Intimidasi yang dilakukan orang-orang Quraisy kepada kaum Muslimin semakin menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada pengikut Rasulullah Saw yang disiksa, dipaksa untuk kembali ke kepercayaan pada berhala. Rasulullah Saw merasa sedih. Beliau harus menyelamatkan para pengikutnya, juga merasa perlu mencari tempat (wilayah) yang tepat untuk pusat penyebaran risalah Islam yang dibawanya.
Pilihan pertama adalah Habasyah. Beliau kemudian memerintahkan beberapa orang untuk hijrah ke sana, untuk melihat kemungkinannya dijadikan pusat penyebaran Islam. Di antara yang berangkat adalah putrinya sendiri, Ruqayah, berserta menantunya, Utsman bin Affan.
Setelah berbagai pertimbangan, Habasyah kurang baik untuk dijadikan destinasi hijrah kaum Muslimin. Maka, pilihan berikutnya adalah kota Yatsrib. Setelah mengutus Mushaib bin Umair untuk mengkondisikan Yatsrib, dan sudah ada beberapa pemuka kota Yatsrib yang sudah memeluk Islam, maka kemudian secara sembunyi-sembunyi kaum Muslimin berangkat dari Makkah menuju Yatsrib.
Sudah beberapa bulan Rasulullah Saw dan kaum Muslimin hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah.
Pengikut Rasulullah Saw yang masih tinggal di Makkah tinggal sedikit. Selain Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, mereka yang belum berhijrah kebanyakan Muslimin yang punya keterbatasan untuk melakukan hijrah, seperti anak-anak, orang tua, dan yang tidak mampu lainnya.
Rasulullah Saw memang memberi keringanan untuk yang tidak mampu. Mereka diminta memilih, tetap tinggal di Makkah atau ikut berhijrah bersama maum Muslimin lainnya.
Salah satu pengikut Rasul yang masih tinggal di Makkah adalah Dhamrah bin Jundub. Usianya memang tidak muda, 85 tahun. Tentu saja ia termasuk golongan yang diberikan keringanan untuk tidak berhijrah.
Kerinduan yang mendalam kepada Rasulullah telah membuatnya gelisah. Dhamrah bin Jundub tidak tenang tinggal di Mekah. Ia membayangkan betapa indah dan nikmatnya hidup di Madinah bersama Rasulullah Saw. Ia rindu suara Rasulullah Saw saat menyampaikan firman Allah Swt. Ia ingin melihat kembali tatapan Rasulullah yang tenang dan menenangkan.
Dhamrah berpikir berulang-ulang, apakah ia harus menyusul hijrah ataukah tetap tinggal di Makkah?
Setelah kerinduannya meluap dan keyakinannya menguat Dhamrah bin Jundub memutuskan untuk segera berangkat ke Madinah. Maka ia pun memanggil istrinya untuk menyampaikan keinginannya itu.