PNS masih menjad profesi dengan strata tertinggi yang diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut terlihat dari banyakya pelamar CPNS 2018 yang mencapai 3.6 juta (yang berhasil menyelesaikan pendaftaran), meskipun jumlah tersebut di bawah ekspektasi BKN yang memperkirakan jumlah pelamar mencapai 6-8 juta. Mungkin generasi milenial lebih memilih berwirausaha atau bergabung dengan perusahaan-perusahaan Start Up. Namun jumlah tersebut tidak bisa dikatakan sedikit.
Seleksi Kompetensi Dasar masih berjalan namun sudah banyak masalah terjadi seperti kendala teknis pada hari-hari pertama pelaksanaan SKD di Tilok Tes Semarang, Yogyakarta dan Magelang. Masalah terbesar adalah ketika mengetahui jumlah formasi yang berhasil terisi untuk formasi daerah hanya 3% dan untuk formasi pusat sebesar 20%. Banyaknya formasi yang kosong menimbulkan masalah baru bagi Panselnas. Banyak peserta gagal memenuhi Passing Grade TWK 75, TIU 80 dan TKP 143. Secara umum, peserta gagal pada Passing Grade Tes Kompetensi Kepribadian (TKP). Masalah ketidaklulusan PG dalam jumlah besar pernah terjadi di lingkungan kemekumham pada rekreutemn CPNS tahun 2017, jadi sebenarnya hal ini bukan masalah baru.
Saat ini pihak BKN sedang mempertimbangkan 4 pilihan yaitu menurunkan Passing Grade, Penurunan 10 point, penilaian dari tes TIU tertinggi, pertimbangan afirmasi. Â Sebenarnya Passing Garde tahun ini sama saja dengan tahun lalu, yang menjadi masalah adalah persentase peserta lulus di daerah terlalu kecil sehingga banyak formasi akan kosong. Terlebih untuk formasi guru dan tenaga kesehatan tidak mungkin dibiarkan kosong. Apakah berarti Passing Grade bukanlah masalah utama? Atau masalah ada pada SDM? Kalau PG dikatakan bukan masalah tentu saja tidak bisa karena kenyataannya peserta tidak lulus karena tidak memenuhi PG di TKP yang tidak berimbang dengan PG TWK dan TIU.
Pemerintah mengatakan tidak akan menurunkan Passing  Grade (PG) karena sudah sesuai aturan hukum yaitu Permenpan no 36 tahun 2018 dan syarat PG merupakan nilai minimum untuk menilai kualitas pelamar dalam menguasai setiap materi yang diujikan. Jadi PG merupakan standar minimal yang dianggap bisa mengukur kemampuan pelamar dan secara tersurat mengatakan bahwa peserta dengan TKP tinggi berkepribadian "terbaik".Â
Sebenarnya dalam mengerjakan soal TKP tidak ada jawaban benar-salah, hampir semua jawaban benar dan baik tapi peserta tes harus mampu memilih jawaban terbaik. Mungkin kemampuan mengambil pilihan ini dianggap sebagai kemampuan dalam mengambil keputusan ketika dilapangan nanti menghadapi masalah-masalah yang disajikan dalam soal-soal TKP.Â
Pertanyaan yang muncul apakah untuk menjadi abdi negara harus berkepribadian setinggi itu? 143 poin dapat dicapai dengan menjawab 28 soal bernilai 5 dan 1 soal bernilai 3 dari 35 soal.  Nilai dibawah 143 dianggap belum cukup untuk menjadi abdi negara? Terkadang  lucu memikirkan bahwa  kepribadian "baik" dikukur dengan angka-angka. Tidak sedikit suara yang mengatakan bahwa kepribadian yang lulus PG tidak sebaik itu. Kalaupun benar seperti itu, mungkin TKP hanya mengukur kemampuan pengambilan keputusan.
Pihak BKN memiliki opsi lain yaitu melakukan perankingan untuk formasi yang tidak ada peserta lulus PG sedangkan yang lulus PG dipastikan ke tahap selanjutnya. Pertanyaannya apakah sistem perankingan ini benar-benar adil? Sesuai aturan awal, akan diambil 3 peserta  di setiap formasi untuk lanjut ke SKB. Apakah jika peserta dalam satu formasi yang lulus PG hanya satu akan otomatis lulus ke SKB dan tidak ada pesaing? Kalau mereka tidak diberikan pesaing, maka pemerintah tidak konsisten.  Atau sesuai aturan dicarikan pesaing lain dengan sistem perankingan? Jika demikian akan terasa tidak adil bagi mereka yang lulus PG. Bisa saja setelah SKB ini, banyak peserta lulus PG kalah dengan peserta hasil perankingan karena kenyataannya banyak peserta bernilai tinggi tapi gagal di TKP, ketika diakumulasi dengan nilai SKB besar kemungkinan mereka kalah karena pada akhirnya yang digunakan adalah nilai komulatif dengan perbandingan 40% SKD dan 60% SKB.
Opsilain adalah mengambil peserta dengan nilai TIU tertinggi. APabila demikian maka pemerintah hanya mempertimbangkan satu aspek yaitu intelegensi padahal sejak awal pemerintah berharap para CPNS memiliki kompetensi yang sesuai standar pada setiap bidang materi yang diujikan.
Menggunakan dua alat ukur PG dan perangkingan bukan solusi yang tepat untuk mengisi kekosongan formasi. Akar masalah utama adalah ketidaklulusan PG pada TKP, mengapa tidak hal itu saja yang diselesaian? Apakah menurunkan PG TKP berarti menurunkan kualitas calon abdi negara? Walaupun pada kebijakan ini juga menimbulkan sedikit rasa ketidakadilan bagi mereka yang lulus PG pada semua bidang  karena lulus PG seperti tidak ada keistimewaan.
 Apapun yang nanti Panselnas putuskan, sebaiknya diterima dengan lapang dada. Untuk membuat keputusan yang 'adil' bagi semua orang adalah ketidakmungkinan karena setiap orang punya ego yang inginnya dinomorsatukan, dispesialkan. Ada baiknya kalian mengurangi jiwa ingin "diistimewakan" karena kalian sedang melamar menjadi abdi negara, 'pelayan' untuk masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H