Mohon tunggu...
Humaniora

Pendidikan yang Dialektis

2 Januari 2016   15:58 Diperbarui: 2 Januari 2016   16:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia dalam proses perkembangan individu maupun sosial. Dalam kehidupan manusia, pendidikan menjadi hal yang sangat penting, karena dengan pendidikan manusia dapat survive secara individu dan dapat berguna baik untuk lingkungan sekitar maupun untuk memajukan bangsa.

Namun kenyataannya saat ini ada anggapan yang sangat kuat pada masyarakat bahkan kaum terpelajar sekalipun khususnya kita sebagai Mahasiswa, bahwa sekolah itu identik dengan mencari kerja. Pertimbangan sebagai orang tua menyekolahkan anaknya dan anaknya sebagai orang disekolahkan adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang memadai sesuai dengan investasi yang telah ditanamkan disekolah. Pertanyaanya adalah mengapa opini publik sudah sedemikian kuat memegang anggapan bahwa tujuan sekolah adalah mencari kerja. Ini tak lain akibat dominannya budaya Pragmatisme di masyarakat dan pendidikan kita yang diciptakan oleh pasar.

Persepsi investasi mempunyai implikasi luas, maksud dari kelanjutan pemaparan diatas ialah bahwa masyarakat cenderung menyekolahkan anaknya ke Universitas-universitas dan Fakultas-fakultas yang sekiranya bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Maka akibatnya Fakultas yang akan laku adalah fakultas yang berorientasi pasar dan mudah mencari pekerjaan. Seperti Bisnis, Ekonomi, Teknik, Kedokteran, dan lain-lain. Sementara Fakultas-fakultas non-pasar seperti Ushuluddin, Pertanian, Sejarah dan seterusnya akan tidak laku. Dalam level perguruan tinggi pun terjadi atau terjangkit budaya Pragmatisme yang dahysat luar biasa, sehingga kemudian para perguruan tinggi berlomba-lomba membangun gedung-gedung yang mewah, berlomba-lomba mengejar target akreditasi dan menumbalkan mahasiswanya yaitu dengan men-DO-nya dan membuka jurusan-jurusan yang profit yang sehingga selanjutnya diberikan tarif yang tinggi. Akibatnya banyak orang-orang golongan tertentu yang dapat mengenyam pendidikan apalagi ditambah dengan kebijakan mengenai UKT dan kuliah lima tahun. Lantas pertanyaannya ialah apakah kebijakan tersebut benar-benar sesuai dengan substansinya pendidikan serta kondisi objektif? dan apakah kebijakan tersebut mutlak serta opsi/kebijakan yang ditetapkan paling mentok? Jelasnya opsi dan posisi serta aksi atau peran bagi kita hanya ada dua yaitu DIAM atau LAWAN. Jika diam kita berarti bukan manusia yang berotak dan berfikir dengan sehat.

Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar pandai dan cerdas serta mengeksklusi mereka yang punya keterbatasan intelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini. Harus segera diakhiri agar tidak muncul sindiran-sindiran tajam di publik seperti “sekolah itu candu” (Roem Topatimasang, 2004), “orang miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo, 2005), atau “orang bodoh dilarang sekolah”. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis. Namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak yang punya modal dan kapital. Maka dari itu kita perlu memahami pentingnya suatu pendidikan yang dialektis dan progresif.

Syarat Masuk Pendidikan Dialektis

1. Studi Tentang Mempraktekkan Demokrasi

Dalam dunia pendidikan yang sering kita tempuh, khususnya di indonesia kerap kali terjadi proses pendidikan yang satu arah antara tenaga pendidik dengan peserta didik. Dalam hal ini untuk mewujudkan pendidikan yang membebaskan yang bertujuan humanis tidak akan berjalan dengan baik apabila mitode satu arah dilakukan. Karena metode satu arah ini menjadi sebagai objek pendidikan. Padahal dalam hakikatnya pendidikan itu sendiri, kita sebagai manusia merupakan pelaku atau subjek dalam pendididkan.

2. Studi Tentang Mempraktekkan Dialogis Partisipatoris

Dalam mencapai pendidikan yang sesungguhnya harus ada dialogis partisipatoris antara tenaga pendidik dengan peserta didik agar tercipta pendidikan yang seimbang. Dalam hal ini juga perlu diketahui bahwa ilmu dalam pendidikan tidak hanya didapat dari pendidikan formal namun juga didapat dari informasi seperti membaca buku, sharing, diskusi. Karena dengan sering berdiskusi mengenai keadaan realita, kita mampu menyingkronisasi antara ilmu yang didapat dengan kondisi realita yang ada. Jangan sampai pendidikan yang didapat hanya berupa pendidikan doktrinasi yang hanya akan membuat pendidikan itu tidak membebaskan melainkan pengarahan semata.

3. Studi tentang mempraktekkan humanis

Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Seorang pendidik hendaknya membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed-learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa kita tidak dapat mengajarkan apapun. Kita hanya bisa membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri). Tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun