Memasuki semester akhir di semua jenjang sekolah pembelajaran disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk menyukseskan ujian nasional (UN). Hiruk pikuk itu semakin menjadi-jadi ketika sistem dan pola UN mengalami perubahan dalam prosedur operasionalnya (prosedur operasional standard (POS)). Hampir semua sekolah mempelajari
Fenomena penolakan pemberian gelar adat batak bagi SBY selaku pemimpin bangsa dan negara menarik dicermati, sejatinya pemberian gelar adat telah cukup lumrah dan mafhum kesejumlah kalangan pejabat ataupun tokoh masyarakat dan bukan hanya di batak, di jawa, minahasa, lampung, makasar, melayu, bali, dan dibelahan penjuru Indonesia praktek seperti ini menjadi lumrah dan biasa-biasa saja sebagai sebuah penghormatan atas kepercayaan pada sang tokoh.
Terlepas dari maksud dan tujuan yang baik sebagai bentuk adat ketimuran yang menghargai setiap tokoh yang berpengaruh, pemberian gelar adat kerap ditunggangi misi-misi politik tertentu ataupun kelompok atau pribadi tertentu. tanpa bermaksud menduga-duga telah nampak dan gambling bahwa terkadang pemberian gelar adapt diberikan kepada sesorang yang mempunyai kekuatan politik kekuasaan ataupun ekonomi modal, maka banyak sekali pemberian gelar adapt ditujukan bagi pemimpin daerh, pemimpin politik ataupun pengusaha sukses. jarang terdengar oleh kita pemberian gelar adat diberikan kepada para peneliti sukses ataupun atlet berprestasi.
contoh terkini adalah pemberian gelar adat bagi SBY selaku Presiden atau penyematan gelar adapt bagi marga sitorus taipan sukses pemilik willmar group selaku warga keturunan cina yang terlahir di sumut yang tidak berdarah batak menjadi fenomena lumrah yang sebenarnya biasa-biasa saja. menjadi biasa-biasa saja karena system pemerintahan republic jauh dari monarki dan telah lama juga system adat terpinggirkan oleh kekuasaan masa lampau maka pemberian gelar-gelar adat tersebut dirasa hanya sebuah simbolik penghormatan dan penghargaan semata karena secara konstruksi hukum positif tidak memberikan imunitas dan implikasi besar dibandingkan dengan jabatan anggota DPR atau Presiden.
prosedur tersebut dan menerapkan strategi agar semua siswa dapat lulus dengan nilai baik. Kadang gaya pembelajaran juga terpengaruh oleh sistem baru yang digunakan dalam UN. Seolah ada agenda "kejar tayang" dengan semakin dekatnya waktu penyelenggaraan UN itu.
Dengan dimunculkannya POS pada awal semester akhir tersebut banyak hal yang semestinya berjalan normal berubah haluan. Materi-materi pelajaran di semester tersebut menjadi tidak fokus lagi. Semua perhatian tertuju bagaimana memenuhi kepala siswa dengan berbagai latihan-latihan soal yang sudah terarah dengan jelas. Arahan itu berupa standar kelulusan yang menjadi acuan pokok pembelajaran. Bahkan ada sekolah yang sudah memiliki pola untuk menggeser materi pelajaran di semester akhir ke semester sebelumnya. Istilahnya dilakukan pemadatan. Ini dilakukan dengan motif agar pada semester akhir mereka bisa fokus hanya pada latihan-latihan soal dan try out. Tujuannya hanya satu agar lulus sekolah.
Itulah kebiasaan yang terjadi pada kelas-kelas akhir di setiap jenjang pendidikan menengah dan dasar. Hanya demi ujian nasional wali murid-pun rela mengeluarkan pembiayaan ekstra, dengan memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Tidak cukup itu saja, di sekolah pun diberikan jam tambahan di luar jam sekolah. Semua itu memerlukan "energi " khusus, baik berupa uang, waktu, dan tenaga. Intinya semua tercurah demi lulus ujian.
Kembali ke pokok persoalan pembelajaran. Pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah diatur dengan rambu-rambu kurikulum. Ada standard yang harus dicapai melalui prosedur proses pembelajaran yang benar. Bahkan perlu menggunakan metode-metode agar materi pembelajaran bisa merasuk pada diri siswa dan menjadi pondasi yang kokoh bagi pendidikan di tingkat berikutnya dan di masyarakat. Menurut hemat saya dengan struktur kurikulum yang disusun dengan baik mulai semester 1 hingga semester 6 (SMP dan SMA) diharapkan siswa mendapatkan pembelajaran yang benar. Ada target di setiap semesternya tetapi dengan tujuan lulus UN, target yang semestinya dicapai di semester 6 itu di kebiri, dikerdilkan. Sekali lagi pembelajaran menjadi berorientasi pada SKL yang baru dikeluarkan oleh kementerian pendidikan di awal semester akhir.
Mengapa itu terjadi? Mengapa SKL dibuat setiap menjelang UN, mengapa orang tua cemas akan kelulusan anaknya, mengapa guru melakukan penggeseran materi di semester 6 ke semester sebelumnya, mengapa harus dilakukan latihan atau try out ujian segala?
Mungkin akan ada yang komenter itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Semua sudah jelas alasannya. Soal lulus atau tidak lulus. Tidak ada tujuan bagaimana sekolah memberikan pembelajaran yang manusiawi yang tidak hanya berorientasi lulus atau tidak lulus.
Menurut saya, (gak menurut juga gak malasah, tidak maksa kok hehehe) kurikulum dibuat untuk dijadikan rambu-rambu untuk pembelajaran selama waktu sekolah. Tapi seolah ada budaya melanggar rambu-rambu itu dengan tujuan lulus UN. Apakah memang sudah menjadi budaya kita rambu-rambu dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar?! Atau karena otonomi sekolah dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) lalu kita bisa membuat dan menggeser posisi materi kurikulum ke bagian tertentu, atau bahkan membuang bagian yang memang tidak lagi dipersoalkan di UN? Yah, kita memang memiliki kewenangan mutlak di sana. Tetapi kita perlu ingat pembelajaran diberlangsungkan bukan hanya sekedar untuk lulus UN saja. Kalau hanya di-drill mengerjakan latihan soal dengan berbagai strategi yang tidak logis dan asal benar maka tidak heran mengapa di perguruan tinggi yang mengharuskan passing grade tertentu banyak mahasiswanya yang "payah".