuah bahasa dan diksi sebagau seorang penyair. Afrizal membuktikan bahkan benda mati disekitar dapat dijadikan bahan sebuah puisi. Dengan inovasi seorang Afrizal menjadikannya seorang yang cukup dikenal bahkan muncul Afrizalian atau orang yang memiliki gaya-gaya penulisan sama seperti Afrizal. Â Lahirlah nama-nama penyair seperti Arief B. Prasetyo, Adi Wicaksono, Agus Sarjono, W. Haryanto, S. Yoga, Abdul Wahid, bahkan Diro Aritonang. Semuanya adalah efek dari inovasi estetika puisi seorang Afrizal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H