Mohon tunggu...
Lyfe

Kelompok Studi sebagai Pencarian Jati Diri

2 Januari 2016   11:18 Diperbarui: 2 Januari 2016   12:36 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia sesuai dengan kodratnya disamping sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial (homo socius). Manusia memiliki hubungan ketergantungan (relational) pada makhluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan dalam proses hidup dan kehidupan manusia itu akan berjalan karena ditopang oleh suatu komunitas yang sangan komplek. Yakinlah setiap hari manusia tidak akan lepas dalam aktivitas kelompok. Suatu kelompok yang dapat bekerja sama secara baik, akan mudah mengantarkan kepada tujuan melalui cara yang apik sehingga akan menjanjikan tergapainya target dengan elok dan itu semua bermuara pada keefektifitasan kinerja kelompok.

Kelompok studi merupakan perpaduan antara dua kata yaitu kata kelompok, yakni kumpulan dari beberapa manusia dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu dan kata studi, yakni bermakna belajar. Jadi kelompok studi adalah kumpulan beberapa manusia yang belajar bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam membangun kelompok studi sama halnya dengan membangun diri sendiri, dikarenakan untuk menjadi generator atas kesadaran masyarakat.

Kelompok studi sebagai media transformatif pada dasarnya telah ada jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945. Kurang lebih sekitar sejak tahun 1923-an apa yang dilakukan oleh tokoh seperti Dr. Soetomo (Kelompok Studi Indonesia), Ir. Soekarno (Kelompok Studi Umum) dan kelompok “Menteng” dalam membangun media transformatif jelas-jelas memberikan semangat dalam meraih kemerdekaan 1945.

Memasuki tahun 1955, mahasiswa sebagai tenaga penggerak dalam kelompok studi pada akhirnya harus terpolarisasi dalam faksi “kiri” dan faksi “kanan”. Bentuk penetrasi partai politik saat itu mendorong agar tenaga-tenaga penggerak mau menjalankan organisasi payung yang diciptakan oleh Parpol, seperti Concentrasi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dan lain-lain.

Kemudian, memasuki era akhir tahun 1980-an sampai 1990-an, dinamika kelompok studi selama ini mewarnai catatan perubahan sosial muncul kembali dan melawan pemberangusan yang dilakukan oleh Orde Baru, kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Nasional (UNAS) (Jakarta), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) (Bandung), Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) (Yogyakarta). Di Universitas Islam Indonesia (UII), kelompok studi yang terbangun saat itu adalah kelompok studi “Jas Merah” dan “Seruni” di Fakultas Hukum (FH) Uninversitas Islam Indonesia (UII). Dan tahun-tahun 2000-an hingga sekarang, di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universtitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Yogyakarta), jaringan yang masih ada sampai saat ini yaitu kelompok studi “KOMAKA” di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) dan “CUMIKA” di kampus UII pusat. Di UAD ada Kelompok studi “SEMAK”. Dan di UIN Sunan Kalijaga ada kelompok studi “KOMASYAH” di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan “FORSMAD”.

Kelompok-kelompok studi tersebut dibangun bukan dengan dasar ikut-ikutan. Tetapi dengan dasar bahwa kegiatan di dunia kampus khususnya di fakultas, masih kurang dalam memperoleh ilmu. Karena dengan keadaan realita akademis hanya membentuk kita agar menjadi rajin dan disiplin, namun bukan untuk menjadi kritis. Itulah mengapa kita perlu membentuk kelompok studi untuk berdinamika dan berdialektika. Disamping itu, kita sebagai mahasiswa yang sadar dan juga sebagai mahasiswa yang merupakan anak kandung masyarakat yang nantinya pasti pulang dan kembali ke masyarakat, dibutuhkan keahlian dalam memimpin. Mau tidak mau, masyarakat pasti menuntut kita untuk memiliki strategi dalam mentransformasikan ilmu yang kita dapat agar dapat disikapi dengan baik oleh mereka.

Dahulu, pepatah bilang “diam adalah emas”. Tetapi sekarang sudah tak berlaku lagi karena dunia sangatlah kejam. Diammu bukanlah emasmu, melainkan diammu adalah pengecutmu. Apakah kita akan hanya diam melihat si bodoh dibodohkan. Apa yang harus kita lakukan? Apa yang kita cita-citakan? Marilah belajar bersama-sama, kerja sama-sama, semua orang itu guru dan alam raya merupakan sekolah kita. Sejahteralah bangsa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun