Prolog
Saat masih usia remaja, manusia mempunyai kehidupan yang berbeda dengan usia-usia masa kecil ataupun dewasa. Di waktu itu, ada semangat jiwa untuk proaktif dan berparsitipastif dengan mode yang sedang berkembang, baik dikalangan kota maupun di pedesaan. Meskipun pada dasarnya, dua golongan ini mempunyai interpertatif berbeda tentang fungsi mode itu dimunculkan, akan tetapi dua golongan kelompok manusia ini menjadi penting karena ia sebagai simbolisme lingkungan yang hadir di waktu itu dan menjadi penyebab dalam mempengaruhi terbentuknya watak dan karakter manusia berkembang dari waktu ke waktu hingga berputar kembali dari awal waktu.
Sebelum jauh menoropong perbedaan interpertatif dua jenis golongan manusia di atas, sebaiknya kajian ini berfokus pada topik nalar budaya Indonesia pada umumnya, yaitu mengaca kembali strukturalisme trasendental pola komunikasi budaya daerah Indonesia, untuk dirumuskan konsepsi ‘budaya nasional’ dan menjembatani perbedaan yang mendalam antara keadaan kota dan desa. Dalam studi kasus umumnya, rumusan budaya adalah hal penting sebagai identitas bangsa, persepsi ini dibangun atas sikap kekhawatiran atas cagar budaya yang mulai dilupakan dan dipertentangkan keberadaannya, karena perhatian pemerintah kurang dalam menjaga eksistensinya. Di sisi lain, persepsi itu muncul karena latar belakang yang berbeda, seperti keadaan kota biasanya dibahasakan sebagai hal yang bising dan keadaan desa selalu diceritakan dengan keadaan yang nyaman serta tentram; ruang georgrafis perkotaan penuh dengan gedung-gedung tinggi, sedangkan di desa selalu dipenuhi dengan pepohonan, cocok-tanam, gunung asri dan keindahan alam lainnya. Dengan kata lain, karena sifat lingkungan kota adalah masyarakat indrusti yang mempunyai gaya persaingan hidup ketat dan mahalnya biaya hidup, sedangkan sifat lingkungan desa yang nyaman, membentuk manusianya untuk bisa menikmati hidup dengan nikmat serta saling bantu-membantu agar rukun dan tentram.
Spektrum yang terbentuk di atas adalah hukum alam yang mencoba dirumuskan oleh para peniliti budaya pada umumnya. Yakni budaya yang dihasilkan selalu bermula dari keadaan geografis alam; corak berpikir manusia pun juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Hingga manusia pada tahap selanjutnya, mencoba melepaskan diri dari pengaruh trasendetal alam-lingkungannya untuk mengobjektifikasi karya manusia dan alam. Â Perwujudan dirinya tak lebih seperti melihat wajah dalam air jernih yang mempunyai bias-bias jarak cahaya dan waktu.
Dari problematika semacam inilah, bias-bias jarak tersebut harus diobjektifikasikan ke dalam arti yang rasional; dari penerjemahan nilai-nilai internal budaya ke dalam kategori objektif. Sehingga kita akan meninggalkan dominasi liyan ke dalam pemaknaan budaya di sini.  Dengan pendekatan semacam ini, penulis mencoba untuk menguraikan kembali, bagaimana budaya populer mencoba menggatikan posisi budaya tinggi berasal dari budaya masyarakat, dan seperti apakah budaya  berfungsi dengan baik sebagai identitas dalam skala nasional atau ia hanya mati tergerus oleh zaman? Atau apakah budaya  sesuai dengan ideologi negara yang menjujung tinggi persamaan ras dan warisan kultur masa lalu?
Memaknai Budaya  Dalam Nalar Etik Kulturisme
Pada saat ini, manusia Indonesia lebih menyukai gaya korea dari pada gaya barat, lebih menyukai musik beraliran Ceryy Bel daripada campur sari atau dangdut. Dan orang yang tidak bergaya seperti ikon itu, dianggap ketinggalan zaman, begitu juga aliran musknya, dianggap selera kuno. Pengasumsian ketinggalan zaman ini telah mengakar dalam nalar masyarakat desa, yang bangga jika dianggap mengkuti trend masa kini atau orang kota.
