Judul: Menyusuri Jalan Cahaya
Penulis: KH. Husein Muhammad
Penerbit: Bunyan (Grup Bentang), Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2013
Tebal: xx + 276 Halaman
Ibadah haji adalah ritual tahunan yang dilaksanakan orang-orang Islam yang mampu. Meskipun ibadah haji adalah bagian dari rukun Islam sebagai penyempurna keislaman seseorang, tapi ibadah itu hanya disyariatkan bagi orang-orang yang mampu, baik secara materi, fisik, lebih-lebih mental.Hal ini mengingat bahwa, ibadah haji dilaksanakan bukan sekadar demi “gengsi”, melainkan sebagai bentuk pengabdian dan penyempurna rukun Islam.
Biaya ongkos haji yang mahal tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk berangkat ke tanah suci Makkah. Setiap tahun ratusan ribu calon jemaah haji berangkat ke tanah suci untuk beribadah.
Pada musim haji 1434 H/2013 M ini, jumlah jemaah haji Indonesia berangkat sebanyak 168.800 dengan rincian 153.200 orang untuk haji regular dan haji khusus 13.600 orang. Ini setelah dilakukan pemotongan kuota sebesar 20 persen dari kebijakan Saudi Arabia akibat dampak perluasan kompleks Masjidil Haram.
Ada banyak hal yang bisa diurai dari simbol-simbol haji. Sehingga, ibadah haji tak sekadar dijadikan sebagai momentum tanpa makna. Karena, sangat disayangkan jika ibadah yang memerlukan kesehatan fisik dan biaya yang tidak sedikit itu hanya dijadikan momentum “wisata religi”, sehingga terkesan hanya menghambur-hamburkan uang.
Kyai Husein Muhammad dalam bukunya Menyusuri Jalan Cahaya coba menguraikan pelbagai hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Dari masalah tawaf, sai, wukuf, jamarat (melempar jumrah), hingga tentang makna kurban yang lazim dilaksanakan setiap datang bulan haji, yaitu pada 10 Dzulhijjah.
Secara harfiah, tawaf berarti ‘berkeliling atau mengitari sesuatu’. Dalam haji, tawaf berarti ‘prosesi mengelilingi atau mengitari bangunan kubus (Kakbah) sebanyak tujuh kali’.
Tawaf juga merupakan simbol perjuangan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyatukan pikiran, hati dan langkah manusia. Dalam tawaf, manusia sepenuhnya pasrah kepada (Allah) dan menuju satu titik dari mereka berasal dan ke mana pula mereka akan kembali (halaman 27).
Sementara itu, sai adalah prosesi yang merupakan simbol yang menggambarkan perjuangan manusia untuk survive, mempertahankan eksistensi (hidup) yang tak pernah berhenti.
Simbol Sai pada mulanya ditampilkan dalam kisah seorang perempuan bernama Siti Hajar. Ia berjalan dan berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah, mencari air di lembah yang tandus itu untuk anaknya, Ismail, yang baru saja dilahirkannya. Bayi itu, anak hasil perkawinannya dengan Nabi Ibrahim. Kelahirannya sudah lama diidamkan ayahnya. Sayang, begitu lahir, atas perintah Tuhannya, Ibrahim harus meninggalkan sang anak dan ibunya.
Wukuf di Arafah adalah salah satu prosesi ibadah haji yang terbilang berat. Di sinilah puncak ritual kolosal itu berlangsung. Wukuf makna harfiahnya adalah ‘berhenti atau bediam diri sejenak di sebuah tempat dengan medan yang mahaluas’. Dalam ibadah haji, wukuf berarti‘berada di Arafah pada 9 Dzulhijah untuk berzikir, berdoa dan berkontemplasi’. Wukuf merupakan kegiatan paling utama dan puncak segala proses haji. Wukuf di padang itu begitu utama sehingga para jemaah yang tidak sempat berada di tempat itu belum dianggap telah melaksanakan haji. Ia harus mengulangi hajinya pada kesempatan yang lain (halaman 34).
Sementara itu, Jamarat atau melempar jumrah adalah simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan membuang dan melemparkan jauh-jauh kecenderungan-kecenderungan egoistis yang seringkali menyesatkan, bahkan menyengsarakan manusia lain. Jumrah sering digambarkan bagai mengusir setan karena makhluk ini punya karakter yang selalu ingin menyesatkan manusia (halaman 40).
Terakhir adalah Kurban. Peristiwa ini pada mulanya merupakan tradisi masyarakat pagan. Demi meraih kebahagiaan diri, para tokoh—atas nama Tuhan—melakukan pembunuhan manusia sebagai bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Kejahatan manusia model ini harus dihentikan. Tanpa menghilangkan tradisi itu, Allah Swt. melalui Nabi menyerukan praktik pengorbanan tersebut diganti dengan penyembelihan hewan yang memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial. Maka, kurban dalam haji adalah simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas sosial-ekonomi demi kesejahteraan bersama.
Demikianlah, prosesi haji memang nampak begitu sederhana dan demikian mudah, tetapi sesungguhnya ia begitu sarat makna. Tahap demi tahap perjalanan haji: tawaf, sai, wukuf di Arafah, serta jamarat dan kurban merupakan simbol-simbol penyatuan, kesetaraan, dan persaudaraan umat manusia. Melalui esai-esainya dalam buku 276 halaman ini, penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih memahami esensi dan makna di balik simbol-simbol haji. [Untung Wahyudi]
[caption id="attachment_321801" align="aligncenter" width="300" caption="blogpsot.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H