Mohon tunggu...
Faby Uran
Faby Uran Mohon Tunggu... Petani -

aku anak Petani, rindu kembali menjadi Petani, membangun kampung halaman.\r\nDengan menulis, kubingkai potret kehidupan berpanorama sudut waktu antara garis pantai dan bukit ladang, kudendangkan sekuat deburan ombak, mewartakan kearifan Lokal yang harus dilindungi, kuletakan jiwaku di belantara pencaharian ini untuk generasi selanjutnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyimbolkan Makna Kata Weta dan Weda

29 Juni 2017   20:04 Diperbarui: 29 Juni 2017   20:22 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Pribadi

Refleksi atas kearifan-kearifan lokal adalah proses menemukan kedalaman nilai-nilai budaya, menemukan sumber inspirasi, sumber spirit yang memampukan setiap manusia memaknai hidupnya. Dalam tulisan kali ini penulis menghadirkan sebuah tulisan tentang simbol Cinta Kasih, simbol belajar memberi dan membagi dari kearifan lokal  pada masyarakat Lewotobi Desa Birawan yakni Kata Wetadan Weda.

Etimologis Weta adalah tempat (dipantai) yang dilingkari dengan batu. Di tengah lingkaran batu ini para nelayan meletakan peralatan yang digunakan untuk membersihkan ikan setelah pulang menangkap ikan dengan menggunakan peralatan Bubu ( bahasa daerah Blutu). Peralatan yang di letakan di Weta adalah Mere (Potongan papan/kayu untuk membersihkan sisik ikan), Kleka(alat penampi beras). Peralatan ini sebelum digunakan, digantung pada sebatang batang pohon yang ditancam di tengah weta.

Menurut Laurensius Lusi Hokeng yang meneruskan tradisi dari nenek moyang mereka dalam penangkapan ikan dengan menggunakan Blutu, (bubu) ini, ketika sebuah bubu baru yang akan dipasang dilaut harus dimulai dengan sebuah proses ritus. Setelah satu Minggu ( tujuh Hari ) bubu diambil  dan hasil yang diperoleh dibersihkan di tempat namanya Weta, selanjutnya diolah untuk dikonsumsi juga ditempat weta. Saat pengambilan hasil perdana, saudari dari si nelayan adalah orang pertama yang menikmati hasil tangkapan ini. Keluarga si neleyan, keluarga saudarinya yang disebut Opu Bine datang membawa makanan dan minuman berupa tuak. 

Lauk pauk adalah hasil bubu ini.  Semua hasil yang diperoleh  diolah dengan cara dibakar  untuk dikonsumsi.  Hidangan rasa syukur ini diletakan di Weta. Jika ada orang lain yang lewat atau berada di sekitar lokasi  ini diundang untuk bersama, bersatu dalam rasa syukur ini. Jika tidak habis dikonsumsi dibawa pulang dan dibagikan ke sesama yang disebut Weda. Tradisi weta ini, saat ini menurut  Bapak Lorens, sapaan pewaris tadisi ini  masih tetap beliau lakukan tetapi lokasinya di rumah. Kata Wedaartinya membagi. Sebuah tradisi membagikan hasil tangkapan ikan ke tetangga, orang-orang baru, para guru dari luar wilayah  yang mengabdi di Lewotobi.

Dari gambaran singkat di atas, bagi penulis, Kata Weta dan Weda memilki sebuah relasi kesatuan yang membingkai makna sosial budaya. Kata Wetadapat diterjemahkan sebagai altar, tempat khusus untuk menandai sesuatu yang baru yang disebut Bure ( baca Bur ). Dari tempat ini, hasil ikan setelah dibersihkan dibawa pulang dan sebagiannya dibagikan " Weda " ke sesama.

Bagi penulis, Kata Weta dan Weda mengandung makna nilai-nilai kehidupan yang teramat luhur. Refleksi nilai-nilai berupa Nilai Transformasi, Nilai kesakralan,Nilai Penghargaan, Nilai Kebersamaan, Nilai Belajar memberi, Nilai Bersolider dengan alam.

Makna Bure berarti menandai sesuatu ( Blutu, perahu, pukat ) yang baru digunakan. Menandai bahwa barang ini telah siap digunakan sebagai sarana yang membantu manusia.  Peralatan yang digunakan dimaknai sebagai sesuatu yang hidup, yang diberi roh, yang dipercayai sebagai yang memilki " Iru Mate (Iru : hidung, Mate : Mata). Karena sebagai sesuatu yang hidup maka ia mesti perlakukan secara baik dan terhormat. Blutu harus tetap diperhatikan, diperbaiki demikian juga perahu dan jala/pukat. Penghormatan juga termasuk mengakui kepemilikan orang lain. Hasil blutu hanya bisa diambil oleh pemilik blutu atau keluarganya yang percaya/dimandatkan. Nilai transformasi adalah nilai benda yang dimaknai sebagai sesuatu yang hidup, sesuatu yang dipercaya membawakan berkat. Proses transformasi nilai  benda mati menjadi sebuah sarana kehidupan.

Pada lokasi Weta, hasil perdana dipersembahkan untuk saudari.  Ikan yang dipilih adalah ikan yang terbaik. Saudari adalah orang pertama yang menikmati hasil  terbaik ini. Ritus ini menegaskan pengakuan dan penghormatan terhadap wanita sebagai yang merahimi kehidupan. Pengakuan dengan memberikan tempat pertama, memberikan yang terbaik  (Nilai Penghargaan dan Kebersamaan) Keistimewaan tempat Weta ini harus dimaknai sebagai sesuatu yang sakral (Nilai Sakral) Karena hanya di tempat ini, ikan dibersihkan dan menjadi altar  perjamuan bersama, altar tempat saudari menandai sesuatu yang siap saudaranya gunakan untuk keberlangsungan hidup. Ritus tidak berhenti hanya di sini tetapi dari tempat sakral ini keagunan peristiwa ini mesti diwartakan ke sesama melalui weda, membagikan berkat ini dan biasanya saudari adalah orang yang melakukan wedaini ( Nilai belajar memberi).

Nilai lain adalah nilai solider dengan alam. Penangkapan ikan dengan menggunakan Blutu adalah cara yang teramah dengan alam. Karena ikan yang ditangkap hanya ikan yang masuk dalam Blutu.Ini berarti nenek moyang mengajari bahwa manusia harus merasa cukup, tidak rakus. Hasil yang diambil dari alam harus dalam konteks cukup untuk makan dan membagikan ke sesama bukan eksploitasi atas alam yang berlebihan.

#fotountukahok,

Bersamabung......................

Uran Faby

Pengamat sosial budaya, pendidikan dan lingkungan hidup

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun