sepak bola Indonesia diberi sanksi oleh FIFA sebagai buah hasil konflik antara PSSI dan pemerintah lewat Kemenpora. Peristiwa ini merupakan awal rentetan ombak penghancur sepak bola yang sepertinya tidak berkesudahan. Lalu pada akhirnya tahun 2016 sanksi itu dicabut, dengan membawa hadiah manis kepada sepak bola Indonesia seperti bubarnya Timnas Indonesia level junior, lapurnya beberapa event penting di tahun-tahun selanjutnya, hingga jatuhnya ranking yang membuat Indonesia tersipu malu.
Pada tahun 2015,Tak sampai disitu, enam tahun kemudian pada tanggal 1 Oktober 2022, sebuah insiden mengenaskan terjadi di Kota Malang. Yakni peristiwa kekacauan kerumunan fatal (dibaca: chaos) yang terjadi pasca pertandingan BRI LIGA 1 antara Arema dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kekacauan ini disebabkan menilik kekalahannya tim tuan rumah yang mengundang ribuan orang turun ke lapangan, dan hasilnya lebih dari 100 jiwa kehilangan nyawa saat itu.
Lalu tak sampai satu tahun berselang, kejadian yang membuat seantero stakeholder sepak bola Indonesia kecewa kembali hadir, yaitu dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Dalam hal ini tak ada sedikit pun keuntungan yang datang untuk Indonesia, semua kerugian pahit habis ditelan mentah oleh seluruh jiwa. Mulai dari hilangnya mimpi anak Indonesia berlaga di pentas sepak bola terbesar dunia, buruknya wajah sepak bola Indonesia di mata dunia, kerugian materil dan immateril yang ditelan, dan masih banyak lainnya yang jika disebutkan akan memakan jutaan kata-kata.
Penyebab dari dibatalkannya Piala Dunia U20 di Indonesia, dinilai cukup primitif untuk bangsa sebesar Indonesia. Awalnya bermula dari penolakan beberapa daerah kepada Timnas Israel agar tidak berlaga di regionalnya, hingga memantik panggung-panggung lainnya untuk turun menyuarakan penolakan yang sifatnya terlalu ironi. Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjadi pembuka penolakan yang mungkin menurutnya itu sangat nasionalis, lalu menyebutkan Israel tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia dan rajin melakukan penjajahan di tanah Palestina. Dalam hal ini, FIFA ingin menjamin keamanan untuk semua negara yang akan tampil, tanpa terkecuali. Maka dari itu, situasi keamanan menjadi alasan FIFA untuk mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.
Berkaca atas 3 masalah besar yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, di Indonesia terlalu banyak cara-cara politik yang norak untuk dibawa ke dalam sepak bola. Seperti mantan Menpora Imam Nahrawi yang membekukan PSSI pada 2015 karena adanya dualisme dan pemerintah pun akhirnya ikut campur, lalu ujungnya FIFA menjatuhkan sanksi. Adapun Tragedi Kanjuruhan 2022 yang lelet penyelesaiannya dan membuat peran-peran pemain politik hebat canggih gagah perkasa di Indonesia semuanya mundur teratur. Sampai yang terbaru, pemimpin daerah, partai politik, dan organisasi masyarakat yang menyuarakan suara emasnya untuk menolak Timnas Israel berlaga di Piala Dunia U20 Indonesia.
Semua hal itu sangat runyam untuk ditafsirkan, masalahnya yaampun ya kenapa terlalu banyak sekali di Indonesia yang menggunakan cara politik kampungan, norak, primitif, atau apapun itu kepada sepak bola Indonesia. Masalahnya disetiap momentum kebangkitan sepak bola Indonesia hampir tiba, pasti akhirnya harus hilang karena anak-anak bangsa kreatif yang hebat-hebat ini dalam berpolitik, sedihnyaaaaaa.
Kembali ke persoalan terakhir yakni Piala Dunia U20, sebenarnya pada sejarah sepak bola dunia juga wajar saja berpolitik dalam sepak bola. Seperti contohnya pada awal mula FIFA didirikan hingga pengembangannya selalu kental dengan unsur-unsur politik. Penggunaan politik pada sepak bola jika berkaca dari FIFA sebenarnya sah-sah saja. Namun yang perlu digarisbawahi, caranya tolonglah dengan cara yang elegan, fair play, dan sportif, bukan semata-mata karena kebencian yang berujung pada diskriminasi.
Sejatinya, sepak bola itu merupakan olahraga yang dapat menyatukan seluruh umat dan dimainkan dengan sportivitas tinggi. Oleh sebab itu, cara-cara politik yang biasa diterapkan negara-negara maju ketika ada konflik, adalah menyelesaikannya di lapangan dengan perang sehabis-habisnya membela negara, bukannya memberi pernyataan demo sana sini yang ujungnya merugikan semua pihak dan terkesan pecundang.
Sepak bola selamanya akan baik-baik saja jika dicampur adukkan dengan cara-cara politik yang elegan, dan itu lagi-lagi hanya politik yang sportif. Namun jika membawa-bawa agama, ras, suku bangsa, atau aspek lainnya yang tak berhubungan dengan sepak bola harusnya jangan dong dan FIFA juga tidak menyukai itu, tanpa kompromi.
Melansir dari AFP, menurutnya kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia pada awalnya karena seruan Gubernur Bali dan Jawa Tengah agar Israel dikeluarkan dari turnamen, lalu memantik sekitar ratusan demonstran Muslim konservatif yang berbaris di Ibu Kota Jakarta untuk memprotes partisipasi Israel. Dan yang terakhir pejabat-pejabat Indonesia yang sebentar lagi akan memasuki pagelaran politik 2024 dimana semua elemen mencari panggung untuk momen penting itu. Alhasil, semua wajah sepak bola Indonesia pun disarankan untuk menutup muka dan berlari terbirit-birit karena malunya sudah tak tertolong.
Setelah kata-kata yang menyedihkan ini keluar, untuk menjawab pertanyaannya bagaimana ya berdasarkan dua kasus awal dan kasus terakhir yang teramat memalukan ini. Apakah politikus dan elemen lainnya ikut campur dengan sepak bola Indonesia dengan cara yang elegan atau kampungan, norak, primitif? Dan apakah sepakbola Indonesia selamanya akan terpuruk? silakan jawab sendiri!