Mohon tunggu...
Untung Sudrajad
Untung Sudrajad Mohon Tunggu... -

Hobi membaca dan menulis, ikut masuk di kompasiana adalah dalam rangka memenuhi hobi tersebut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Akar Permasalahan Human Traficking di Provinsi Nusa Tenggara Timur

22 Februari 2015   15:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir – akhir ini berita mengenai Human Traficking semakin ramai diberitakan di Nusa Tenggara Timur dan bahkan pada tanggal 19 November 2014 lalu sempat dibedah di Metro TV dalam acara Mata Najwa. Sungguh ironis memang jika ada manusia menjual manusia lainnya, yang notabene adalah bangsanya sendiri, hanya karena motive ekonomi semata.

Sudah banyak memang para ahli yang membedah dan menganalisa masalah ini dan bahkan beberapa pihakpun telah banyak membentuk Tim Penanggulangan Traficking, Satgas Penanganan TKI Non Prosedural dan ataupun Pansus yang tentunya juga sudah menyedot banyak anggaran negara, namun sayangnya sampai saat ini belum mampu mengatasi masalah yang ada. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika kitapun ikut menyumbangkan pemikiran – pemikiran yang mungkin berguna sebagai kajian lebih lanjut.

Beberapa fenomena menarik yang perlu kita cermati dan kita kaji akar permasalahan human traficking di NTT ini antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, semakin besarnya minat tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur untuk bekerja keluar negeri atau kedaerah lain diluar Nusa Tenggara Timur. Dalam ilmu demografi, yang namanya migrasi penduduk ataupun tenaga kerja dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong semakin besarnya minat orang NTT untuk mencari kerja diluar NTT antara lain adalah karena masalah kemiskinan, pengangguran, peluang ekonomi yang terbatas dan ada beberapa orang yang karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara faktor penarik adalah tingginya permintaan tenaga kerja murah didaerah tujuan dan kurs mata uang asing yang lebih tinggi dari rupiah. Dengan melihat permasalahan diatas maka solusi utama untuk mengatasi hal tersebut adalah perbaikan ekonomi, memberantas kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja yang memberikan penghasilan yang layak bagi masyarakat. Sedangkan cara – cara untuk mewujudkan hal tersebut tidak kita ulas disini karena telah banyak para ahli di NTT yang membahasnya.

Kedua, fenomena menarik lainya adalah banyaknya tenaga kerja asal NTT yang akan dan berangkat keluar daerah / keluar negeri dengan menempuh  cara – cara yang tidak prosedural atau mengikuti cara – cara yang salah menurut prosedur hukum. Beberapa  hal yang ditenggarai sebagai penyebab banyaknya tenaga kerja non prosedural / ilegal tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

(1). Pengetahuan masyarakat tentang tata cara atau prosedur bekerja keluar daerah / keluar negeri secara benar sangat terbatas atau dengan kata lain kurangnya informasi tentang prosedur pemberangkatan tenaga kerja keluar daerah / keluar negeri.

(2). Pengurusan pemberangkatan tenaga kerja secara resmi / prosedural membutuhkan waktu yang lama dan berbelit – belit karena harus urus KTP, Pasport, Uji Kesehatan, Mengikuti Pelatihan di Balai Latihan Kerja Luar negeri (sekitar 200 Jam Pelajaran atau sekitar 2 – 3 bulan) dan mengikuti Uji Sertifikasi Kompetensi.

(3). Lemahnya kontrol keluar NTT bagi tenaga kerja non prosedural / ilegal karena banyaknya pintu keluar. (4), Bisnis TKI sangat menggiurkan sehingga banyak calo yang bergentayangan menjerat dengan hutang (uang sirih pinang kepada keluarga), menipu dengan iming – iming gaji tinggi dan lain sebagainya. Bahkan menurut Rudy Soik di Mata Najwa biaya perkepala untuk perekruitan TKI bisa mencapai Rp. 20 juta s/d Rp. 30 juta, sementara menuru Kepmenakertrans No. 152/MEN/VI/2011 komponen biaya penempatan TKI ke Malaysia RM. 4.511 atau setara Rp. 12.632.000,- ditanggung pengguna RM. 2711 (Rp. 7.592.000) dan ditanggung TKI  RM. 1.800 (Rp. 5.040.000).

