Ia menambahkan daun jeruk ke dalam tumisan, mengaduk perlahan agar aromanya keluar sempurna. Setelah bumbu matang, ayam yang telah direbus dimasukkan ke dalam wajan. Suara desis bumbu dan ayam bercampur menjadi simfoni yang menenangkan hati Budi.
Dengan hati-hati, ia menuangkan sedikit air kaldu ayam ke dalam wajan agar bumbu lebih meresap. Ia menambahkan garam secukupnya, mencicipinya dengan sendok kecil. Senyumnya mengembang, rasanya sudah mendekati buatan ibunya.
Setelah 10 menit memasak, Ayam Lado Hijau itu akhirnya matang. Warna hijau cabai yang cerah berpadu sempurna dengan ayam kampung yang empuk. Budi menyajikannya di atas piring saji, lalu duduk di ruang makan dengan penuh haru.
Ketika ia mencicipi suapan pertama, kenangan masa kecil langsung menyeruak. Rasa pedas, segar, dan gurih mengingatkannya pada ibunya yang selalu memasak dengan cinta. Mata Budi basah, ia berbisik pelan, "Bu, aku berhasil."
Sejak hari itu, Budi sering memasak Ayam Lado Hijau untuk dirinya sendiri, tetangga, dan teman-temannya. Masakan itu bukan sekadar hidangan, tetapi simbol cinta dan kenangan yang tak tergantikan. Bagi Budi, setiap gigitan adalah cara untuk tetap merasa dekat dengan ibunya, meski ia telah tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H