(Review film Tom Clancy's Without Remorse)
Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama, Without Remorse, yang ditulis Tom Clancy. Tak heran kalau nama Tom Clancy kemudian disematkan di judul film.
Adegan film diawali aksi penyerbuah pasukan AS, NAVY SEAL untuk membebaskan seorang anggota CIA yang disandera, berlokasi di Aleppo Suriah. Pasukan NAVY SEAL yang dipimpin John Kelly berhasil membunuh semua penyandera dan menyelamatkan sandera.
Misi sukses, tetapi ada hal yang ganjil. Pasukan penyandera ternyata bukan tentara Suriah, melainkan tentara Rusia,. Hal ini mengundang penasaran John Kelly, dan ditanyakan juga kepada Ritter, si pemberi perintah. Tapi tidak dijawab.
Film beralih ke tiga bulan kemudian.
Tom Kelly dan pasukan NAVY SEAL-nya sudah melupakan misi di Aleppo itu. Film menggambarkan kehidupan pasukan berjalan tenteram dan bahagia. Terutama John Kelly yang sedang menantikan kelahiran putri pertamanya.
Namun, kebahagiaan mereka tidak lama. Satu persatu pasukan NAVY SEAL dibunuh secara misterius. John Kelly menjadi target juga. Saat menyadari ada pasukan yang menyatroni rumahnya, John Kelly bersiap dan kemudian berhasil membunuh para penyusup tersebut, kecuali satu orang yang berhasil kabur.
John Kelly selamat, tetapi tidak dengan istrinya, dan tentu juga bayi di dalam perut istrinya. Hal inilah yang menyebabkan John Kelly murka berat. Dendam pun membara di dalam hatinya. Apalagi saat mengetahui bahwa penyerangnya adalah orang-orang Rusia. Memorinya teringat pada misi tiga bulan yang lalu. Dia curiga aksi pembunuhan terhadap anak buahnya ada kaitannya dengan misi di Aleppo tersebut.
Dia mendatangi Robert Ritter, orang CIA yang dulu memberi misi di Aleppo Suriah. Namun, Ritter menyangkal mengetahui aksi pembunuhan misterius itu.
Atas nama dendam plus sudah mendapat restu Menteri Pertahanan, Secretary Clay, John Kelly pun menyelidiki siapa dalang di belakang aksi pembunuhan pasukan NAVY SEAL. Setelah mendapat informasi, John Kelly kemudian memburu Viktor Rykov ke Rusia bersama dengan rekan setimnya Karen Greer dan orang CIA Robert Ritter, yang sebelumnya dianggap dalang di belakang aksi.