Beberapa waktu lalu saya melakukan kegiatan Pengbadian Kepada Masyarakat (PKM) bersama mitra PKM PT. Crown Pratama (CP) dengan tema, "Mengembangkan Budaya Perusahaan Yang Kompetitif Guna Mendukung Kemajuan Perusahaan".Â
Meski terdengar klise dan biasa-biasa saja, asumsi dan visi yang diemban kegiatan ini sangat mendasar dan mendalam. Membangun ekonomi, bukan sekadar mengeksploitasi sumber daya alam, menciptakan lapangan pekerjaan, mencari untung, meningkatkan pendapatan, membuka lapangan pekerjaan; dan mewujudkan kesejahteraan melainkan juga menamkan nilai-nilai moral ekonomi dalam kebudayaan.Â
Kebudayaan dengan visi dan praktik ekonomi bermoral, mewujudkan kesejahteraan yang menyeluruh. Bukan sekadar mengejar keuntungan, uang, dan konsumsi melainkan juga berkeadilan, bertanggungjawab, dan berkelanjutan. Ini artinya gagasan dan praktik ekonomi perlu dibangun di atas nilai-nilai moral sebagai basisnya. Pengembangan kebudayaan merupakan fondamen bagi perkembangan ekonomi. Atau sebaliknya ekonomi perlu dibangun atas dasar pengembangan kebudayaan.
Embededdness economics
Pemikiran tentang Pembangunan ekonomi atas dasar pengembangan kebudayaan bukanlah ide yang sama sekali baru. Polanyi misalnya sudah menegaskan bahwa pemikiran dan praktik ekonomi tertanam (embedded) dalam kebudayaan. Ekonomi harus dipandang sebagai bagian dari system sosial budaya. Artinya, pengembangan ekonomi tak bisa dilepaskan dari system sosial lain dalam kebudayaan. Belakangan orang berbicara tentang semangat kewirausahaan pun harus dibangun atas dasar kebudayaan. Singkatnya, kebudayaan harus menjadi pangkal tolak pengembangan ekonomi.
Budaya perusahaan
Perusahaan sebagai salah satu unit ekonomi perlu dikembangan dengan basis kebudayaan. Tema budaya Perusahaan merupakan salah satu topik kunci dalam diskursus ekonomi kontemporer.Â
Guna memenangkan persaingan dalam iklim bisnis yang semakin kompetitif, setiap perusahaan berusaha untuk membenahi budaya Perusahaan agar semakin eksis dan tetap produktif. Gagasan, filosofi Perusahaan, nilai, visi-misi, cara produksi, kebiasaan, kualitas produk, visi dan misi perusahaan, serta nilai-nilai utama yang diacu bersama dalam Perusahaan merupakan bagian dari budaya Perusahaan.
Starbuck dan Holloway (2008) menyatakan bahwa penataan budaya perusahaan merupakan hal yang mendesak untuk diperbaiki karena budaya perusahaan yang buruk menghambat perkembangan perusahaan. Budaya perusahaan adalah semacam angin yang memberi nafas bagi kehidupan perusahaan. Julia Martin (2024) menyatakan bahwa budaya kompetitif harus dibangun di dalam perusahaan.Â
Martin menunjukan bahwa 60% tenaga kerja menyatakan bahwa mereka telah meyaksikan suatu pembalikan dalam budaya organisasi sejak pandemi 2019 lalu. Banyak perkerja mengakui bahwa mereka memiliki kesadaran moral yang rendah atau kurang bermoral (30%), kurang fleksibel (28%), dan kurang inklusif (30%) di tempat kerja mereka. Pada hal kesuksesan sebuah oraganisasi, termasuk organisasi bisnis atau perusahaan, sebagian ditentukan oleh budaya organisasi yang dibangun dalam perusahaan tersebut.
Survey yang pernah dilakukan Jobvite menemukan bahwa hampir 40% pekerja menilai budaya perusahaan sebagai "sangat penting" karena berdampak langsung terhadap retensi karyawan; keterlibatan karyawan; rasa memiliki; dan produktifitas kerja. Awka dan Anambra (2022) menyatakan bahwa kesuksesan sebuah perusahaan ditentukan juga oleh budaya perusahaan. Awka (2022) menulis, "This is why understanding the idea of organizational culture, how it affects organisations, and how it can be handled is important for industrial sociologists as well as human resources specialists".