Dengan melihat beberapa penyebab diatas maka solusi yang dapat dilakukan antara lain adalah (1). Perlu dilakukan sosialisasi secara massal baik melalui media massa, baliho, spanduk, selebaran dengan sasaran utama adalah masyarakat dan seluruh Lurah dan Kepala Desa di NTT. Kalau perlu disetiap Kantor Lurah / Kantor Desa harus dipasang Baliho, Spanduk dan Booklet tentang tatacara yang benar menjadi tenaga kerja keluar negeri / luar daerah. (2). Perlu diupayakan agar birokrasi pengurusan TKI/TK Antar Kerja Antar Daerah diperpendek / dipersingkat dengan mengadopsi model – model Samsat atau perizinan satu pintu serta pelatihan TKI di NTT. (3). Memperkuat kontrol terhadap pintu keluar NTT melalui optimalisasi Tim ataupun Satgas penanganan Traficking ataupun Tenaga Kerja Non Prosedural / ilegal. (4). Penegakan hukum yang tegas, sikat mafia traficking / TKI Ilegal / non prosedural, jika ada kantor vertikal yang masih main – main dengan masalah traficking, kalau perlu diusir dari NTT.

Ketiga, seringnya terjadi dokumen Tenaga Kerja yang dipalsukan (terutama KTP). Kemungkinan Penyebab adalah karena banyak penduduk didaerah tempat tinggalnya  jauh dari Ibu Kota Kabupaten tidak memiliki KTP, hal ini disebabkan untuk mengurusnya mereka harus ke Kecamatan atau Ibukota Kabupaten dan untuk itu harus mengeluarkan biaya. B

agi sebagaian besar masyarakat desa yang mobilitasnya rendah, mereka kurang mengerti manfaat KTP. Mereka baru butuh KTP setelah mereka berkeinginan menjadi CTKI. Dan jalan pintasnya adalah mereka meminta bantuan kepada perusahaan pengerah tenaga kerja.Sebagian besar pengusaha akan cenderung berfikiran untuk dapat mengurus segala sesuatu dengan cepat dan murah, sehingga mereka akan cenderung menempuh jalan pintas mengurus ditempat langganan mereka. Jadilah warga asal Belu atau TTU dan TTS tetapi memegang KTP dari Kabupaten lainnya misalnya, bahkan ada pula yang sengaja memalsukannya.

Perlu dipertanyakan, apakah KTP itu dibuat untuk kepentingan masyarakat ataukah untuk kepentingan pemerintah? Sebenarnya KTP bukaan saja untuk kepentingan masyarakat, tetapi juga menyangkut kepentingan Pemerintah untuk pendataan / registrasi penduduk yang dapat dijadikan basis data untuk perencanaan pembangunan. Alternatif solusinya adalah, Pemerintah Kabupaten / Kota perlu pro aktif mendata dan mengurus KTP warganya, kalau perlu setiap Kabupaten / Kota membuat sistim pelayanan pembuatan KTP dengan Mobil Pembuatan KTP Keliling (Seperti SIM Keliling).

Keempat, maraknya kasus penyekapan Calon TKI  terutama TKW dipenampungan. Kemungkinan penyebabnya adalah karena sebagian besar PPTKIS yang beroperasi di NTT adalah kantor cabang dan kantor pusatnya ada di Luar NTT. Dampaknya adalah mereka dilatih di BLKLN diluar NTT. Selama proses dari NTT dan selama di penampungan PPTKIS sudah mengeluarkan biaya cukup banyak sehingga mereka akan merasa dirugikan jika ada Calon TKI yang membatalkan keberangkatannya atau lari dari penampungan.

Untuk mengatasi hal tersebut maka penampungan biasanya berpagar tinggi untuk menghindari Calon TKI melarikan diri dan dalam kaca mata umum dan Calon TKI yang bersangkutan dianggap penyekapan. Alternatif solusi untuk hal tersebut adalah perlunya diperbanyak PPTKIS yang berkantor pusat di NTT, Pendirian BLKLN di NTT dan perlu diperkuat control/ pengawasan tempat penampungan Calon TKI secara periodik oleh Aparat yang berwenang.Semakin banyak PPTKIS dan BLKLN yang ada di NTT akan mengurangi biaya dan mempermudah pengawasan kita terhadap anak – anak kita yang akan berangkat keluar negeri. Bahkan kalau memungkinkan, daerah ini dapat mengalih fungsikan BUMD yang selama ini selalu merugi, untuk  berperan sebagai Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia milik Daerah.

