Judul: Nomadic Heart
Penulis: Ariy
Penerbit: B-first, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2013
Tebal: 174 Halaman
ISBN: 978-602-8864-72-5
Saat ini traveling sudah menjadi aktivitas yang banyak digemari oleh banyak kalangan. Tidak hanya orang yang berkantong tebal, yang isi kantongnya pas-pasan pun menggemari kegiatan ini. Hal ini karena traveling bukan sekadar berpelesir yang hanya menghamburkan uang secara percuma, atau sekadar untuk mendokumnetasikan tempat-tempat menarik di belahan dunia lewat kamera. Lebih dari itu, traveling adalah kegiatan yang sarat makna dan pelajaran. Orang melakukan traveling demi mencari hakikat dan makna kehidupan yang tidak bisa didapat jika hanya berada di dalam rumah.
Mendokumentasikan dan mencatat hal-hal menarik dalam perjalan juga menjadi kegiatan menarik yang banyak dilakoni. Ada yang menuliskanya di blog, atau di catatan media sosial seperti Facebook. Tak sedikit juga yang kemudian membukukan catatan-catatan perjalanannya dalam sebuah buku menarik.
Di dunia travel writing, mungkin kita sudah mengenal nama-nama seperti Agustinus Wibowo yang berhasil membukukan catatan perjalanannya dalam buku Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Atau, Trinity lewat seri The Naked Traveler, buku yang menjadi panduan penting sekaligus inspirasi bagi orang-orang yang ingin melakukan perjalanan.
Ariy adalah salah seorang traveler yang selama ini banyak melakukan perjalanan ke beberapa tempat di Indonesia, bahkan mancaneraga. Nomadic Heart adalah buku yang menyimpan jejak perjalanannya ke berbagai negara seperti Thailand, Malaysia dan beberapa negara lainnya. Tidak hanya mencatat pengalaman pribadinya, dalam buku ini Ariy juga menulis interaksinya dengan penduduk setempat, teman perjalanan, hingga para traveler dunia yang pernah menginap di rumahnya ketika mengunjungi Indonesia.
Ariy pernah menampung seorang traveler asal Belanda yang, katanya, berdarah Indonesia. Nenek moyang Duco, teman Ariy itu adalah asli Indonesia. Makanya, Duco tertarik ingin mengunjungi Indonesia. Selama ada di rumah Ariy, Duco benar-benar bisa beradaptasi dengan baik. Orangnya ramah, sangat familiar, dan sangat menyukai kesenian dan kebudayaan Indonesia. Bahkan, Duco pernah tertarik mengikuti salat Jumat. Duco tertarik dengan ritual ibadah yang dilakukan oleh Ariy dan keluarganya.
Sehingga, ketika Duco benar-benar nekad ikut salat Jumat, dia sempat menjadi pusat perhatian para jemaah. Namun, Ariy berusaha tenang. Justru yang sangat mengejutkan adalah ketika Duco membuka rahasia pribadinya. Kepada Ariy, Duco mengaku bahwa dia seorang gay. Ya, Duco memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Awalnya Duco khawatir Ariy tidak suka dengan pengakuannya. Namun, dengan tegas Ariy mengatakan bahwa mengaku atau tidak, itu tidak masalah bagi Ariy. Karena, Ariy tidak melihat keanehan yang ada pada Duco. Bahkan, Duco sangat macho, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia “tidak normal”. (halaman 120).
Tentang persahabatan yang begitu kental pernah dirasakan Ariy ketika dia untuk kali pertama menginjakkan kaki di Thailand. Melalui sebuah organisasi traveler dunia Ariy mengenal Pop, pemuda Thailand yang tingga di Chiang Mai. Ariy merasa beruntung karena dia punya kesempatan tinggal cukup lama untuk ukuran seorang traveler. Pop tidak keberatan Ariy tinggal di tempat tinggalnya di Chiang Mai atau di apartemennya di Bangkok.
Saat kali pertama bertemu di Chiang Mai International Airport, Ariy melihat Pop tampak selalu menunduk dan tidak banyak bicara, sehingga Ariy merasa tidak enak dengan pertemuan itu. Namun, lama kelamaan identitas Pop akhirnya terungkap. Waktu itu, Pop mengajak Ariy hadir ke acara makan malam di sebuah restoran milik temannya yang seorang penyanyi. Namanya Lanna Commins, salah seorang penyanyi terkenal di Thailand.
Setelah Pop mengenalkan Ariy pada Lanna, akhirnya Lanna bertanya sesuatu yang membuat Ariy terkejut. “Pop, bagaimana dengan albummu?”. Ariy jelas terkejut, dan akhirnya Lanna bercerita siapa sebenarnya Pop. Pop adalah penyanyi pop yang cukup terkenal di Thailand, tepatnya duo dengan nama JoPop dan sudah menelurkan dua album, selain sukses sebagai travel writer. Ariy akhirya mengetahui alasan Pop menunduk dan banyak diam ketika menjemputnya di bandara. Pop tidak ingin orang menyerbunya meminta foto bersama atau tanda tangan. Pop bukan tipe selebritas yang gila popularitas. Makanya, untuk mengisi waktu luangnya dia banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan perjalanan ke berbagai negara (halaman 44).
Sementara itu, di Kuta-Bali, bersama temannya Ariy pernah dibuat dongkol oleh seorang pelayan restoran yang melarang mereka duduk di sebuah meja yang sudah mereka tempati. Padahal, meja itu sama dengan meja-meja lain yang ada di restoran itu. Mereka berdebat karena kata pelayan, meja itu hanya untuk tamu asing atau bule? Ariy dan temannya masih tidak mengerti. Mereka tetap bersikukuh untuk duduk di “tempat terlarang” dan memesan menu makanan.
Ariy hanya berdoa demi gadis itu, agar tidak dimarahi bosnya karena tidak berhasil mengusir mereka berdua. Ariy paham, bukan salah pelayan bila kemudian restoranitu bersikap rasis. Bosnya yang rasis. Mereka dilayani dan makan juga. Tapi, bagi mereka, itu adalah kursi terpanas yang mereka duduki dan makanan paling tidak enak yang pernah mereka cicipi. Sebenarnya itu makanan lezat. Hanya lidah mereka tiba-tiba menjadi sangat bebal mencerna setiap kenikmatan makanan gara-gara peristiwa itu. Restoran itu telah membanding-bandingkan pelayanan hanya karena beda warna kulit (halaman 98).
Dalam buku setebal 174 halaman ini Ariy mengajak pembaca mencerap indahnya perbedaan dalam setiap inci kehidupan. Sehingga kita bisa menghargai aneka macam perbedaan yang kerap kita temukan. Terutama ketika suatu saat memutuskan untuk turut melakukan perjalanan yang bukan sekadar perjalanan. Tapi, dalam perjalanan itu kita bisa menemukan jejak spiritual yang bisa memperkaya hati, menemukan cinta dan keagungan Tuhan di belahan dunia lain.
Ada catatan menarik dalam epilog buku ini, bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Hal ini menyangkut keputusan Ariy ketika memutuskan hengkang dari pekerjaannya. Ketika bertemu dengan beberapa temannya, banyak di antara mereka yang bertanya dan seolah-olah masih bersikap sinis dengan keputusan Ariy hengkang dari kantor yang lebih menjanjikan daripada sekadar jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas—menurut mereka. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H