Judul: Aku Sesuai Sangkaan Hamba-Ku
Penulis: Agus Susanto
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 236 Halaman
ISBN: 978-602-1337-01-1
Memahami takdir dengan benar merupakan perkara yang tidak mudah. Banyak orang salah memahami takdir sehingga terjebak dalam perdebatan yang tak berujung pangkal. Satu golongan menganggap bahwa, takdir itu tidak ada. Apa pun yang terjadi terhadap manusia merupakan pilihan manusia itu sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Sedangkan golongan lain mengatakan bahwa, manusia ibarat boneka, setiap tindakan manusia merupakan takdir yang telah ditentukan Tuhan tanpa ada sedikit pun usaha manusia untuk menentukan pilihannya. Kedua pemahaman tersebut muncul karena adanya pemahaman yang salah terhadap takdir.
Dalam terminologi Islam, dikenal dua istilah untuk menjelaskan tentang takdir, yaitu qadha dan qadar. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai definisi keduanya. Qadha menurut bahasa berarti hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan. Sedangkan maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkan, menjalankan, dan menyelesaikannya. Dengan kata lain, makna qadha adalah mencipta (halaman 20).
Menurut Ibnu Faris, makna kata qadar adalah akhir atau puncak segala sesuatu. Secara istilah qadar berarti ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk sesuai dengan ilmu Allah.
Sementara itu, Muhammad ibn Ibrahim Al-Hamd menjelaskan, “Qadha dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya karena salah satunya berkedudukan sebagai fondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunan, yaitu qadha. Barang siapa bermaksud memisahkan keduanya, dia merobohkan bangunan tersebut.”
Berdasarkan berbagai dalil dan definisi tadi, pemaknaan terhadap takdir mencakup tiga pengertian. Pertama, adanya takdir menunjukkan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan Allah. Kedua, takdir dapat dimaknai sebagai batas, proporsi, dan ukuran tertentu yang telah ditetapkan Allah untuk tiap-tiap makhluknya. Pemahaman ini merujuk pada arti dari kata al-qadar yang tercantum dalam kitab Mu’jam Maqayis Al-Lughah. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa secara bahasa, al-qadar berarti akhir atau batas sesuatu.
Ketiga, takdir dapat dimaknai sebagai potensi yang telah ditanamkan kepada setiap makhluk, termasuk manusia. Takdir yang berupa potensi ini dapat terealisasikan melalui usaha. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada seorang pun kecuali Allah tentukan kedudukannya di dalam surga ataukah neraka serta apakah ia sebagai seorang yang sengsara ataukah seorang yang bahagia.” (halaman 25).
Dalam kehidupan manusia, musibah biasanya juga dikaitkan dengan takdir. Karena itu, memahami makna sebuah musibah juga penting agar kita tidak mudah menyalahkan atau mengeluh ketika tertimpa sebuah musibah.
Secara bahasa, musibah berasal dari kata ashaba-yushibu-mushibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Namun, saat ini kata musibah telah mengalami reduksi makna. Pemahaman terhadap musibah hanya terbatas pada hal-hal yang tidak menyenangkan (halaman 44).
Musibah memang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena merupakan bagian ujian hidup. Sebagaimana kita ketahui, dunia menjadi ladang ujian bagi manusia, sedangkan kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat. Jadi, selama masih menghirup udara di dunia ini, berbagai musibah akan senantisa hadir dalam kehidupan kita. Hal ini sudah ditegaskan Allah Swt.dalam Surat Al-Kahfi: 7: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.”
Dalam ayat lain dijelaskan, “Dan Kami pasti menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah [2]: 155).
Dari dua ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa, musibah tidak bisa dihindarkan dari kehidupan. Hal itu sudah menjadi ketetapan Allah yang pasti berlaku. Pemberian musibah kepada manusia bukanlah wujud kesewenang-wenangan Allah sebagai Penguasa tunggal alam semesta, walaupun tidak ada yang melarang Allah melakukan hal tersebut. Allah tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya, bahkan kasih sayang-Nya begitu besar.
Dari berbagai pembahasan tentang takdir dan musibah dalam buku 236 halaman ini, pembaca bisa mendedah rahasia tentang bagaimana seharusnya memahami takdir dan musibah. Sehingga, sebagai hamba Allah, kita bisa lebih arif dan bijak menjalani kehidupan yang tidak selamanya indah ini. Kebaikan dan keburukan akan terus ada. Begitu juga kesedihan dan kesenangan. Kita hanya dituntut untuk berikhtiar demi mendapatkan kehidupan yang baik, yang sesuai dengan ketentuan dan aturan Allah yang telah ditetapkan di dalam Al-Quran atau Hadis. (*)
*) Sampul diambil dari kutukutubuku.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H