Mohon tunggu...
Muhammad Syauqy Nailul Author
Muhammad Syauqy Nailul Author Mohon Tunggu... -

I make jokes when I'm uncomfortable and I like using humor as a defense mechanism. -Cerdas Ceria-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Berjuang dengan #Hashtag

19 Januari 2016   11:13 Diperbarui: 19 Januari 2016   11:56 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Peringatan! Itulah hal pertama yang ingin saya sampaikan sebelum anda membaca lebih lanjut tulisan kedua saya di tahun 2016 ini.

Mengapa pembaca perlu diingatkan? Karena setelah membaca tulisan ini akan ada banyak orang, termasuk anda mungkin, yang akan tidak menyukainya, mengernyitkan dahi, ataupun mungkin justru malah membenci saya? Atau mungkin malah ada yang merasakan kegundahan yang sama dengan saya? Ah, sudahlah, I never care in the very first place, haha.

Bagi saya, tulisan merupakan tempat untuk mencurahkan apa yang ada di dalam pikiran dan hati. Lalu, kenapa saya harus peduli dengan pendapat orang lain tentang saya berubah akibat saya menulis artikel ini? Lagipula ini negara demokrasi. Asalkan masih dalam koridornya, bukankah kebebasan berpendapat sudah diatur dalam UUD kita pasal 28? Edans. #AnakOlimpiadePKN

Tulisan kali ini merupakan kegundahan hati yang sudah lama saya rasakan, namun baru sempat tertuang. Terlebih lagi, Indonesia, khususnya Jakarta, dalam minggu kemarin sedang berduka akibat adanya perilaku beberapa makhluk gila yang meledakkan bom dan juga melakukan aksi tembak di Sarinah, Jakarta. Biadab kalian, para teroris dan pendukungnya!

Sebelum saya lanjutkan, saya mengucapkan bela sungkawa sebesar-besarnya kepada para korban dan keluarga yang merasa dilukai. Semoga keluarga korban diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi semua. Mohon maaf, saya belum bisa membantu sama sekali, tidak seratus rupiah pun, tidak satu hashtag pun. Sekali lagi, saya mohon maaf. Maaf, saya adalah makhluk hina yang tidak melakukan tindakan nyata sama sekali. Namun, percayalah, walaupun saya hina, saya masih dapat merasakan kesedihan dengan adanya korban-korban yang berjatuhan dan marah kepada manusia-manusia keparat yang melakukan tindakan pemboman ini.

Berbicara mengenai perasaan, sedikit melenceng dari topik, sebagai seorang suami, saya pernah mendengar kalimat bijak yang berbunyi seperti ini :

Jangan pernah berkata “Aku mengerti perasaan dan keadaanmu kok yaaang”, kepada istri yang sedang hamil. Terlebih dengan mata masih tertuju kepada handphone anda.

Sekilas tidak ada yang salah dengan perkataan suami tersebut, karena “berusaha” bersimpati kepada sang istri. Namun jangan salahkan kenyataannya ketika sang istri amat sangat terluka akibat sang suami mengatakan kata-kata tersebut.

Diluar kondisi hormon yang tidak stabil sang istri, si suami memang bersalah mengatakan hal tersebut. Bayangkan, istri yang muntah-muntah setiap pagi selama tiga bulan awal, tidak bisa makan karena sekali makan langsung dimuntahkan lagi karena enek, pusing, sakit dan pegal di pinggang setiap hari sehingga tidak bisa tidur, dan lain sebagainya.

Saat sang istri bercerita mengenai perjuangan dan jalan jihadnya ini dan berharap perhatian dari suaminya, alih-alih suami mendengarkan dengan seksama dan memberikan pundak untuk sang istri bersandar, si suami malah memotong ceritanya dan berkata “Aku mengerti perasaanmu kok yaaang”.

Sang istri pun meledak marah. Bagaimana bisa si suami mengerti? Muntah tiap pagi? Ga. Mual? Ga. Ga bisa diisi makanan perutnya? Ga, malah nambah. Ga bisa tidur? Ga, malah pake ngiler. Jadi, bagaimana mungkin si suami bisa berkata dia mengerti perasaan dan kondisi sang istri? Sang suami bahkan tidak mengalami semua hal itu!

Jadi, pelajaran apa yang bisa diambil dari cerita di atas? Ada dua.

Pertama, hormati kedua orang tuamu, terutama ibumu. Tidak salah Rasulullah SAW mengatakan siapa yang wajib kau hormati? Ibu, Ibu, Ibu, Ayah. Wajib hukumnya.

