Pak Jokowi bisa berdalih, peredaran Miras nantinya akan diawasi. Akan ada petugas polisi yang mengamankan. Dalih ini langsung dibantah, lha yang nembak di caf itu bukan preman. Polisi lho, bukan polisi rendahan lagi, ini pangkatnya Brigadir. Jadi, mau mengawasi bagaimana? Mau mengamankan bagaimana?
Pak Jokowi mungkin berdalih juga, efek minuman keras kan cuma bikin mabuk, tidak merusak. Dalih ini dibantah juga. Lha itu pak Brigadir mabuk akibat minum Miras sampai nembak orang hingga mati. Tiga nyawa sekaligus lagi. Bagaimana mau bilang efeknya cuma bikin mabuk? Bagaimana mau bilang efeknya enggak merusak?
Pak Jokowi sekali lagi berdalih, peredaran Miras nanti hanya di daerah tertentu, tidak bebas. Lha Pak Jokowi mungkin lupa. Dalam syariat Islam, keharaman Miras itu bukan dilihat dari banyak atau sedikitnya. Ada setetes saja Miras dalam segelas kopi yang akan kita minum, kopi itu jadi haram.
Kalau mau 'melihat' kembali kebijakannya, saya kira Pak Jokowi cukup 'melihat' kasus Bripka CS. Itu mungkin cara Allah SWT menegur. Menurut saya, kentara sekali di kasus tersebut dampak negatif dari minuman keras.
Kalau ini betul teguran Allah SWT, sepertinya kita patut bersyukur. Allah SWT menegur hanya melalui kasus di caf di Cengkareng tersebut. Tidak seperti Allah SWT menegur kaum Nabi Nuh dengan banjir bandang, atau menegur kaum Nabi Sholeh dengan petir yang menggelegar, atau kaum Nabi Luth yang dibalikkan tanah yang mereka diami sehingga mereka terkubur hidup-hidup. Audzubillahi min dzalik.
Semoga Pak Jokowi merasa ini teguran dari Allah SWT.
Wallahu 'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H