Mohon tunggu...
Untung Wahyudi
Untung Wahyudi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Beberapa Media Cetak dan Online

Penulis lepas di sejumlah media cetak dan online

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Impian Menjadi Kenyataan

24 Agustus 2014   15:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408844765825145642

Judul Buku: Edensor

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta

Cetakan: Desember 2013 (Edisi Revisi)

Tebal: x + 294 halaman

Peresensi: Untung Wahyudi (Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya)

Kehadiran novel tetralogi Laskar Pelangi pada 2006 membawa angin segar dalam kesusastraan Indonesia. Novel yang diangkat dari kisah nyata penulisnya itu mampu menembus angka penjualan yang sangat fantastis. Di Indonesia, novel yang mengisahkan perjalanan hidup Ikal, putra Belitong itu terjual hingga ratusan ribu eksemplar. Sebuah pencapaian yang sanggup mematahkan asumsi bahwa buku-buku sastra (novel) sulit untuk terjual laris (best seller).

Laskar Pelangi takhanya digandrungi pembaca dan pecinta sastra di Tanah Air, novel itu juga telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan diterbitkan di lebih dari 100 negara oleh penerbit-penerbit seperti Farrar, Straus and Giroux, Random House, HarperCollins, Penguin, Sunmark Tokyo, Phoenix China, dan lain-lain.

Laskar Pelangi semakin menyedot perhatian publik setelah novel itu diadaptasi menjadi film layar labar pada 2008. Animo masyarakat terhadap filmnya pun cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa novel atau film yang mengangkat tema pendidikan juga menarik untuk diapresiasi. Apalagi, selama ini penonton film Indonesia kerap disuguhi film dengan tema-tema dangkal seperti roman picisan, horor, bahkan film-film berbau “cabul”.

Edensor adalah novel ketiga dari seri Laskar Pelangi setelah Sang Pemimpi yang juga telah diangkat ke layar lebar tak lama setelah Laskar Pelangi tayang. Belum lama ini, film Edensor juga ditayangkan serentak di bioskop-bioskop Tanah Air.

Edensor mengisahkan perjalanan Ikal dan Arai dalam menempuh pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris. Mereka berhasil mewujudkan mimpi mereka yang sejak kecil ingin mengunjungi Eropa yang eksotis, tempat para intelek berkumpul, seniman, dan yang lainnya. Seperti yang kerap dikatakan Julian Balia, guru bahasa Indonesia mereka waktu SMA.

Dalam Edensor, Andrea Hirata sekilas menghadirkan kembali kisah masa kecil Ikal yang seringkali membuat onar di surau. Adegan-adegan masa kecil itu dihadirkan semacam flashback dalam scan-scan film. Mungkin, Andrea sengaja menghadirkan kembali kisah-kisah yang sebenarnya sudah bisa dibaca pada buku sebelumnya, semata-mata untuk memancing ingatan pembaca sebelum meneruskan kisah Ikal dan Arai ketika menjejakkan kaki di Paris.

Dalam novel ini, pembaca bisa melihat secara langsung bagaimana perjuangan Ikal dan Arai ketika untuk kali pertama menginjakkan kaki di Paris. Sudah lama mereka ingin melihat kecantikan menara Eiffel yang kesohor ke seluruh dunia itu. Bagi mereka, Paris adalah kota impian, kota yang akan mengajarkan banyak hal bagimana memaknai kehidupan yang penuh tantangan.

Ikal dan Arai tiba di Paris ketika musim salju (winter). Karena kegalakan penjaga apartemen yang tak mengizinkan mereka masuk karena berbagai alasan, Ikal dan Arai akhirnya menggelandang. Mereka berharap bisa menemukan penginapan untuk berteduh dari guyuran salju yang luar biasa derasnya. Pohon-pohon menjadi putih. Jalan raya menyempit dilamun bongkahan es. Atap-atap digelayuti timbunan salju (halaman 62).

Dari termometer yang dikeluarkan Arai pada pukul dua pagi, mereka tahu bahwa suhu telah terjun ke titik minus sembilan derajat Celcius. Mereka berdua cemas karena sama sekali tidak berpengalaman dengan cuaca seekstrem itu.

Ikal nyaris sekarat oleh terpaan hawa dingin yang menggigit. Darah tumpah dari rongga hidungnya, merah menyala di atas salju yang putih. Sebisanya Arai berusaha menolong Ikal. Arai membuka dan melilitkan syalnya di leher Ikal. Dibongkarnya koper dan mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya berlapis-lapis ke tubuh Ikal.

Ikal terkejut ketika tiba-tiba Arai mengangkat tubuhnya. Ditidurkannya tubuh Ikal di tanah, di bawah rimbun dedaunan rowan. Tindakan Arai semakin ganjil di mata Ikal. Anak itu menimbuni Ikal dengan daun-daun rowan.

Ajaib! Hawa hangat yang halus berdesir di punggung Ikal. Daun-daun busuk yang ditimbunkan Arai ke sekujur tubuh Ikal seakan-akan menguapinya. Melihat perubahan itu Arai kembali menimbuni Ikal dengan daun rowan. Kesadaran Ikal berangsur pulih, detak jantungnya kembali normal. Tiba-tiba Arai memekik girang, “Humus! Humus, Kawan. Humus pyrus aucaparia menyimpan panas. Begitulah cara tentara Prusia bertahan di musim salju. Apa kau takpernah membaca buku sejarah?” (halaman 65).

Ikal dan Arai adalah sosok yang patut menjadi teladan bagi anak muda. Keterbatasan yang pernah mereka hadapi bukanlah halangan untuk meraih mimpi. Selepas sarjana mereka berdua pernah luntang-lantung tidak jelas. Hingga akhirnya Ikal bekerja di kantor pos, sementara Arai merantau ke Kalimantan. Mereka kembali bertemu ketika mereka mengikuti seleksi S2 ke Prancis.

Dalam Edensor Andrea Hirata juga “menghidangkan” ragam budaya yang ditemui tokoh Ikal dan Arai di Paris. Pertemanan dengan orang-orang dari berbagai negara membuka mata pikiran Ikal dan Arai untuk lebih menghargai perbedaan yang terbentang dalam pergaulan mereka. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun