Membaca artikel ttp://edukasi.kompas.com/read/2013/04/08/08492234/Para.Pengungkap.Kecurangan.UN.Itu.Kini.Berjuang.Sendiri beberapa hari yang lalu membuat hati saya sedih, bukan apa-apa, ternyata memang benar adanya bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di level terbawah dunia, seperti apa yang pernah saya baca di http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia
Sengaja saya membuat tulisan ini pada tanggal 10 April 2013, sekitar 5 hari sebelum UN untuk level SMA dimulai, karena kalau saya buat tulisan ini sesudah UN, tentu saja nasi sudah menjadi bubur, tulisan saya ini hanya berisi sumpah serapah dan kekesalan yang tidak jelas tujuan penulisannya. Nah, barangkali, mungkin saja jika ditulis sebelum dimulainya UN, harapan saya, ada pihak berwenang yang membaca dan berani mengambil tindakan konkrit untuk menanggapi dan menyelesaikan masalah ini.
Mari saya ceritakan sedikit pengalaman pribadi di keluarga saya. Jum’at minggu lalu (5 April 2013), kebetulan orang tua saya sedang mengunjungi saya dan adik saya yang sedang menuntut ilmu di Bandung. Saya mahasiswa tugas akhir teknik Elektro ITB, sedangkan adik saya merupakan siswa kelas XII di salah satu dari lima SMAN favorit di Bandung. Percakapan dimulai saat adik saya berkata kepada saya dan orang tua saya, “Kak, masa di kelas Nabil yang ga beli soal UN cuma Nabil sama 4 orang temen Nabil doang? Yang lain pada ikutan patungan empat puluh ribu”.
Hmm, cerita-cerita semacam ini sudah sering saya dapatkan dari teman-teman saya sendiri yang merupakan lulusan dari SMAN-SMAN favorit di Bandung, tidak saya sangka saya mendengarnya dari adik saya sendiri. “Lha, terus Nabil mau beli juga?”, tanya saya. Untunglah jawabannya membanggakan hati saya, “Engga ah, dosa, lagian emang Nabil bego apa?!”. Sampai saat itu saya hanya tertawa dan masih tenang-tenang saja, yang penting adik saya tidak ikutan teman-temannya yang mengalami krisis percaya diri bahkan rela melabeli dirinya sendiri “saya idiot dan saya bangga dan saya mengeluarkan uang empat puluh ribu untuk melabeli diri sendiri bahwa saya idot dan saya bangga dan..” secara iteratif dengan ikut patungan empat puluh ribu membeli soal UN.
Memang, mungkin mereka membeli soal dan kunci UN selain karena ingin lulus, mereka ingin mendapat nilai UN yang baik karena nilai UN ini sekarang menjadi salah satu parameter siswa untuk dapat masuk ke Perguruan Tinggi, sebuah sistem penerimaan yang masih menjadi bahan lawakan bagi saya dan teman-teman saya. Kalau dapat dipastikan UN 100% berjalan tanpa kecurangan sama sekali ya masih bolehlah. Namun faktanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa UN selalu dipenuhi praktek kecurangan, kan kasihan pihak universitasnya yang menerima siswa yang sebenarnya bodoh namun nilainya baik karena curang saat UN. Teman saya yang merupakan salah satu calon mahasiswa berprestasi teknik elektro ITB pernah bercerita kepada saya, “Aing (bahasa Sunda : saya) ya Qy, waktu SMA peringkat UN tertinggi ketiga di sekolah, padahal biasanya aing selalu parallel 1, yang peringkat atas aing itu gara-gara dapet bocoran pas UN”. Tidak adil, kan?
Oya, tambah lagi, jika setelah tulisan ini di-post, adik saya dijauhi teman-temannya dan tidak diberi contekan, sungguh saya dan adik saya tidak peduli. Alhamdulillah adik saya peringkat 1 parallel di sekolahnya dan memang dari awal sudah berniat tidak akan mengikuti praktek kecurangan jahanam tersebut, jadi ya silakan saja! Lalu, bagi yang berasumsi “Ah, ini pasti yang nulis dulunya nyontek juga pas UN”. Pertama, saya tidak mau dibenci Allah SWT, karena di agama saya diajarkan, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (61:3)” . Kedua, Alhamdulillah di SMA saya dulu, MAN Insan Cendekia Serpong, tidak ada yang namanya praktek menyontek, bahkan di ujian harian sekali pun. Kirimkanlah sepuluh pengawas di setiap ruangan atau bahkan tidak ada sama sekali, saya jamin, insya Allah, siswa MAN Insan Cendekia Serpong tidak akan membuat sedih dan mempermalukan nama founding father kami, Prof. B.J. Habibie. Pernah, sekali siswa tertangkap bekerja sama saat ujian harian, teman-teman seangkatannya sendiri yang mengadili, dan yang menyontek berkeliling ke setiap kelas, baik angkatannya, maupun kakak kelas, mengaku di depan umum bahwa mereka menyontek, sembari menangis. Hukuman yang pantas, dipermalukan di depan umum.