Kelima, seringkali terjadi kasus pemindah tanganan TKI dari satu agen ke agen yang lain dan TKI dianggap seperti komoditi dagang semata. Penyebab: sebagian besar PPTKIS yang beroperasi di NTT adalah kantor cabang dan kantor pusatnya ada di Luar NTT. Selama proses pemberangkatan dari Kupang ke Luar NTT, para agenperusahaan pengerah kadang berubah menjadi seperti calo, sehingga CTKI kadang dipindah tangankan ke perusahaan pengerah lainnya yang memberikan penawaran pembayaran komisi lebih tinggi.

Untuk mengurangi kasus dimaksud perlu diperbanyak PPTKIS yang berkantor pusat di NTT, pendirian BLKLuar Negeri di NTT, kontrol tempat penampungan secara periodik, ubah regulasi dengan penempatan langsung antara negara dengan negara (sehingga proses penempatan TKI bersifat pelayanan terhadap warga negara dan bebas dari profit motive) atau Pemerintah daerah membentuk BUMN / BUMD yang berfungsi sebagai PPTKI Daerah;

Keenam, penanganan masalah Tenaga Kerja Non Prosedural / Ilegal atau oleh sebagian orang dianggap sudah masuk ranah human traficking ini cenderung berlarut – larut. Hal ini antara lain disebabkan karena (1). Penanganan yang dilakukan seperti pemadam kebakaran, kurang bersifat prefentif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Kasus pencekalan Calon Tenaga Kerja keluar negeri / keluar daerah oleh Polisi, Sat Pol PP dan Petugas lainnya hasil akhirnya adalah pendataan, pembinaan dan selanjutnya dipulangkan ke daerah asalnya. Setelah tiba didaerah asal, karena memang tidak ada pekerjaan, tidak ada uang dan bahkan mungkin sebelumnya telah berhutang kiri kanan, maka begitu ada kesempatan akan berusaha mengulangi perbuatannya untuk berangkat keluar daerah / keluar negeri lewat jalur pintas. (2). Koordinasi antar instansi / lembaga sangat kurang dan bahkan jika ada kasus, cenderung saling menyalahkan. (3). PPTKIS kurang dirangkul sebagai mitra yang sederajad dan seringkali dijadikan obyek pemerasan dan kalau ada kasus dianggap seperti penjahat. (4). Keseriusan penanganan masalah Tenaga Kerja Non Prosedural / Ilegal masih kurang, terbukti hampir setiap minggu ada penangkapan / pencekalan Tenaga kerja non prosedural / ilegal, tetapi kasus pelaku yang diangkat ke Pengadilan sedikit sekali dan bahkan hampir tidak ada.

Alternatif yang mungkin dapat dilakukan antara lain adalah (1). Perlu penanganan langsung keakar masalah yaitu perbaikan ekonomi, perluasan lapangan kerja, mobil keliling penerbitan KTP, sosialisasi yang menyeluruh, penutupan PPTKIS yang menyeleweng, kalau perlu pengiriman TKI adalah melalui Negara dengan Negara. (2). Perlunya memperkuat koordinasi antar instansi / lembaga yang menangani masalah ini perlu ditumbuhkan semangat sebagai satu tim (3). PPTKIS perlu dirangkul sebagai Mitra sejajar untuk diajak bersama – sama mengurangi kasus penempatan Tenaga kerja non prosedural / ilegal  dan memerangi kasus human traficking. (4). Perlu ditekankan kembali komitmen bersama dan sudah seharusnya semua komponen masyarakat berteriak dan menyuarakan suara yang sama yaitu menyatakan “Perang Terhadap Human Traficking di Nusa Tenggara Timur”.

Kami menyadari bahwa tulisan ini semata – mata lahir karena keprihatinan serta bersifat opini pribadi yang tidak didasari oleh sebuah penelitian yang formal sehingga banyak kekurangannya, namun demikian kami berharap tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi pada tingkat dan forum yang lebih tinggi sehingga dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun