Persoalan suara rakyat bersamaan dengan kekuasaan dalam sistem politik. Apa yang terjadi dengan keduanya?
Demokrasi dibangun di atas kedaulatan rakyat. MPR yang di masa lalu pemegang tertinggi kedaulatan rakyat hanyalah tempat rakyat bermusyawarah. Ketika rakyat sudah bersuara, harus diberi nilai tertinggi yang didalamnya terdapat sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan.
Sejumlah kebijakan maupun undang-undang yang ditentang dan merugikan rakyat menunjukkan adanya bukti suara dan kehendak rakyat yang dicederai beserta dapat disalahgunakan oleh para wakil dan rakyat. Kini yang terjadi adalah absolutisme kekuasaan ekskutif, legislatif dan yudikatif sekaligus dalam jalinan politik.
Demokrasi liberal Indonesia melahirkan kekebalan elite politik karena merasa dipilih langsung rakyat. Mata hatinya buta karena digdaya kuasa. Era Reformasi dalam wujud lain akhirnya melahirkan praktik baru kekuasan absolut, mengulang Orde Lama dan Orde Baru.
Sistem politik demokrasi memerlukan prasyarat dan instrumen yang mendukung. Demokrasi dari aspek subjek dan budaya politik meniscayakan rakyat yang melek politik. Dalam pemikiran Almond dan Sidney, budaya politik dengan pengetahuan rendah menumbuhkan sikap parokial, yakni partisipasi politik terbatas dan pasif.
Hampir semua partai tampaknya seiring sejalan dalam melindungi kepentingan masing-masing untuk mengamankan kekuasaan mereka. Akan tetapi, paling tidak rakyat dapat mencermati, misalnya, anggota DPR mana saja yang terlihat gila hormat. Apabila yang bersangkutan maju lagi dalam Pemilu 2019, maka harus disuarakan ramai-ramai agar dia tidak dipilih lagi alias dipecat oleh rakyat sebagai anggota DPR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H