Kemudian lanjut lagi, mengikuti rasa penasaran saya, saya bertanya lagi kepada adik saya “Bil, guru-gurunya tau ga?”. Nah, jawaban dari adik saya inilah yang sedikit banyak membuat saya menjadi kesal dan merasa harus mencurahkan hati saya lewat tulisan ini. Adik saya berkata, “Gurunya sih bilang kak, ya kalian jangan terlalu percaya sama soal-soal atau kunci-kunci yang beredar. Makanya, kalau bisa, yang pintar-pintar bantu-bantu ya teman-temannya yang lain saat ujian”.
Tunggu, saya yang salah dengar atau bagaimana sih? Guru yang seharusnya tidak hanya mengajarkan ilmu, namun justru lebih kepada akhlak dan perilaku kepada murid-muridnya, memperbolehkan kecurangan sistemik semacam ini? Guru yang seharusnya menjadi suri teladan malah menyuruh para siswanya saling memberikan jawaban dan bahu membahu saat ujian? Membiarkan murid-muridnya yang jelas-jelas bertindak salah dan tidak menegur mereka? Gila.
Kemana arah tulisan ini sebenarnya? Benar, yang ingin saya tekankan disini bukanlah bagaimana soal-soal UN dan kunci jawabannya bisa bocor. Biarkanlah bajingan-bajingan di luar sana yang mencari keuntungan dari sistem pendidikan di Indonesia ini mendapat ganjarannya di neraka kelak. Yang ingin saya tekankan disini adalah sikap para guru, ya, bukan hanya di sekolah adik saya di Bandung, namun juga di seluruh Indonesia. Saya kasih tau aja nih ya, sehebat-hebatnya dan seberapapun inginnya siswa mencontek, kalau di dalam ruangan ada pengawas, katakanlah dua orang saja, dan benar-benar mengawasi jalannya ujian, mengecek tidak ada yang membawa alat komunikasi ataupun coret-coretan contekan, tidak ada yang lirik-lirik, terlebih lagi para pengawas tersebut memberikan ancaman “siapa yang mencontek, kertas ujiannya dirobek, tidak lulus UN, dan harap mengulang tahun depan”, niscaya tidak akan ada yang berani mencontek, apalagi saling membantu dalam ujian. Oya, ngomong-ngomong, saya bingung, ada ga sih aturan tertulis “Yang bekerja sama saat UN dalam bentuk apapun ga lulus!”. Sehingga pada akhirnya siswa akan berpikir dengan adanya peraturan dan ancaman tersebut dan takut untuk melakukan tindakan mencontek. “Ah, percuma beli soal sama kunci, lha wong di ruangan pengawasannya ketat”.
Sedangkan, apa yang terjadi kalau guru-guru/pengawasnya sudah saling mafhum membiarkan “Ah, kita beli soal aja, pengawasnya juga udah sama-sama memaklumi kok”. Got my point? Disini letak permasalahannya. Guru harus sadar akan tugasnya sebagai pendidik. Bukan malah membiarkan yang salah. Siswa-siswa di Indonesia ini memang masih perlu dan harus diawasi seketat-ketatnya sehingga mereka tidak dapat melakukan tindak kecurangan meskipun seandainya sangat ingin. Oleh karena itu, saya tantang entah untuk menteri pendidikan, pihak berwenang, terlebih lagi seluruh guru di Indonesia ini untuk bersama-sama membuat komitmen memulai menghentikan praktek kecurangan berjamaah tersebut dengan melakukan pengawasan seketat-ketatnya, dimulai dari tahun 2013 ini. Yang saya takutkan, hal busuk ini jika tidak dihentikan akan terus menjalar ke generasi penerus kita, dan jangan pertanyakan mengapa kasus korupsi di Indonesia sebegitu banyaknya jika mental generasi penerusnya seperti ini.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, memiliki semboyan yang sudah saya kenakan di topi dan dasi saya semenjak SD, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan . Sebuah slogan yang membuat saya sedari kecil sudah menetapkan bahwa guru adalah sosok yang begitu mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa, julukannya.
Teruntuk para guru yang masih bermental picik di seluruh Indonesia, tidakkah kalian malu terhadap almarhum Ki Hajar Dewantara? Bukannya memberikan contoh yang baik, malah memberi semangat dan memberi dorongan bagi para siswanya untuk melakukan hal yang salah? Mau kalian membuat almarhum Ki Hajar Dewantara menangis di alam sana? Tidakkah kalian merasakan tanggung jawab dan amanah yang begitu berat dengan gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” kalian? Bahkan, masih pantaskah kalian kami sebut “pahlawan”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H