Media sosial telah menjelma menjadi arena pengawasan paling masif dalam sejarah manusia. Sekali unggah, ribuan bahkan jutaan mata bisa langsung mengamati, menilai, dan menyebarkan informasi tersebut. Fenomena ini melahirkan tren baru yang disebut sebagai digital surveillance, di mana setiap individu---tanpa disadari---menjadi bagian dari sistem pengawasan sosial. Namun, apakah tren ini lebih banyak membawa manfaat atau justru memunculkan bahaya?
Pengawasan yang Membuka Kebenaran
Digital surveillance telah berkontribusi besar dalam mengungkap perilaku tidak etis yang sebelumnya mungkin sulit tersentuh hukum. Contohnya, kasus orang tua siswa di Surabaya yang memaksa siswa lain untuk sujud dan "menggonggong." Tanpa media sosial, insiden ini mungkin hanya akan berakhir di ruang kepala sekolah. Namun, rekaman video yang viral membuat kasus ini menarik perhatian luas dan memaksa aparat bertindak.
Begitu juga kasus dokter muda di Palembang yang dipukuli karena protes jadwal piket. Berkat tekanan dari netizen, pelaku tak punya pilihan selain menghadapi konsekuensinya. Media sosial telah menjadi alat yang mempercepat proses keadilan, terutama ketika sistem formal dianggap lamban atau tak berpihak.
Ketika Netizen Jadi Hakim
Namun, digital surveillance juga memiliki sisi gelap. Viralitas seringkali membawa penghakiman yang terburu-buru. Dalam hitungan jam, seseorang bisa dicap bersalah tanpa proses hukum yang adil. Gus Miftah, misalnya, terpaksa mundur dari posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden karena video ucapannya yang dianggap menghina tukang es teh.
Netizen seringkali lupa bahwa mereka bukan hakim. Digital surveillance bukan sekadar tentang membuka kebenaran, tetapi juga menyisakan trauma bagi individu yang menjadi target. Jejak digital sulit dihapus, dan stigma dari penghakiman netizen bisa bertahan seumur hidup.
Antara Pengawasan dan Penghakiman
Di satu sisi, budaya digital surveillance memberikan tekanan positif bagi figur publik dan institusi untuk lebih transparan. Mereka tahu, tindakan sekecil apapun bisa diawasi dan disorot. Di sisi lain, tekanan ini juga menciptakan ketakutan dan kerentanan, terutama ketika pengawasan bergeser menjadi penghakiman.
Budaya ini pun menantang sistem hukum. Aparat seringkali terpaksa bertindak cepat untuk merespons tuntutan publik, meskipun proses hukum yang ideal membutuhkan waktu dan ketelitian.