Penulis: Uray Andre Baharudin S. Tr. Pi/ Profesional Ghost writer
Masih membahas seputaran "idealisme penulis", pada artikel saya sebelumnya saya sudah membahas mengenai pentingnya "idealisme" bagi seorang penulis. Seorang penulis dengan idealismenya memiliki kekuatan yang kuat dalam tangannya. Bukan hanya dalam merangkai kata-kata indah, tetapi juga dalam menyampaikan pesan-pesan penting yang bisa mengubah perspektif dan membangkitkan semangat di dalam masyarakat. Simbol idealisme seorang penulis tidak hanya lekat dengan tinta di atas kertas, tetapi juga dengan keberanian dan integritas yang dituangkan dalam setiap kata yang tertulis.
Ketika seorang penulis kehilangan idealismenya, mereka dapat kehilangan keyakinan pada kemampuan mereka untuk membuat perubahan positif. Mereka mungkin merasa bahwa karya tulis mereka tidak lagi memiliki nilai atau relevansi, dan mungkin berhenti mengekspresikan pandangan mereka dengan tegas dan jujur. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan menemukan motivasi untuk menulis dan menciptakan karya yang bermakna. Saat penulis hanya mengejar popularitas semata, idealisme itu sendiri terkikis oleh godaan popularitas tersebut.
Seakan-akan, penulis menjadi pengemis popularitas, menjual integritasnya untuk mendapatkan perhatian dan pengikut. Idealisme yang dulu menjadi pijakan utama, kini tergantikan oleh ambisi dan keinginan untuk sukses sesaat. Ketika kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan umum, maka penulis telah kehilangan jiwanya.
Saya cuma bisa terdiam, ketika penulis yang dahulu berapi-api dengan gagasan-gagasan brilian dan pemikiran yang revolusioner harus menghadapi realitas pahit bahwa dunia tidaklah sesempurna yang ia bayangkan. Segala harapan untuk mengubah dunia dengan kekuatan kata-kata, bertabrakan dengan kenyataan keras yang tak kunjung berubah meski sudah berpuluh-puluh kali diteguhkan dalam tulisan.
Namun, apakah harus menyerah begitu saja??? Sudah bertahun-tahun lamanya, penulis terjebak dalam sebuah dunia yang hanya menuntut hasil yang lebih cepat, lebih mudah dicerna oleh khalayak, dan lebih menghasilkan uang. Idealismenya mulai terlupakan, ditinggalkan di balik waktu dan rutinitas. Tulisan-tulisannya hanya menjadi bagian dari mesin uang, yang hasilnya semakin jauh dari impian awalnya.
Lalu apa yang terjadi dengan penulis ketika ia kehilangan idealismenya??? Ia mungkin terjebak dalam penulisan yang mainstream dan tidak memiliki makna ataupun nilai-nilai dalam tulisannya. Tulisan-tulisannya hanya sekedar mengikuti tren popularitas, mengutamakan jumlah penjualan daripada kualitas dan substansi. Penulis seakan menjadi mesin yang dipaksa mengeluarkan produk-produk yang diharapkan masyarakat, tanpa benar-benar menyuarakan isi hatinya.
Semakin lama penulis terjebak dalam rutinitas ini, semakin jauh ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Ia mungkin menemukan kesulitan untuk menemukan inspirasi baru, memikirkan gagasan-gagasan segar, dan mengekspresikan apa yang dirasakannya. Tulisan-tulisannya terasa kosong, tanpa jiwa, hanya menjadi bentuk lain dari komoditas yang dapat dijual dan dikonsumsi oleh pasar.
Namun, apakah kehilangan idealisme berarti akhir dari perjalanan seorang penulis??? Tidak. Setiap penulis memiliki kesempatan untuk kembali menghidupkan idealismenya. Ketika penulis menyadari betapa pentingnya kembali menghubungkan diri dengan inti dari dirinya sendiri dan mengeksplorasi dalam-dalam kembali, ia dapat menemukan kembali semangat, makna, dan rasa yang terdalam dalam tulisannya.
Sekarang bagi sebagian orang, kehilangan idealisme seorang penulis mungkin terlihat seperti hal yang lumrah atau bahkan dianggap sebagai bagian dari "membangun karir". Namun bagi orang lain, hal ini bisa sangat mengganggu dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas seorang penulis.