Padahal, idealime manusia modern adalah mampu menjaga tradisi masyarakat lama dan mengembangkannya sebagai budaya identitas bangsa, serta mampu mengambil gejala-gejala kebudayaan baru yang mencoba hadir dalam klutur masyarakat Indonesia, kemudian dienkulturasikan agar bisa berfungsi menjadi identitas bangsa dan kebanggan masyarakat Indonesia pada umumnya, serta mempunyai nilai pendidikan tinggi kepada generasi bangsa (artikel budaya dan manusia).
Jika kita mengacu pada konsep budaya dalam pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, maka mengikuti trend yang berkembang tanpa mengetahui maksud dan tujuannya serta tidak mempunyai kesiapan mental yang kuat dan dibarengi kemampanan teknologi, maka pembebekan semacam itu adalah racun dalam pembangunan budaya bangsa dan merusak nilai-nilai etik yang dikandung oleh budaya daerah. Oleh karena itu, beliu memberikan unsur-unsur pembentuk budaya modernis : pertama, kemajuan teknologi, kedua, kemajuan ekonomi, ketiga, ketrampilan organisasi, keempat, ilmu pengetahuan. Unsur ini diperlukan agar masyarakat Indonesia yang kultur pada umumnya adalah masyarakat agraris dengan kepercayaan mitos tinggi menjadi rasional dalam mengambil dinamisme barat sebagai sumber kemajuan.
Hal ini juga diungkapkan juga oleh Poerbatjaraka dan Ki Hajar Dewantara, bahwa pembangunan budaya nasional bangsa Indonesia harus menggunakan budaya asli suku-suku Indonesia dan menjadikannya bermutu kualitasnya, yakni meski kulitnya berasal dari luar, tapi esensinya tetap menjaga nilai-nilai budaya asli Indonesia. Hal dirujuk untuk dijadikan konsep-rumusan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengkonsepan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi penting nilainya, agar setiap warga Indonesia secara individu mampu menyikapi budaya populer yang habis ditelan masa. Mereka tidak lagi tergiur oleh tawaran media massa tentang keunikan dan kecantikan mode dari indrustri. Lihat sejarah masa lalu, saat masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyukai lagu pop dibandingkan lagu daerah, menyukai lagu rock dibandingkan lagu nasional. Sehingga standar masa 70-80 tahun adalah menyukai musik beraliran rokc, dan di tahun 1980-1990 berganti budaya musik pop. Sehingga banyak penyanyi keluar dengan album solonya dengan music pop, seperti Nike Ardila, Poppy Mercury, dll. Â Begitu juga dengan dunia perfilman, pada dekade 1980 masyarakat Indonesia yang awalnya menyukai produk film negeri beralih menyukai produk film dari barat. Dan di era ini pula, secara masif, para budayawan dan intelektual Indonesia mencoba mengusung kembali perfilm-an Indonesia dengan membatasi perfilm-an barat untuk masuk ke dalam bioskop Indonesia. Dari kasus semacam ini, perlu kita merefleksikan kembali budaya populer dengan menghadirkan nilai etika budaya daerah sebagai onto-kritik mendidik mental masyarakat Indonesia menjadi orang-orang yang tetap agraris, sopan, berpendirian, berwajah kalem, berwatak demokrasi dan berparadigma pancasila-bhineka tunggal ika.
Tujuan lain adalah agar generasi mendatang mampu menyerap ideologi bangsa yang sedikit demi sedikit mulai hilang dan mampu mencetak masyarakat indrutialis yang mempertimbangkan moral-etis bangsa berbudaya sebagai bentuk modernis zaman. Dan untuk menghindari kejadian yang menyedihkan, yaitu hilangnya kesadaran tentang kebudayaan daerah sebagai cagar alam abadi.
