Mohon tunggu...
Nur Wahyuni
Nur Wahyuni Mohon Tunggu... -

Berusaha menulis artikel yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Selamat Jalan My Beautiful Grandma

17 November 2012   12:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek merupakan ibu dari ayah dan ibu kita. Tak banyak orang yang masih bisa bersama neneknya ketika beranjak dewasa. Aku beruntung karena masih bisa bersama nenek hingga usia 19 tahun. Mulai dari SD sampai SMP aku tinggal di rumah nenek. Kami hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang ukurannya cukup besar. Nenek selalu tidur pukul delapan malam oleh karena itu tidak ada yang menemaniku untuk belajar ataupun menonton televisi di ruang tengah. Sebenarnya aku merasa takut ketika harus mengerjakan tugas dan menonton televisi sampai larut malam karena rumah nenek cukup besar dan jarak dari ruang tengah ke kamar tidur lumayan jauh. Terkadang jika mendapati film horor, aku akan langsung mematikan televisi dan berlari ke kamar nenek sambil memanggilnya.

Ketika nenek semakin tua banyak sekali perubahan yang terjadi padanya. Kami tidak lagi tinggal di rumah nenek. Nenek tinggal di rumah anak-anaknya secara bergantian. Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan nenek karena usianya yang semakin bertambah. Nenek juga semakin pikun. Hampir setiap lima menit sekali nenek mengajukan pertanyaan yang sama kepadaku. Terkadang aku merasa kesal karena nenek terus saja bertanya dan tidak bisa diam. bahkan nenek mulai buang air kecil dan buang air besar sembarangan. Itu membuatku semakin pusing. Selain itu nenek juga harus dimandikan, kami khawatir nenek akan terjatuh di kamar mandi jika mandi sendiri. Hal itu terjadi ketika aku memasuki sekolah menengah ke atas. Ayah dan ibuku selalu mengingatkan bahwa aku tidak boleh merasa kesal bagaimanapun beliau adalah nenekku dan tidak ada yang tahu kapan nenek akan pergi meniggalkan dunia ini.

Ketika lulus SMA aku melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas swasta di Jakarta. Tak lama kemudian nenek juga menyusul, kami tinggal di rumah paman. nenek sulit berkomunikasi dengan orang lain karena nenek tidak bisa berbahasa Indonesia. Nenekku hanya bisa menggunakan bahasa daerah. Selama di rumah paman, nenek dirawat oleh seorang wanita paruh baya. Aku pun mengajari wanita yang merawat nenek beberapa kata-kata dasar seperti makan, minum, buang air kecil, buang air besar, mandi, dan beberapa jenis makanan. Ketika libur aku yang akan memandikan dan memberi nenek makan. Aku juga ikut menemani nenek yang berjemur di pagi hari. Melihat kondisi nenek yang seperti bayi kembali, aku semakin sedih dan rasa takut kehilangan nenek mulai muncul. Aku yang pernah kesal melihat perilaku nenek dulu mulai menyesali hal itu. Mungkin saat itu aku masih berpikiran seperti anak kecil dan belum mampu berpikir secara dewasa.

Selama nenek di Jakarta rasa sayangku padanya semakin bertambah. Setiap malam aku selalu mengajak nenek berkomunikasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalunya. Sesekali aku tertawa mendengar jawaban nenek yang tidak masuk akal. Aku juga sering membeli biskuit atau jenis makanan ringan lainnya sepulang kuliah untuk dimakan bersama nenek. Sekitar bulan maret 2012 kondisi nenek mulai memburuk dan keluarga kami sepakat untuk memulangkan nenek ke Makassar. Tak lama setelah menjalani perawatan dan keluar-masuk rumah sakit, nenekpun meninggal kan dunia ini. Hal yang aku sesali adalah tidak bisa menemani nenek disaat-saat terakhir. Masih banyak hal-hal yang belum aku lakukan untuk membalas jasa-jasa nenek selama beliau hidup. Buat kompasioner dimana pun kalian berada jika mengalami hal yang sama sepertiku, jangan pernah merasa kesal ketika melihat perilaku nenek kalian yang berubah seperti bayi kembali. Tidak ada yang tahu kapan tuhan akan mengambilnya. Rawatlah nenek kalian dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Kita baru menyadari betapa pentingnya sosok mereka ketika mereka tiada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun