Judul: Cinta Indonesia Setengah
Penulis: Kompasiana
Penerbit: Bentang Pustaka, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2013
Tebal: 258 Halaman
ISBN: 978-602-7888-64-7
Tanpa terasa 69 tahun sudah Indonesia merdeka. Sudah sepantasnya rakyat Indonesia bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan limpahkan lewat kemerdekaan yang telah lama diimpikan oleh para pejuang yang mendahului kita. Untuk memperjuangankan kemerdekaan, para pejuang berjuang dengan keras, tidak hanya tenaga dan pikiran, bahkan nyawa pun menjadi ancaman. Inilah saatnya rakyat Indonesia untuk menunjukkan rasa cintanya pada negara yang gemah ripah loh jinawi ini.
Buku Cinta Indonesia Setengah, merupakan kumpulan tulisan yang sebelumnya pernah dimuat secara berkala di Kompasiana, sebuah komunitas blogger dari berbagai belahan dunia, yang diisi oleh orang-orang Indonesia. Buku ini mencatat sejumlah gagasan tentang bagaimana seharusnya kita mencintai negara ini. Buku yang disusun Pepih Nugraha, founder Kompasiana ini mencoba mengetengahkan berbagai topik. Dari masalah nasionalisme, bahasa, pendidikan, ekonomi, pemberantasan korupsi, dan berbagai topik lainnya.
Ironi tentang pendidikan di Indonesia yang sering ditimpa berbagai masalah dibahas Adolf Nugroho dalam tulisan berjudul Refleksi Pendidikan Indonesia. Dalam tulisan ini, Adolf menyampaikan gagasannya tentang dunia pendidikan yang selama ini telah menjadi lahan bisnis. Menjadi industri yang melibatkan banyak kepentingan. Sekolah-sekolah menawarkan begitu mahalnya pendidikan untuk segala fasilitas yang diperoleh peserta didik. Sekolah internasional bermunculan, yang lama-lama mengubah cara berpikir, bahwa sekolah internasional selalu lebih unggul dibanding sekolah lokal. Mungkin tidak selalu benar, tetapi kenyataanya, label intenasional memengaruhi berpikir masyarakat. Bagi keluarga mampu tentu bisa menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut, tetapi bagaimana dengan masyarakat yang kurang mampu?
Inilah yang disayangkan Adolf Nugroho dalam tulisannya. Sekolah sudah menjadi sebuah gengsi, banyak orangtua malu jika anaknya tidak diterima di sekolah favorit. Sehingga, berbagai jalan pun ditempuh. Misal, dengan cara membayar uang pelicin agar anaknya diterima di sekolah favorit tersebut. Itulah yang ditemui Adolf Nugroho di lingkungan tempatnya tinggal. Ada orangtua tidak peduli dengan kemampuan sang anak. Yang ada dalam pikirannya adalah, yang penting anaknya masuk sekolah favorit (halaman 76).
Tentang budaya korupsi ditulis Ali Mustahib Elyas dalam tulisannya Korupsi di Sekolah Akankah Bisa Dicegah?. Ini sebuah tulisan yang akan menyentak kesadaran kita sebagai warga Indonesia yang selama ini menjunjung tinggi kejujuran. Di sekolah-sekolah, guru sering mengajarkan budi pekerti, akhlak yang baik, bahkan kejujuran harus diutamakan dalam menjalani kehidupan.
Namun, nampaknya kejujuran pun mulai terkikis oleh sesuatu yang bernama “kepentingan”. Demi sebuah tujuan yang sifatnya materi, kejujuran sudah benar-benar digadaikan. Dan, itu terjadi di lingkungan sekolah yang berperan penting untuk kemajuan bangsa ke depan. Korupsi tidak hanya terjadi di lingkup instansi pemerintahan, tetapi juga merembet ke sekolah-sekolah.