Tapi jika arti budaya ditarik lebih jauh berupa hasil dari budi dan daya manusia yang digunakan untuk menghadapi lingkungan di mana manusia itu hidup, maka budaya itu menghimpun macam-macam prilaku-prilaku manusia yang berbeda dan disepakati. Budaya bisa berupa ilmu pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, pola-pola yang ditetapkan oleh masyarakat berkembang. Dengan definisi ini pula, budaya dengan ciri-ciri umum, seperti dikatakan oleh Suhandi ciri-ciri tersebut adalah : pertama, budaya yang diajarkan, kedua, budaya yang diwariskan, ketiga, budaya sebagai identitas masyarakat tertentu, keempat, budaya dikembangkan dan berubah, kelima, budaya diintregasikan nilai-nilainya, eksistensi budaya mempunyai unsur-unsur dan nilai sama sebagai hasil dialektika manusia antar manusia dan lingkungannya dan nalar budaya eksis dengan adanya satu tujuan, yaitu pembentuk identitas suatu masyarakat majmuk dan tata-cara etika yang harus dipatuhi oleh kelompok tanpa harus dituliskan sebagai tata-tertib, tapi sebagai hal normatif menjaga keberlangsungan sistem modern dan klasik.
Pemaknaan budaya sebagai identitas di atas, memberi batasan dengan jelas kepada manusia pada umumnya agar bisa mengenali budaya daerah masing-masing untuk menjaga warisan di era modern yang mulai digantikan cara pandang teknologi dan trend mode. Yang nilai etika ditawarkan dari trand mode adalah kemegahan kontruks budaya, eklusif, berkasta tinggi, modern-negatif dan berdaya jual tinggi. Â Padahal jika diamati dengan lanjut, trend mode yang dijadikan budaya pada masa tertentu adalah produk industri pabrik yang diiklakan oleh media masa.
Di sana terdapat unsur sistem komunikasi sosial-media yang menjadikan trend mode itu menjadi topik tranding. Sehingga terjadi hubungan dualisme sebagai barang pasar dan produk doktrinal pabrik yang mesti dikonsumsi. Dan jika disebut istilah topik tranding tersebut, maka tergambar adalah hal yang bernilai dan bergengsi. Oleh kaca mata sosial, sebagai pertanda orang yang berduit dan mengikuti zaman.
Tapi jika mau meminjam analisanya Poerbajaraka, Ki Hajar Dewantoro, Suhandi dari definisinya di atas, kita kan menemui bahwa trand mode atau budaya populer tidak tumbuh selaras dengan norma-norma  resmi kebudayaan tinggi dan etika masyarakat-berbudaya elit. Tapi hasil dari dialetika berbagai lembaga, perusahaan industri dan komunikasi masa. Maka bagi Umar Mukhayam dan Kleden kebudayaan populer akan bertahan di mana selera masyarakat tidak lagi condong untuk mengambilnya sebagai mode kehidupannya.
Di sinilah pentingnya nalar kultur itu ditumbuhkan dalam kesadaran manusia Indonesia agar mampu menjembatani bias-bias historis dan bias modernis sebagai proses enkulturasi budaya yang dianggap sesuai etika budaya asli Indonesia. Jika penerapan kesadaran nalar kultur gagal disosialisasikan ke masyarakat pada umumnya, setidaknya ada refleksi kembali tentang pendidikan yang disistemkan pemerintah untuk membentuk manusia berjiwa imtaq dan iptek.
Mengenkulturasi Nalar Budaya  dan Proses Tranformasinya
Dalam ideolgi negara, kesatuan bangsa Indonesia adalah tujuan utama, sehingga penyatuan bahasa Indonesia wujud proses kesatuan bangsa itu terjamin. Jika penyatuan bahasa Indonesia telah luntur dalam kesadaran masyarakat Indonesia digantikan bahasa Alay dan bahasa asing, proses seperti apa lagi untuk mengidealkan ideolgi negara ini eksis dalam posisi sistem negara?
Dalam sub judul di atas, pemaknaan budaya populer dalam nalar kultural, menjadi penting posisinya karena pengintregalan nalar konsumtif budaya populer bisa dijembatani dengan nalar kultural budaya tinggi untuk dienkulturasi ke dalam budaya modernis yang bersifat integral-kultural.
