Dulu kalau melihat film si Kabayan datang ke kota membawa Ayam, Petay, Jengkol, Pisang, penulis tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi setelah penulis sempat tinggal di kampung dan menjadi orang kampung selama ± 5 tahun (2012 – 2017), di sebuah desa kecil di Kuningan Jawa Barat, penulis justru mentertawakan diri sendiri. Penulis akhirnya memahami kenapa si Kabayan berbuat seperti itu. Budaya berbagi di kampung adalah hal biasa, meskipun hanya sekedar berbagi 2 potong ikan asin plus sambel sesendok.
Begitulah hidup di desa...! Kealamiahan alam, keramah tamahan penduduk, ketulusan, kebersamaan dalam bermasyarakat, semua adalah pesona yang sulit ditemui di kota-kota besar. Nuansa silaturahim di desa begitu kental terasa, sehingga berimbas jiwa bertaburkan bahagia. Mungkin hal itu yang membuat desa senantiasa ‘memicu rindu’ warga kota, untuk pulang kampung di saat musim liburan. Terlebih di hari Idul Fitri.
Berbincang-bincang Idul Fitri, ada sedikit cerita terkait hal tersebut.
Setelah sebelumnya mengumpulkan informasi terkait jasa pengiriman barang antar kota, suatu hari penulis berencana hendak mengirim 2 dus berukuran sedang (isinya buah Mangga) ke Jakarta. Mangga hasil panen dari 3 pohon Mangga yang tumbuh di halaman dan kebun belakang.
Masalahnya sarana transportasi di desa tidak seperti di kota-kota besar yang lalu lalang setiap saat. Kalau punya kendaraan pribadi sih kelar masalahnya, berhubung tidak punya maka penulis harus menjinjing dan memanggul sendiri ke 2 kardus berbobot lumayan berat itu, untuk dipaketkan melalui JNE yang lumayan jauh tempatnya (± 3 – 4 km) dari kediaman penulis.
Apakah melelahkan? Tentu saja melelahkan. Betapa tidak? Tangan rasanya lemes, kaki pegal-pegal semua. Semua itu dikarenakan tali rafia pengikat salah satu dus terputus, ketika memuat ke dalam angkot menuju terminal. Setiba di terminal penulis harus ganti lagi angkot untuk sampai ke lokasi JNE berada. Baju sampai setengah basah oleh keringat saat angkot ‘ngetem’ cukup lama. Tetapi semua kelelahan itu segera sirna setelah urusan tuntas dan tiba kembali di rumah.
Dua hari kemudian, selepas dzuhur adik ipar mengabarkan paketnya sudah diterima. Hati terhibur ketika ia bilang “Paketnya sudah diterima, mas...! Kok enggak bilang-bilang kalau mau kirim? Mama tanya (kini sudah tiada), banyak sekali kirimnya? Di rumah sendiri masih ada stock enggak, disana kan pasti harus bagi-bagi sama tetangga?”
Dengan penuh suka cita penulis balik membalas, “Alhamdulillah. Sampaikan ke mama tidak usah khawatir, disini masih banyak kok. Tadinya mau kirim 3 kardus, tetapi berhubung tangan hanya 2, repot bawanya. Salam buat semua.” Adik ipar pun menjawab, “Ya mas, salam buat keluarga.”
Setelah perbincangan jarak jauh itu berakhir, spontan terselip hawa menyejukkan hati. Penulis bahagia Mangga-mangga itu berhasil tiba di Jakarta sebelum Ramadhan berakhir. Meskipun sedih tidak dapat bersilaturahim saat Idul Fitri nanti, namun manisnya buah-buah itu telah menjaga kesucian tali silaturahim yang tidak dapat tertunaikan.
Apakah bahagia itu?
Perasaan bahagia memang sulit untuk dilukiskan. Apakah dengan begitu kita tidak dapat mengupayakan pendekatan untuk memahaminya? Tentu saja bisa. Bukankah Udara (Oksigen) tidak berwujud pun kehadirannya bisa dirasakan? Apakah yang dirasakan saat seseorang tengah menghirup Udara (Oksigen) yang tidak berwujud itu? Rasanya segar dan nyaman.
Begitu pula dengan bahagia. Meskipun perasaan BAHAGIA tidak berwujud, tetapi rasanya tetap NYATA dan BISA dirasakan oleh siapapun. Apakah yang dirasakan ketika kita menghirup udara bahagia? Bathin tenang, hati tenteram, jiwa merasa damai. Betul...? Itulah BAHAGIA. Sebagaimana definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
BAHAGIA adalah perasaan tenang, tenteram, damai.
Sehingga:
KEBAHAGIAAN adalah rangkaian bahagia-bahagia yang dirasakan.