Senin, 5 Oktober 2020 sidang Musyawarah Majelis Syura PKS yang berlangsung di Bandung telah memutuskan Ahmad Syaikhu sebagai Presiden PKS untuk periode 2020-2025 menggantikan Shohibul Iman.
Habib Salim Segaf Aljufrie, yang terpilih kembali menjadi Ketua Majelis Syuro PKS mengatakan, "Alhamdulillah Sidang Musyawarah Majelis Syura berjalan dengan lancar. Para anggota Majelis Syura PKS yang hadir telah melaksanakan kewajiban syuranya secara baik dan memilih kader-kadernya untuk penugasan menjayakan partai di lima tahun ke depan."
Ada beberapa catatan saya mengomentari pergantian kepemimpinan di partai yang di Pemilu 2019 kemarin menempati posisi ke-6 dengan raihan suara sah 11.493.663 atau 8,21% dan mendapat 50 kursi.
- PKS sampai saat ini masih konsisten menjadi partai oposisi.
Butuh keberanian dan ketangguhan mental untuk menjadi oposisi sendirian, di saat hegemoni pemerintah yang semakin menguat. Dengan menjadi oposisi, bukan hanya harus "melawan" pemerintah, tetapi juga harus "melawan" semua partai pro-pemerintah, yang jumlahnya 525 kursi sementara PKS cuma 50 kursi, alias 8% saja. Terbukti, kekuatan PKS tidak cukup untuk menolak UU Cipta Lapangan Kerja (CiLaKa) yang isinya lebih pro-pengusaha daripada tenaga kerja atau buruh.
PKS sebagai satu-satunya partai oposisi, tentu menunjukkan PKS bukan partai ecek-ecek. Maka, suksesi di partai ini tentu saja akan menarik perhatian publik. Terutama siapa Ahmad Syaikhu, yang ditunjuk menjadi nakhoda.
- Tidak ada berita heboh menyambut pergantian kepemimpinan di PKS.
Sudah jadi 'rahasia umum' di kalangan pers, suksesi di PKS tidak ada nilai jualnya. Tidak ada berita yang bisa mendatangkan rating tinggi saat diliput. Padahal, PKS dengan posisinya sebagai satu-satunya oposisi menunjukkan bukan partai ecek-ecek. Peran PKS di setiap Pilpres dan Pilkada, terutama di daerah-daeran tertentu sangat vital. Posisi Presiden, kalau di partai lain Ketua Umum, tentu posisi yang sangat layak untuk diperebutkan, apalagi menjelang pemilu dan Pilpres tahun 2024.
Tidak ada berita heboh, menunjukkan memang tidak ada kemelut, tidak ada perebutan kursi, apalagi harus lempar-lemparan kursi dan adu jotos. Menunjukkan pula kedewasaan berpolitik kader-kadernya. Terbukti, jutaan anggota PKS di seluruh Indonesia, ribuan pengurus kelurahan dan kecamatan serta kabupaten dan kota, tidak terdengar satu pun yang protes atau menyatakan ketidaksetujuannya atas terpilihnya Ahmad Syaikhu sebagai Presiden PKS. Proses suksesi yang sejuk sekaligus murah. Ironisnya, ini yang saya sebut sebagai 'tidak ada nilai jualnya' bagi insan pers.
- Konsisten posisi Presiden hanya 1 periode.
Dengan terpilihnya Ahmad Syaikhu menjadi Presiden PKS, membuktikan konsistensi PKS dalam menjalankan system kepartaiannya tidak tergantung pada figure atau tokoh. Sejak berdirinya PK tahun 1999 yang kemudian berubah nama menjadi PKS di tahun 2004, PKS telah dipimpin 7 orang Presiden, yaitu: Nurmahmudi Ismail, Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Lutfi Hasan Ishaq, M. Anis Matta, Shohibul Iman dan sekarangg Ahmad Syaikhu.
Semua pemangku jabatan Presiden bertugas hanya 1 periode. Ini menunjukkan bahwa PKS memang partai kader, setiap periode kepengurusan selalu memunculkan kader baru sebagai tokoh nasionalnya. Seolah stok kader dengan kualitas yang sama dengan Presiden sebelumnya, selalu ready.
- PKS bekerja by system, tidak figuritas
Terpilihnya Ahmad Syaikhu dengan tanpa suara penolakan dari jutaan anggota partai, menunjukkan mereka, para anggota partai, tidak peduli siapa yang menjadi Presiden, mereka sudah mempercayakannya penunjukkan Presiden kepada syuro (Majelis Syuro). Figur tidak penting bagi kader-kader PKS, sistem sudah berjalan selama ini, mereka bekerja berdasarkan sistem yang sudah ada.
Demikian beberapa catatan saya mengenai suksesi yang terjadi di PKS, semoga dengan presiden yang baru PKS semakin keras bekerja untuk membela rakyat. Banyak PR yang disandang Ahmad Syaikhu sebagai Presiden baru PKS, salah satunya adalah bagaimana menolak atau membatalkan pengesahan Ombibus Law UU Cipta Lapangan Kerja.