Oleh karena itu, meminjam logika Husamah dan komunikasi antar budaya dijelaskan perubahan dalam nalar masyarakat primitif ke modern harus ada persiapan mentalitas pembangunan agar perubahan yang dilakukan tidak terseok-seok dalam fatalitis; menyerah kepada keadaan dan bergerak tanpa alur yang buram-membebek.
Dengan logika semacam itu, manusia pada umumnya akan memilih dua hal yang dijadikan standarisasi untuk mengambil budaya baru ke dalam budaya lama. Pertama, mengenali unsur budaya baru untuk mendedah nilai-nilai yang sesuai dengan budaya lama dan sesuai dengan mentalitas pembangunan. Kedua, unsur-unsur yang menghambat dan mengurangi kemampuan dalam menghadapi pembangunan.
Pengenalan dua unsur di atas adalah titik tolak mengenkulturasi budaya populer ke budaya tinggi agar budaya dari luar tidak semerta menghapus nilai-nilai bangsa yang telah dibangun oleh nenek-moyang dan pejuang bangsa. Agar mentalitas masyarakat agraris tidak tergantikan posisinya dengan mentalitas masyarakat industri maka mendidik mereka dengan ilmu pengetahuan teknologi menjadi keharusan dicanangkan pemerintah untuk menghindari sedini mungkin lupanya generasi bangsa akan identitas negaranya pada awalnya. Tapi bila tidak disiapkan ilmu pengetahuan teknologi dalam masyarakat agraris, realita yang akan terjadi adalah pengaumsian generasi bangsa terhadap budaya daerah sebagai hal yang terbelakang dan tidak mengikuti zaman. Dan nalar etika budaya asli tergantikan dengan nalar industri vulgar serta sekuler.
Lalu, proses ini akan mengalami difrensiasi nalar structural. Bila di kalangan kota akan mengelolah nalar ekonomi untuk didomestifikasi ke dalam budaya tinggi, bila dikalangan pedesaan akan mengelola nalar kepercayaan untuk bisa sejajar dengan nalar modernitas. Selanjutnya adalah tugas sistem sosial yang akan menggerakan dua ide yang berbeda ini agar bisa berklaborasi untuk menyatukan ketegangan ide-realitas berbeda.
Bila hal ini digunakan untuk memandang realitas sekarang, akan menemukan budaya populer sekarang adalah bahasa alay, musik ala cery bel, perfilm-an horor-pasaran, horor-komedian, cinta SMA, vokalis jadi artis, mode pakaian ala korea, style rambut ala korea, celana pensil, pacaran harus ciuman, kawin-cerai artis, guru harus s-1, menjadi fenomena yang menunjukan bahwa nalar masyarakat agraris Indonesia mulai berganti menjadi nalar barat-sekuler. Teknologi yang menguasai jiwa pemuda menuntut mereka mengikuti persaingan industri yang cepat-silih berganti.
Bagi saya, fenomena pemuda-pemudi berpacaran di atas berawal dari sistem kontrol sosial telah hilang identitasnya dikarenakan budaya asli Indonesia telah hilang fungsinya sebagai media pembelajaran akhlak manusia terdidik dan kebanggaan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah berfokus terletak pada kuantitas jumlah lulusan, bukan pada kualitas lulusan yang mandiri dan kreatif. Â Ada semacam endapan nalar yang berkembang bahwa sekolah hanya mencari ijazah, bukan mencari ilmu sebagai alat penting untuk bisa eksis dalam perkembangan dunia.
Banyak dari lulusan SMA, SMU, SMK menjadi pekerja bukan menciptakan pekerjaan. Sering menganggap penguasaan bahasa asing sebagai pencitraan tertinggi dalam strata masyarakat, dan dianggap murid yang pintar dalam skala umum. Padahal jika kita mengacu pada logika Ahmad Amin dalam menjelaskan pergerakan masyarakat Arab-jahili ke Arab Islami ada persiapan matang yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw., untuk membentuk manusianya bisa menerima perubahan yang sesuai dengan kemajuan zaman. Di sana pendidikan yang mementingkan kesadaraan individu terhadap budaya, agama, politik, ekonomi, sistem dan ilmu. Sehingga para sahabat yang mewakili Nabi mampu menjadi pengganti transformasi sosial budaya jahili ke Islam, meskipun pada akhirnya pergantian sistem khalifah ke sistem monarki adalah arabisasi masyarakat ke seluruh alam yang menyebabkan bencinya sebagian orang Ajam ke orang Arab.