Kedua, jangan berkata dan menunjukkan seolah-olah "saya peduli" ketika bahkan anda tidak bergerak sama sekali untuk membantu secara nyata mengatasi masalah tersebut.

Kembali membahas peristiwa ledakan bom kemarin, banyak orang yang berpendapat dan merasa, salah satu cara melawan teroris yang mumpuni adalah dengan hashtag. #KamiTidakTakut.

Alih-alih berdebat mengenai bagaimana mengobati korban-korban dan sumbangan serta bantuan apa yang dapat diberi untuk keluarga korban sesegera mungkin, orang-orang ini lebih tertarik berdebat mengenai hashtag apa yang paling efektif digunakan untuk melawan terorisme dan menghibur hati keluarga korban, #KamiTidakTakut? #PrayforJakarta?

Perdebatan biasanya berujung pada status atau komen nyinyir di Facebook. Pun, munculnya analis media sosial, terorisme, dan perekonomian makro secara tiba-tiba di media sosial. Apparently, sebuah hashtag dapat mempengaruhi perekonomian sebuah Negara. Tentu saja, saya tidak akan membahas itu disini, karena sudah banyak analis yang menyangkal pendapat termahsyur yang sanad-nya beredar berangsur-angsur lewat whatsapp itu.

Tidak cukup dengan perdebatan hashtag apa yang mumpuni, di tengah kondisi duka ini, ada lagi segolongan orang yang menyinyir dengan posting gambar berikut:

 “Pengen liat!!! Apa orang Francis mau make PP bendera Indonesia kayak kalian yang dulu sok-sokan pakek bendera Francis.”

Ehm. Baiklah.

1.      Francis. Really?
2.      It is only profile picture, for God sake.
3.      Orang-orang yang memposting foto ini ada yang menggunakan bendera Palestina sebagai profpic-nya. Bukankah hal itu juga berlaku untuk anda, wahai akhi?

Saya pribadi, memiliki dua sisi pendapat terhadap masalah ini.

Pertama, itu cuma, sekali lagi, CUMA profile picture gitu. Kenapa sih harus diperdebatkan? Profile picture yang diganti punya lo juga bukan, itu profpic dia sendiri, profile dia sendiri yang dia register dengan email dia sendiri, kenapa lo yang sibuk?

Kedua, apakah mengganti profpic dengan sebuah bendera akan mengobati perasaan takut dan terluka korban disana?
Apa kalian berharap sang korban pemboman di rumah sakit membuka Facebook dan berkata "Wah, lihat, ada 1 juta orang yang profpic-nya diganti bendera negara kita lho”, kita jadi merasa lebih baik setelah melihat profpic ini".

Kenapa sih kalian ini sukanya membanding-bandingkan? Prancis kek, Indonesia kek, Suriah, Arab Saudi, Yaman, Iran, jika ada kabar duka ya dibantu, bukan dibanding-bandingkan. Kalian ingin merasa dikasihani atau gimana sih?

Saat tragedi crane di Arab Saudi ada golongan orang yang membangga-banggakan cepatnya tindakan penanganan disana oleh pemerintah Arab, sedangkan saat ada tragedi bom di Indonesia, negara kita sendiri, kalian malah mengolok-olok presiden kita sendiri dan mengatakan ini adalah pencitraan. Gila.

Huft. Huft. Tarik napas dulu.

Baiklah, ada lagi seorang public figure yang mungkin maksudnya baik, tapi entah mengapa menurut saya pribadi, caranya dapat dibilang sangat-sangat buruk. There are 2 kinds of people in this world, ada yang dapat menanggapi dengan serius, dan ada yang menanggapi dengan berusaha sok asik. Sang public figure ini tampaknya termasuk golongan yang kedua, bahkan terlampau sok asik.

Beberapa saat setelah terjadi ledakan bom. Alih-alih mendo’akan (Ya, dimohon jangan do'a di Facebook, do'a setelah sholat sendirian akan jauh lebih baik) para korban ataupun membantu menggalang donasi dengan kapasitasnya sebagai public figure, dengan hebatnya dia menulis twit :

 

Jangan gunakan momen ini untuk nanya kabar ke mantan. #TetapTenang #TetapMoveon

Gilanya, sampai tulisan ini ditulis, ada 780 retweet dan 111 love dari para rakyat Indonesia. Seriously, guys?
Alih-alih mencoba membantu meringankan beban korban, hal ini dijadikan bercandaan dengan gaya masa kini, supaya agar jangan gunakan momen ini untuk nanya kabar ke mantan? Tragedi pemboman = "momen ini"? Tak salah acara televisi di Indonesia rusak, karene memang mungkin otak sebagian penontonnya rusak, ga punya hati. Bayangkan, perasaan keluarga korban? Saya aja yang bahkan ga kenal korban sama sekali merasa kesel, pake bingit.

