Kelakuan si politisi tersebut, dan politisi-politisi lainnya sebelumnya, mengakibatkan politisi cenderung mendapat predikat sebagai kelompok yang tidak santun, tidak jujur dan suka berbohong.
Tidak salah kalau masyarakat, atau saya pribadi, menilai demikian. Karena memang kenyataannya seperti itu. Bahkan saya sering berpikir, apakah para politisi itu tidak belajar dari kasus-kasus serupa yang dialami rekan-rekannya sesama politisi?
Seperti yang terjadi beberapa hari ini. Di beranda FB dan Twitter saya, saya mendapatkan informasi tentang ujaran (di era media-sosial, tulisan pun dianggap ujaran) dari dua orang politisi senior yang ucapannya tidak mencerminkan seorang politisi senior.
Ironisnya, ujaran keduanya bernada hinaan kepada daerah. Politisi yang satu jelas-jelas menyebut nama daerah, sementara politisi yang satunya lagi berniat menghina (mengejek) seorang politisi lain, tetapi bahan ejekannya menggunakan tanda khas daerah tertentu.
Banyak faktor yang melatarbelakangi kedua politisi tersebut mengeluarkan ujaran yang tak mengenakkan itu. Anda tahu, lah. Dan saya tidak akan membahasnya.
Kalau saja, kasus terakhir yang saya sebutkan di atas mencerminkan bahwa para politisi negeri ini tidak mau belajar mengelola ucapannya, maka sungguh sangat menyedihkan. Alih-alih mereka diharapkan bekerja untuk memperbaiki kondisi negara dan rakyat, malah memperkeruh dan membuat tidak nyaman.
Seharusnya mereka menjaga kehormatan yang telah diberikan rakyat. Sungguh benar apa yang dikatakan Imam al-Ghazali, bahwa 'Lidah itu sangat kecil dan ringan, tapi bisa mengangkatmu ke derajat paling tinggi dan bisa menjatuhkanmu di derajat paling rendah.'
Apalagi menjelang hajatan demokrasi yang tinggal dua tahun kurang. Lontaran-lontaran politis mereka lebih banyak menyebut kekurangan-kekurangan (calon) lawan mereka. Sepertinya mereka harus diingatkan dengan perkataan yang pernah disampaikan Imam asy-Syafii, 'Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah.'
Sehingga, saat mereka menyebut kekurangan lawan politiknya, bersamaan dengan itu mereka pun sebenarnya menyebutkan kekurangan dirinya. 'Lidah seseorang itu dapat memberitahu tentang hatinya', demikian kata Ibnu al-Qayyim. Dan, 'Lidahmu adalah penerjemah akal pikiranmu.' kata Ali bin Abi Thalib.
Semoga kita, yang bukan politisi, dapat belajar dari kasus-kasus di atas. Semoga kita tidak turut memperkeruh suasana politik maupun suasana lainnya di negeri ini dengan tutur kata yang tidak baik, tidak sopan, dan tidak pada tempatnya.
"Lidah itu seperti singa, jika kamu membiarkannya lepas, ia akan melukai seseorang." (Ali bin Abi Thalib)