Oleh sebab itu, budaya populer di atas harus dicari unsur-unsur yang sesuai dengan mentalitas bangsa, jika tidak ada, maka enkulturasi budaya yang berkembang di era ini tidak perlu. Tapi jika ada, mendudukannya dalam sebagai budaya modern menjadi perlu karena itu bisa menjadi identitas baru bangsa Indonesia.
Dari sekian budaya populer yang berkembang saat ini, unsur-unsur persamaan dengan budaya tinggi ada dalam dunia perfilm dan musik. Tapi untuk masalah bahasa adalah fenomena zaman yang hadir sebagai pertanda generasi dalam menciptakan kode-etik bahasa anak muda, karena bahasa adalah symbol masa tertentu. Seperti bahasa alay yang hadir di masa sekarang adalah simbol karakter pemuda masa sekarang. Bukan berarti bahasa itu diterima, tapi dikritisi ulang, karena bahasa alay tidak hadir dengan karakter yang jelas dan penggunaan bahasa tersebut tidak bisa ditarik lebih jauh ke dalam struktur bahasa daerah atau bahasa nasional, hingga akhirnya menunjukan pola pemuda yang ambigu. Tapi jika Ia hanya dilihat sebagai fenomena dinamika kehidupan zaman pergerakan, maka ia adalah salah satu pola kecendrungan individu yang ditenarkan melalui media masa sebagai trend baru masa itu, ia hanya diikuti oleh mereka yang mengagap bahasa alay itu suatu yang menarik dan unik. Maka tak heran jika bahasa alay mendapat kritik banyak dari generasi masa lalu; 1960-1990. Hal ini disebabkan tidak ditemukan fenomena bahasa alay dengan secara frontal dan masal pada masa lalu, tapi melalui filter etika kultur dan sistem pemerintah yang ketat, beda dengan sekarang, kemajuan sistem teknologi  dan media masa yang bebas membuat pemberitaan hal-hal unik menjadi cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia yang mengerti bahasa iklan tersebut.
Epilog
Setiap masa mempunyai logika masing-masing, begitu juga fenomenanya. Tranformasi yang terjadi disela-sela masyarakat sering membuat manusia mendapat tamparan keras karena sering terjadi kontra dengan etika di mana sejarah manusia ia jalani. Bagi mereka yang hidup di masa reformasi akan berbeda dengan mereka yang hidup di masa kolonial, otoriter dan demokrasi seperti masa sekarang. Setiap masa mempunyai pembenarannya masing-masing, hanya saja, karena masyarakat hidup mempunyai ideolologi negara yang patut dipatuhi sebagai sebuah sistem, maka penyelarasan nilai etik dan paradigma nasionalis menjadi garis tengah untuk menanamkan kesadaran dalam memahami bangsa di mana mansuia itu hidup. Dengan menjaga falsafah bangsa, maka bias-bias sejarah dari masa ke masa bisa diobjektifikasi melalu pendedahan nalar strukturalisme transedental sebuah masyarakat. Karena di sana ada totalitas ilmu humaniora yang menjaga nilai sebuah budaya bisa eksis di zama modern.
Oleh karena manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup, di mana alam dirinya berkembang, di mana tempat mental dirinya di didik, maka berkembangnya dan kemunculan bahasa sebagai simbolisasi dirinya adalah sesuatu yang maklum, hanya saja, realitas semacam itu tidak boleh semerta membuat kita melalaikan dan meninggalkan tradisi dan falfsafah bangsa Indonesia dibangun. Sehingga kecintaan terhadap warisan budaya –cagar budaya— tidak pernah luntur oleh lekang masa dan waktu, serta mampu mengobjektifikasi kedudukannya dipanggung ilmu sebagai hal yang gejala objektif dan konkrit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H