Hari ini, 19 September 2011 adalah hari pertama Farina menjalani rawat inap di salah satu Rumah Sakit di daerah utara kota Jakarta. Kondisi Farina saat itu tak seperti kebanyakan orang sakit pada umumnya yang hanya terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Farina masih bisa berjalan, tertawa, memainkan laptopnya dan sibuk bercanda dengan teman-temannya melalui handphone. Tak sedikitpun terlihat gurat ketakutan di wajah wanita lajang berusia 25 tahun itu. Seolah tak terjadi apa-apa, padahal esok hari Farina akan menjalani operasi pengangkatan tumor di payudara sebelah kirinya atau bahasa kedokteran menyebutnya Fam Sinistra. Bukan penyakit sepele, tapi Farina yakin tumor yang ada padanya masih jinak sehingga tak ada yang perlu ia khawatirkan. Apalagi ia tak merasakan sakit sedikitpun, kondisi badannyapun normal, hanya saja ia merasakan ada benjolan yang cukup besar disalah satu bagian tubuhnya itu.
Keesokannya di pagi hari, suster jaga mendatangi kamar Farina untuk memasang infus di tangan kirinya. Guratan rasa sakit mulai terlihat di wajah gadis manis itu saat jarum suntik dan sebuah pipa kecil di tusukkan ke dalam kulit tangannya. Seperangkat alat dipasang di pergelangan kakinya dan dijepit di bagian dadanya untuk mendeteksi jantung Farina. Baju Farina pun diganti dengan baju khusus pasien berwarna biru. Sekarang ia sudah benar-benar terlihat seperti orang sakit, tak dapat bergerak bebas apalagi berjalan-jalan seperti biasanya. Suster meminta Farina untuk tidak makan dan minum sampai selesai operasi nanti siang. Sebuah gelang karet warna pink bertuliskan identitas pasien diikatkan dipergelangan tangan Farina. Menurut suster supaya pasien tidak tertukar saat operasi nanti. Ada-ada saja, pikir Farina.
Entah kenapa tiba-tiba rasa takut mulai menyerang Farina. Berbagai pikiran negatif hinggap di otaknya. Enam jam lagi ia akan berada di alam bawah sadar. Dokter akan memberikan bius total, lalu membedah salah satu bagian tubuhnya, mengangkat tumornya, dan bagaimana jika ia tak bangun lagi? Tak ada satupun keluarga Farina yang tahu bahwa hari ini ia akan menjalani operasi. Farina sengaja tak memberitahukan keadaannya. Bagaimana jika ia benar-benar tak bisa melihat keluarganya lagi? Farina mulai termenung. Bagaimana pun ia harus bersiap-siap menghadapi semua hal yang mungkin akan terjadi. Farina mengambil handphone nya dan mencoba menulis status di salah satu jejaring sosial untuk meminta doa dan memohon maaf kepada teman-temannya. Ia juga menggunakan layanan internet banking untuk mentransfer sejumlah uang ke salah satu temanya, ia ingat bahwa ia belum membayar tagihan pulsa bulan ini. Ia pun menulis di secarik kertas, ditujukan untuk kekasihnya Yans "Sayang, jika aku tak bangun lagi tolong sampaikan ke keluargaku untuk mengklaim asuransiku senilai 200 juta. Bisa dipakai untuk biaya kuliah adikku. Aku mencintai mereka dan aku juga mencintaimu". Farina melipat surat kecil itu dan meletakkannya di dalam saku jaket milik kekasihnya itu. Mungkin itulah yang akan semua orang lakukan jika mengetahui dirinya akan menemui ajal.
Enam jam kemudian, beberapa suster kembali mendatangi kamar Farina, kali ini Farina akan dibawa ke ruang operasi. Yans, kekasih Farina yang setia menemani Farina membantu mendorong tempat tidur Farina menuju ke ruang operasi di ujung gedung Rumah Sakit itu. Ketegangan dan kecemasan juga nampak di wajah Yans. Sesampainya di ruang operasi, Yans menunggu di luar ruangan sementara Farina dibawa ke ruang tunggu operasi. Di ruang tunggu itu, sudah ada dua pasien lain yang juga akan dioperasi. Sekarang Farina tau mengapa suster memberikannya gelang warna pink. Farina menyapa wanita paruh baya yang ada disampingnya dan menanyakan penyakitnya. Wanita itu menceritakan bahwa ia mengalami pembengkakan kelenjar getah bening di bagian punggungnya. Tapi wanita itu terlihat lebih tegar daripada Farina yang mulai berkeringat dingin. Sesaat kemudian, wanita paruh baya itu dibawa masuk ke ruang operasi.
Setelah 30 menit menunggu , sekarang giliran Farina yang dibawa masuk ke ruang operasi. Jantung Farina pun berdetak semakin kencang. Suster meminta Farina untuk melepas semua pakaian dalamnya. Temperatur udara yang sangat dingin di ruang operasi membuat lututnya gemetaran. Satu per satu team medis datang ke ruangan itu. Mereka mengajak Farina ngobrol dan bercanda, mungkin supaya Farina tidak tegang. Tapi bunyi alat kardiograf semakin membuat Farina tegang. Salah satu dari mereka memasang selang oksigen di hidung Farina, bau oksigen membuat Farina mual. Team medis yang lainnya menandai bagian tubuh Farina yang akan dibedah mengunakan spidol hitam. Mereka terus mengajak Farina mengobrol, meminta Farina untuk menceritakan mimpinya saat ia berada di alam bawah sadar nanti. Seketika Farina ingat dengan cerita-cerita di televisi, jika dalam keadaan sekarat,biasanya mereka akan bermimpi berada di sebuah ruangan gelap seorang diri dan memanggil manggil nama seseorang. Ah, itu cuma cerita televisi yang suka berlebihan, pikir Farina. Ia tak ingin bermimpi apapun, ia hanya ingin bisa bangun lagi nanti.
Kemudian datanglah dokter spesialis anastesi. Dia yang akan membius Farina. Tapi dokter spesialis bedah umum yang akan mengoperasi Farina belum terlihat. Itu artinya operasi Farina belum akan dimulai. Farina menggunakan kesempatan ini untuk berdoa dan terus berdoa. Sesaat kemudian datanglah dokter bedah itu. Farina mengenalinya walaupun dokter itu mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Jantung Farina semakin berdetak kencang. Ia benar-benar khawatir jika tak bisa bangun lagi. Apalagi mereka berkata bahwa infus yang dipasang di tangan kiri Farina salah, seharusnya dipasang di tangan kanan karena operasi akan dilakukan di bagian kiri tubuh Farina.
Farina melihat dokter anastesi itu menyuntikan sesuatu ke selang infusnya. Ia yakin yang disuntikan itu adalah obat bius. Farina memandangi satu persatu team medis yang mengelilinginnya, menatap lampu-lampu besar yang ada tepat diatas badannya juga mendengar bunyi alat-alat medis di sekelilingnya. Bibir Farina terus bergumam membaca doa di dalam hati untuk menguatkan imannya. Ia tak hanya berharap agar bisa bangun lagi tapi juga agar hasil laboratorium terhadap tumornya nanti adalah negatif kanker.
Detik demi detik berlalu, seketika Farina merasakan tubuhnya mulai lemas, semakin lemas dan ia pun tertidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H