Bayangkan, ada teman SMP kalian yang meninggal, anggap X. Ada teman kalian yang lain, si Y, yang meng-twit “Jangan gunakan momen meninggalnya X untuk nanya kabar ke mantan apakah dia datang ke pemakamannya apa ga? #TetapTenang #TetapMoveon”

Percayalah, jika twit itu diketahui  orang tua dan keluarga X, mungkin Y akan dipukuli dan dengan segera menyusul X. Setidaklucu itu lho.

Terakhir, perilaku sebagian (besar) masyarakat Indonesia pada minggu ini mengingatkan saya akan perilaku sebagian orang saat Riau ditimpa bencana asap beberapa waktu yang lalu. Anda menemukan banyak sekali posko-posko galangan sumbangan dana, bukan? Dana tersebut digunakan untuk membeli masker dan juga pembiayaan berbagai usaha untuk segera menyelesaikan bencana asap tersebut.

Nah, saya ingin bertanya sebelumnya:

Apa yang sudah kalian sumbangkan untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana di Riau?

Jangankan 100.000 rupiah, sumbangan 5000 rupiah, tidak, 100 rupiah saja dari anda  akan sangat berharga waktu itu.

Jika anda sudah menyumbang secara diam-diam, baik sekali, semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat.

Jika anda tidak menyumbang, namun anda bersikeras berkata sudah peduli dan membantu saudara-saudara kita dengan foto terbaik anda menutup mulut atau menggunakan masker di luar negeri atau di tempat lain yang tidak ada asap dengan hashtag #melawanasap ditambah caption “4567 miles away doesn't stop me from being concern about my country. For those who wants to give donation, it can be done through: blablabla” tanpa menyumbang sepeser pun lewat link tersbut, saya harap Allah SWT membalas anda dengan pahala juga karena menyebarkan link untuk berdonasi walupun anda tidak berdonasi, atau at least, follower dan jumlah like yang banyak, bagaimana? Fair enough.

Pada panduan hidup agama Islam pun, tertulis, "Jangan katakan apa yang tidak kamu lakukan".

Bagaimana kalian mengajak orang untuk berdonasi tapi anda sediri tidak?
Bayangkan, jika 1000 likes di akun Instagram anda ditukar 100 rupiah per like-nya, anda sudah dapat menyumbang 100.000 rupiah yang akan sangat bermanfaat sekali untuk pembelian masker waktu itu.

Jujur saja, saya sendiri merasa sangat hina, saya tidak menyumbang satu rupiah pun pada waktu bencana asap tersebut. Itulah bedanya "simpati" dan "empati". Simpati adalah merasa kasihan tanpa berbuat apa-apa, sedangkan empati ditambah dengan tindakan nyata.

Itulah inti tulisan ini. Ingin tampil di social media sah-sah saja dan tidak ada salahnya dengan membuat hashtag dan mengganti profile picture, tapi jangan berhenti di situ saja, ikuti dengan kontribusi nyata. Kenapa saya panjang-panjang menulis tulisan ini dan mengurusi profpic dan status orang? Karena saya tidak ingin orang-orang berpikir bahwa mengganti profpic, membuat hashtag, atau membuat status saja dapat menyelesaikan masalah. Apa jadinya masa depan Indonesia kalau saat ada bencana semua orang merasa cukup berjuang dengan media sosial saja? Tidak ada yang membantu secara nyata. Ini tentunya pengingat khususnya bagi diri saya pribadi.

Terakhir, ada quotes yang pernah saya dengar dulu sewaktu zaman kuliah yang relevan dengan para pegiat atau mereka yang menyebut diri mereka “aktivis” generasi zaman sekarang ini.

“Lebih baik menyalakan lilin daripada hanya mengutuk kegelapan”

Well, sedikit penyesuaian,

"Lebih baik menyumbang 100 rupiah untuk membeli lilin daripada hanya selfie memegang lilin di luar negeri yang jauhnya 4567 miles dan merasa sudah "berjuang" dengan hashtag #MelawanAsap".

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

 

 

Tulisan ini juga dapat dibaca di blog pribadi penulis:

https://uqyauthor.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun