Mohon tunggu...
Aniza Ambarwati
Aniza Ambarwati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik, Penulis, dan mahasiswa magister

A critical person who likes reading, writing, studying, and travelling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Inkonsistensi Pemerintah dalam Menjaring CPNS 2018

3 Desember 2018   15:35 Diperbarui: 3 Desember 2018   16:29 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahap pertama seleksi CPNS telah selesai, peserta yang melanjutkan ke babak Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) sudah diumumkan. Sejak kegagalan penyelenggaraan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), kebijakan Panselnas dalam menyelesaikan masalah memang menimbulkan pro dan kontra karena banyak pihak merasa dirugikan.

Disamping apapun hasil keputusan/kebijakan yang diambil pemerintah yang harus diterima, sebaiknya Pemerintah mengevaluasi penyelenggaraan seleksi CPNS tahun 2018 karena dual system dalam penentuan peserta yang lolos SKD kenyataannya melanggar komitmen pemerintah yang menginginkan CPNS berstandar tinggi.

Pertama, terkait soal CPNS sebagai intrumen yang amat penting ternyata gagal. Entah bagaimana bisa soal-soal dalam skala nasional yang seharusnya sudah diujikan justru tidak mampu menjadi alat ukur. Megapa demikian? Diiabratkan ketika guru membuat alat uji/tes dan jika sebagian besar siswa mengalamai kegagalan, salah satu faktornya adalah instrument soal yang tidak valid dan reliable. Permenpan No 61 Tahun 2018 dibuat atas pertimbangan soal CPNS yang terlalu sulit, disini berarti pemerintah mengakui kegagalan alat uji.

Kedua, inkonsistensi pemerintah dalam penyelenggaraan tes karena menggunakan standar ganda. Disebutkan dalam Permenpan No 36 tahun 2018 bahwa peserta yang dinyatakan lulus SKD jika memenuhi Passing Garde (TWK 75 TIU 80 dan TKP 143), namun kejutan terjadi sejak hari pertama penyelenggaraan seleksi dengan kegagalan massal pada Passing Garde TKP yang terlalu tinggi. Banyak peserta bernilai tinggi namun gagal di TKP atau hanya kurang 1-2 poin pada TKP.

Banyaknya formasi yang akan mengalamai kekosongan membuat pemerintah harus segera mengambil tindakan, dibuatlah kebijakan sistem perankingan yang dianggap sebagai Win-Win Solution. Kenyatannya kebijakan tersebut adalah Win-Lose-Solution, mengapa demikian? 

Sejak awal, persaingan memang berada di setiap formasi yang dilamar tapi karena "kegagalan" massal ini membuat sistem PG tersebut menemui jalan terjal. Pemerintah bukan menyelesaikan akar permalahan karena PG TKP yang terlalu tinggi (tidak berimbang dengan TWK dan TIU), justru membuat system rumit yang membuat masalah baru.

Jika hanya ada satu peserta yang lolos PG  di suatu sekolah maka secara otomatis dia akan menjadi pemain tunggal dalam SKB (tanpa pesaing), bisa dikatakan SKB hanyalah formalitas. Walaupun dirasa tidak adil karena seharusnya pemain dalm SKB maksimal 3 namun kebijakan tersebut masih bisa diterima sebagai penghargaan atas keberhasilan mereka. 

Apabila terdapat dua orang yang lolos PG dalam satu sekolah maka mereka akan bersaing dalam SKB, artinya salah satu dari mereka akan tersingkir, padahal lolos PG adalah sebuah kebanggan dan harapan besar ditengah kegagalan berjamaanh. 

Sedangkan jika suatu formasi tidak ada yang lulus PG makan diambil berdasarkan perankingan (dalam satu sekolah) yang ternyata menimbulkan kecemburuan sosial karena tingkat persaingan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya berbeda dan ini benar-benar terjadi. 

Banyak peserta bernilai tinggi gagal bersaing di lingkungan sekolah A tapi nilainya masih jauh lebih tinggi dibandingkan peserta lulus ke tahap SKB di sekolah B. Tak hanya itu, banyak peserta yang tidak lulus PG namun nilainya lebih tinggi dari mereka yang lulus PG, hanya kurang 1-2 point saja pada salah satu bidang, apakah bisa dikatakan SDM mereka tidak layak menjadi PNS? Tidak, kan!

Kesenjangan persaingan antarformasi justru berpotensi mendapatkan bibit-bibit tidak sesuai harapana awal pemerintah. Jika sejak awal penerapan PG karena mengharapkan SDM yang unggul, nilai-nilai rendah yang mengikuti SKB bisa menjadi bibit tidak bagus dan secara langsung membuang manusia-manusia yang lebih potensial, berdasarkan nilai kumulatif SKD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun