Menyimak komentar Ketua MPR RI yang terhormat Bapak Taufik Kemas bahwa kedepan bangsa ini mesti memberi kesempatan kepada "pemuda" untuk memimpin negeri ini, tak pelak memperoleh reaksi "Pro" dan "Kontra" cukup serius. Kelompok "Pro" beranggapan hal tersebut adalah wajar-wajar saja, dengan menimbang bahwa hal tersebut adalah proses regenerasi yang memang pantas untuk dilakukan. Kelompok "Kontra", berpandangan "miring" bahwa Taufik Kemas dianggapnya melakukan perbuatan yang tidak fokus pada kewajiban pokok saat ini sebagai Ketua MPR. Diibaratkan oleh beberapa komentator "meludah ke atas kena muka sendiri". Maksudnya adalah dari pernyataannya itu ada "udang ngumpet dibalik rempeyek" bermaksud untuk "mempromosikan anak perempuannya yang kini mulai aktif berpolitik" dan sedang duduk di DPR RI. Siapa lagi kalau bukan "Puan Maharani" ?
Banyak kalangan berpendapat bahwa siapapun Dia asal "mampu"menjadi Pempimpin (maksudnya=Presiden RI 2014) serta sanggup menghadapi tantangan dengan solusi cerdas ditengah-tengah kondisi bangsa yang sudah hampir "bangkrut" ini, maka bolehlah dipilih untuk dijadikan Pemimpin Bangsa ini atau Presiden RI 2014. Secara pribadi saya setuju dengan sinyalemen Bung Taufik Kemas (tapi tidak harus Mbak Puan), karena "pemuda" cendrung memiliki kondisi dan energi yang lebih produktif daripada Pemimpin yang sudah berumur atau uzur yang cenderung mudah lelah, takut kecapean, takut strok dadakan, dayajuangnya sudah mulai kendor dan kemapuannya cenderung berkurang.
Masalahnya adalah "ukuran mampu" itu yang seperti apa? Maka beberapa kalangan juga berpendapat "pro" dan "kontra" juga. Bagi yang pro "orangtua" menunjukkan contoh bahwa Jimmy Carter masih menjadi Presiden dalam usia 71 tahun dan USA terpimpin dengan baik. Bagi yang pro "Pemuda" menunjukkan contoh bahwa Soekarno (Presiden Pertama RI) dan pengantinya Soeharto (Presiden RI), keduanya orang kuat dan menjadi Presiden yang berhasil mulai dari usia muda kisaran 40 -44 tahunan atau masih dalam rentang usia produktif. Kemapuannya sangat terkait erat dengan ideologi kebangsaan yang terpraktikkan. Kepemimpinannya berdasarkan pada konsep kenegaraan yang terimplementasikan. Karena masih muda itu, mereka berdua memiliki energi lebih dan semangat dan loyalitas kepada tugas dan tanggungjawab yang sungguh bisa ditanggungjawabinya. Coba perhatikan Para Penggantinya itu, hampir semuanya merupakan kelompok usia yang sudah"kadaluarsa" bahkan diantaranya memili cacat fisik.
Pemuda sangat diperlukan menjadi Pemimpin di Negeri ini, di era sekarang. Keberanian, ketegasan, keganasan, serta kecerdasan Pemimpin Muda yang bisa membawa arah kebijakan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan RI termasuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial, yang dilandasi oleh semangat Pancasila sudah menjadi "urgent" sifatnya. Arah kebijakan Pemimpin Muda kedepan mesti mengacu pada konsep yang lebih jelas dan tegas. Bukan mengacu pada ara pancasial: "ketuhanan dibutakan", " kemanusiaan yang tidak adil dan biadab", "persatuan yang terabaikan", "kerakyatan yang tertipu dan tertidas oleh kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat", "keadilan yang tidak pernah diperoleh, kecuali kalangan tertentu dengan beda perlakuan antara pencuri sendal jepit dengan koruptor kakap". Ini sungguh "MEN-JI-JIK-KAN".
Saudaraku.....saya usulkan, jikalau nanti terkabul terpilih Pemimpin Muda (setidaknya berdampingan dengan yang tuaan-lah dikit), maka harus ada proses HARMONISASI PANCADAYA dengan PANCASILA. Arah kebijakan "Pancadaya"Â ini merupakan indikator kemakmuran dan kesejahteraan sebuah bangsa yang bisa dan biasa dipakai negara-negara yang sudah lebih dulu makmur dan sejahtera.
- Dayapertama, yaitu arah kebijakan Pro Kesehatan. Ini menjadi indikator utama kesejahteraan suatu bangsa yang mudah dilihat dan dirasakan. Bila warga bangsa sehat, maka akan cenderung berprestasi. Bukan saja sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani, karena warga bangsa ini taat pada landasan ideologi negara yaitu sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Siapapun yang "membutakan" Tuhan di negeri ini MESTI DIHUKUM seberat-beratnya. Anda pasti sudah tahu yang saya maksudkan.
- Dayakedua, yaitu arah kebijakan Pro Pendidikan. Keberhasilan pendidikan ini akan sangat ditopang oleh kesehatan warga bangsa. Masyarakat yang akan terbangun menjadi cerdas, bilamana mereka kondisinya sehat atau terkondisikan oleh lingkungan yang sehat, mengandung kesehatan jasmani dan kesehatan ruhani. Mustahil bagi akal, bilamana di lingkungan kita banyak penjahat, banyak manusia yang "membutakan Tuhan" yang berarti tidak sehat ruhaninya, maka dapat dipastikan pendidikan tidak akan berhasil mencerdaskan bangsa. Sebaliknya, akan tercipan masyarakat yang bodoh dan dibodoh-bodohin.
- Dayaketuga, yaitu arah kebijakan Pro Moralitas. Omong korong kita bicara moral dengan orang yang tidak SEHAT dan TERDIDIK. Warga bangsa ini akan terbangun moralitasnya, bila mereka berada pada kondisi lingkungan orang-orang sehat dan terdidik, taat pada peraturan dan hukum yang berlaku, jujur, dan "tahan banting", bernilai, bukan hanya kaya harta tapi juga kaya hati, ssuka beramal tidak takut miskin, membela harkat martabat bangsa tidak takut mati, mau berjuang demi bangsa dan negara, BUKAN diri dan kelompoknya.
- Dayakeempat, yaitu Pro Cintakasih. Bila warga bangsa sudah bermoral, maka akan tumbuh rasa cinta kasih pada sesama, no-sara, sikap gotong-royong bertumbuh dengan sendirinya. Gotong-royong dan bau-membau menjunjung tinggi hukum. Bukan sebaliknya untuk "korupsi berjamaah".
- Dayakelima, yaitu arah kebijakan Pro Kemandirian. Indikator ini merupakan akhir dari sebuah keadaan wargabangsa yang telah mencapai tingkatan penguasaan daya cintakasih. Negara dan Wargabangsa akan memberikan "nilai lebih" kepada mereka yang berprestasi, sanggung menciptakan "kewirausahaan" yang mampu menumbuhkembangkan kesehatan masyarakat, pendidikan generasi muda, moralitas bangsa, dan "welas-asih" atau cintakasih atau mahabbah semata-mata karena PAHAM kepada Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Melihat.
Dus, wargabangsa yang SEHAT jasmani dan rohani, tidak akan memungkiri akan realitas Ktuhanan yang Maha Esa. Wargabangsa yang TERDIDIK akan sanggup menimbang, menilai, dan memutuskan dengan baik sesuai harkat dan martabat kemanusiaannya seharmonis dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Wargabangsa yang BERMORAL akan dengan ihlas menjalankan nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang diperjuangkan dengan susah payah. Menyadari bahwa bila dahulu perjuangan memperoleh kemerdekaan memerlukan darah pejuang bangsa, maka mungkin saatnya kini mengisi kemerdekaan memerlukan "darah koruptor". Wargabangsa yang memiliki CINTAKASIH akan mampu menyampaikan pesan kedamaian dan memerangi angkara murka. Cintakasih harus juga dimaknai melindungi orang baik dengan cara menyadarkan atau memusuhi orang jahat dengan arah kebijakan yang terpimpin oleh HIKMAT atau pertimbangan yang mendalam. Wargabangsa yang MANDIRI atau yang BERDIKARI, akan menjadi saksi sejarah bahwa di sana ada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Last but not list, harmonisasi PANCADAYA dengan PANCASILA bisa dijadikan landasan untuk menjadi arah kebijakan berbangsa dan bernegara menyongsong hari depan Republik Indonesia yang hampir "bangkrut" untuk BANGKIT kembali dengan nilai-nilai luhur yang sesungguhnya ada dalam jiwa bangsa Indonesia dengan beragam suku dan bahasa. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H