BPK mengendus adanya indikasi penyimpangan penggunaan dana BOS, BOP, dan block grant di beberapa SMP dan SD di Jakarta yang merugikan negara sebesar 5,7 miliar rupiah pada 2009. Bahkan, pada 2007 kerugian negara ini mencapai angka kurang lebih 28,1 miliar rupiah. Menurut Febri Hendri, peneliti senior ICW, hal itu bisa disebabkan oleh rendahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat atas pengelolaannya. Febri mengatakan bahwa pengelolaan dana BOS selama ini cenderung tertutup dan tidak mengikuti panduan pengelolaan dana BOS yang telah dibuat Kementerian Pendidikan Nasional.
Sebenarnya, menurut Ali Mustahib, selama ini banyak pengelola sekolah yang telah berusaha menyesuaikan dengan panduan pengelolaan dana BOS. Namun, justru di sinilah letak persoalan yang lebih rumit. Demi menyamakan dengan panduan tersebut, para pengelola sekolah berusaha untuk membuat Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan BOS serapi mungkin. Tidak peduli jika harus memalsukan laporan lengkap dengan lampiran kuitansi palsu sekalipun. Hal itu dilakukan agar SPJ tampak rasional dan pas dengan panduan. Kalau sudah seperti ini dijamin akan membuat para aparat hukum, ICW, dan KPK sekalipun akan menjadi salah tingkah. Mereka bisa merasakan adanya perampokan uang negara, tetapi tidak mudah menemukan pelakunya karena mereka tak menemukan alat bukti fisik yang wajib dipenuhi apabila akan memprosesnya melalui jalur hukum (halaman 199).
Kepedulian tentang bagaimana mencerdaskan generasi muda lewat membaca buku ditulis Wahyu Susilowati dalam Mengapa Berhenti Membaca Buku?. Wahyu Susilowati menyampaikan kepeduliannya, bahwa untuk menjadi generasi yang cerdas, rakyat Indonesia harus mau membaca buku. Karena, buku adalah sumber ilmu yang di dalamnya bisa ditemukan berbagai informasi yang tidak kita temukan di sekolah. Dengan membaca banyak jenis buku, informasi dan pengalaman kita akan bertambah. Membaca buku tidak hanya ketika seseorang menempuh pendidikan, di mana membaca buku atau mengunjungi perpustakaan dilakukan hanya karena tugas akademik. Tetapi, kapan dan di manapun kita harus tetap membaca buku untuk menambah informasi. Jika tidak karena tugas sekolah atau kuliah, apakah kita kita mau membaca buku?
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa kegiatan membaca buku sesungguhnya memiliki banyak manfaat. Berbeda dengan televisi, buku memerlukan aktivitas otak yang lebih intensif untuk berpikir lebih banyak. Dan, tentu saja membuat pembacanya otomatis akan menjadi lebih cerdas. Buku menyediakan informasi yang jauh lebih mendalam hingga sangat membantu dalam membedah sebuah topik bahasan yang sulit, bahkan lebih baik ketimbang diskusi berjam-jam untuk topik yang sama.
Kegiatan membaca diyakini oleh para ahli kesehatan sebagai terapi yang ampuh dalam mencegah kepikunan. Konsentrasi yang relatif lebih lama saat membaca dipercaya dapat memeperkuat otot-otot otak yang bertanggungjawab pada perbaikan kualitas memori seseorang (halaman 241).
Masih banyak informasi serta gagasan yang disampaikan oleh beberapa penulis Kompasiana dalam buku ini. Kita bisa lebih lengkap membacanya untuk mengetahui bahwa ada banyak cara untuk mencintai Indonesia dengan sepenuh jiwa. Bahwa Indoensia adalah negara yang memiliki banyak kekayaan budaya yang harus dijaga. Dan, tugas kita sebagai rakyat lah untuk menjaga dan melindunginya dari orang-orang luar yang berusaha merebut dan mengklaim kekayaan Indonesia. (*)
*) Untung Wahyudi, Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H