Tidak ada yang Allah Azza wa Jalla uji jauhkan atau dekatkan, melainkan di situ ada kebaikan. Tidak ada yang Allah Azza wa Jalla uji tunda atau segerakan, melainkan di situ ada kebaikan.
Tidak ada yang Allah Azza wa Jalla uji kesenangan atau keprihatinan, melainkan di situ ada kebaikan.
Tidak ada yang Allah Azza wa Jalla uji pisahkan atau pertemukan, melainkan di situ juga ada kebaikan. Sebab Allah Azza wa Jalla lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita, sedangkan kita tidak pernah mengetahuinya.
Jadi, senantiasalah berprasangka baik pada segala yang sudah menjadi ujian dan ketetapan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali." (QS. Al-Anbiya: 35)
Ikrimah rahimahullah pernah mengatakan: "Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar."
Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti silih berganti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla yang menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari betapa nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Tuhan Yang Maha Rahmat dan Mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah Azza wa Jalla. Merendah merengek hanya di hadapan Allah Azza wa Jalla. Bersimpuh pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya'qub saat lama berpisah dengan putera tercinta Yusuf 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku." (QS. Yusuf: 86)
Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah Azza wa Jalla Yang Maha Hakim (bijaksana) itu: "Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis" (QS. An-Najm: 43)
Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji.Â
Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman: "Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman." (HR. Tirmidzi)
Jangan sampai  seseorang larut dalam kesedihannya, sehingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuatnya tidak mau berikhtiar untuk mengubah keadaan untuk meraih ridha Allah Azza wa Jalla. Bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari rasa sedih dengan senantiasa berdoa: "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana dan rasa sedih..." (HR. Bukhari dan Muslim)