Seorang anak dibawah umur, yang melakukan kenakalan atau kejahatan, mungkin saja telah melanggar hukum positif, merugikan orang lain, memantik kemarahan publik karena ulahnya dan bahkan mungkin telah menimbulkan penderitaan atau bahkan kematian orang lain. Namun apapun alasannya, karena umurnya yang masih muda atau belum dewasa, sesungguhnya dia adalah korban.
Korban dari apa, siapa, dan dari mana?
Anak pelaku kenakalan / kejahatan pada hakekatnya adalah korban. Korban dari pendidikan / perlakuan orang tuanya, korban dari pendidikan guru -- gurunya (baik guru disekolah formal maupun pendidikan non formal lainnya), korban dari kebijakan pemerintah, korban dari lingkungan yang memberikan tekanan psikis, sehingga anak tersebut melakukan tindak kenakalan / kejahatan. Bahkan karena nilai-nilai yang diserapnya sejak usia dini membuatnya tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum.
Anak -- anak pelaku kenakalan atau kejahatan pada hakekatnya adalah korban dari faktor eksternal diluar dirinya:
- Lingkungan sosial di sekitar anak yang tidak kondusif, penuh tekanan kekerasan;
- Lingkungan sekolah yang terlalu formal, penuh tekanan disiplin ketat, sehingga hubungan antara guru dengan murid dan murid dengan murid cenderung kurang manusiawi dan mesra;
- Sikap orang tua yang longgar terhadap nilai-nilai moral, kurangnya komunikasi mesra karena kesibukan orang tua;
- Kurangnya ruang publik untuk menampung pengembangan diri anak, seperti olahraga, seni teater, sastra, permainan kreatif, dan sebagainya, sehingga mereka lebih melampiaskan kepada hal-hal yang merusak, tidak terkendali, tindakan mencari perhatian, berkelahi, berlagak jagoan di depan teman sebaya, dan sebagainya;
- Pengaruh media massa, seperti televisi, youtube, film, yang menampilkan banyak adegan kekerasan..
Kalau fokus perhatian kita terhadap pelaku kenakalan anak sebagai korban keadaan, dan bukan sebagai pelaku kejahatan, maka tidak layak rasanya apabila anak dibawah umur dipidana melalui proses peradilan orang dewasa. Karena seorang anak dibawah umur belum bisa berfikir seperti orang dewasa dan secara kejiwaan masih besar peluangnya untuk didik dibina menjadi manusia dewasa yang baik menurut ukuran norma umum masyarakat dan berkontribusi positif untuk bangsa dan negara.
Negara menjamin perlindungan anak, karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)
Lalu bagaimana sebenarnya ketika pelaku anak melakukan tindak pidana? Seyogyanya diarahkan pada restorative justice.
Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Anak disebutkan bahwa peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif mempunyai tujuan:
- Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;
- Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;
- Menghindarkan anak dari dampak negatif proses peradilan;
- Menanamkan rasa tanggungjawab anak;
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- Mendorong masyarakat berpartisipasi;
- Meningkatkan keterampilan hidup anak.
Namun demikian kondisi pelaku kejahatan anak, bisa berbeda kondisinya antara satu dengan yang lain, sehingga perlakuan untuk menanganinya juga berbeda. Perlu kehadiran  profesional (Psikholog / Psikiater anak) untuk mendampingi penegak hukum didalam mengawal proses peradilan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H